Bukan hanya media yang nggak jelas otoritasnya, tapi juga yang sudah ternama, bahkan jika pun sudah disertai dengan 'pendapat para ahli'.
Apalagi sosial media, yang siapa saja boleh ngomong apa saja, share apa aja, dan komen apa aja, mungkin salt-nya nggak lagi a pinch tapi a handful. Asin, asin dah tuh.
In the world of cancer, one of the most mystified topic in medicine, you will easily find so many articles that sometimes seems too good to be true. And most of the time it is too good to be true.
Dan memang sebagai salah satu penyakit yang disebut paling mengerikan di dunia, paling mahal, serem, mematikan, dan lain-lain yang jelek-jelek, maka kanker adalah juga sebuah komoditi yang paling gampang 'dijual' sensasinya.
Artikel yang judulnya ada kanker-nya, akan mudah menarik perhatian, dan menuai share dan like. Apalagi kalau dibumbui dengan kata-kata yang bombastis semacam 'konspirasi dibalik obat kanker' atau 'mengobati kanker itu mudah', atau 'banyak belanja menyebabkan kanker' (iya sih, kanker = kantong kering). Atau ini nih, yang sempat lumayan banyak berseliweran di timeline : "Jengkol, obat kanker yang 1000x lebih kuat dari kemoterapi". Pasti sudah pernah liat kan? Atau malah pernah ikut nge-share, buat lucu2an barangkali?
Well, sebagai seorang yang hobinya surfing internet, dari dulu memang nggak pernah terlalu percaya sama yang begituan. Jadi kalau liat berita2 macam itu di internet, reaksi pertama adalah kroscek lagi ke internet. Atau kalau males (ini sih seringnya, males) ya diabaikan saja. Lagipula kan kanker itu sesuatu yang nggak terlalu urgent buat saya waktu itu, sesuatu yang -meminjam istilah yang lagi beken akhir2 ini- : bukan urusan saya.
Tapi lalu terjadilah yang telah terjadi itu, dan tiba-tiba, mm.. nggak tiba-tiba juga sih, kanker menjadi urusan saya banget. Urusan saya satu-satunya malah waktu itu.
Dan seperti yang pernah saya bilang, mekanisme pertahanan diri saya salah satunya adalah surfing (di internet tentunya), mencari informasi sebanyak yang saya bisa mengenai hal-hal yang saya takuti dan tidak saya fahami.
Reaksi dan pilihan masing-masing orang ketika dihadapkan pada suatu masalah sudah pasti berbeda. Tidak terkecuali untuk urusan penyakit. Ada orang yang justru takut mengetahui terlalu banyak soal penyakitnya, soal obat yang diminum dan efek sampingnya, soal kemungkinan sembuh atau tidaknya.
Dan itu sangat bisa difahami.
Ketika kita sakit, begitu banyak hal yang harus difikirkan, dikhawatirkan, mulai dari keluarga, pekerjaan, kemana harus berobat, pilih dokter yang mana, rumah sakit yang mana, pengobatan cara apa, medis atau alternatif, bahkan sebelum semua itu, menemukan apa penyakitnya pun kadang bukan perkara mudah. Dan itu semua harus dijalani dalam kondisi badan dan pikiran yang nggak jelas bentuknya.
Jadi informasi tambahan yang macam-macam dan belum tentu sesuai dengan kondisi kita itu bisa jadi malah membuat makin terpuruk karena takut dan pesimis.
Tapi ada juga orang-orang yang justru lebih tenang kalau dibekali dengan banyak informasi. Lebih mantap berobat jika tahu apa sakitnya, apa obat yang dikonsumsi, apa kemungkinan efek sampingnya. Bahkan jika informasi yang didapat itu mungkin menakutkan.
Mungkin ibarat orang yang sendirian di rumah kosong yang gelap, semacam uji nyali gitu, lalu dia dihadapkan pada dua pilihan : cahaya lilin yang remang2, atau tutup mata saja, tanpa cahaya sama sekali.
Ada yang lebih berani dengan cahaya lilin yang remang-remang, tapi juga ada yang justru lebih memilih tutup mata saja, karena cahaya lilin yang remang itu justru memberi kesan yang lebih angker, dengan bayangan yang bergoyang2 seperti kelebatan2 penampakan.
Nah, tadi mau ngomong apa ya, kok jadi ngomongin uji nyali..
Oh iya, pinch of salt.
Jadi, waktu pertama mulai terasa sakit agak berat itu sebenernya sudah mulai browsing gila-gilaan. Setiap dapat hasil lab, hasil rontgen, hasil ct-scan, dapat resep, dapat diagnosis sementara, yang tentunya penuh dengan istilah yang asing dan baru, langsung cari di internet : benda apakah ini?
Dan memang iya sih, browsing2 gaya bebas begitu bisa jadi pengalaman yang mengerikan, apalagi kalau nggak mempersiapkan mental dulu sebelumnya.
Masih inget dulu salah satu istilah yang pertama dicari : Efusi pleura.
Pas baca itu kebetulan sedang di angkot menuju ke kantor, soalnya ambil hasil x-ray pagi-pagi sekalian ke lab yang kedua kalinya waktu itu. Sekitar seabad atau dua abad yang lalu lah.. (hiperbolik)
Trus karena nggak ada kerjaan di angkot itu (iya lah nggak ada kerjaan, wong saya bukan supir dan bukan kenek), dan juga karena penasaran, akhirnya browsing di hp. Langsung deh pengen nangis setelah tau apa itu, apa kemungkinan penyebabnya, dan bagaimana tindakan medisnya.
Segala rancangan data model yang mestinya dipikirin buat ntar di kantor langsung buyar nggak ada bekasnya. Data model? Apaan tuh? Pleural effusion nih.. :((
Oh ya sodara-sodara, sejak 2 bulan sebelum divonis tbc oleh dokter itu saya sempet mendiagnosis diri sendiri dengan bantuan internet, dan hasilnya memang cukup membuat gentar juga.. Dengan berdasarkan gejala-gejala yang dirasakan, dapet lah tuh dua kemungkinan : tbc atau limfoma.
Nah, ini sebenernya contoh yang sama sekali nggak disarankan ya.. istilah bule-nya "Please don't do this at home". Karena mendiagnosis diri sendiri pakai internet (apalagi pakai dukun, a total no no.. musyrik soalnya *heheh*) itu sok tahu dan berbahaya banget, apalagi kalau lalu kita pakai hasil diagnosis itu untuk mengobati diri sendiri. Ya kalo pas, kalo nggak pas kan gawat tuh.
Waktu itu nggak berani terlalu ge-er dan terlalu parno untuk mengira kena limfoma alias kanker walaupun gejalanya persis sama. Karena gejala limfoma, terutama yang menyerang mediastinum, kan mirip juga sama tbc. Dan tbc, walaupun nggak se-seram kanker, tapi menular. Jadi buah simalakama lah, nggak berani milih, dan akhirnya dilupakan saja dan menunggu hasil dari dokter sajalah.
Jadi intinya apa?
Ya nggak apa2. Walaupun berkali-kali kaget dan ngeri dengan hasil browsing, saya toh nggak kapok juga untuk terus nyari2 informasi di internet. Karena buat saya bayangan-bayangan yang seperti penampakan itu lebih mending daripada merem dan nggak liat apa-apa trus tiba-tiba dicolek aja gitu dari belakang.. hiii...
Dan memang saya orangnya hobi browsing sih, jadi yaa.. gitu deh..
Cuma sekarang jadi jauh lebih selektif aja browsingnya. Pilih sumber informasi yang terpercaya, dan yang penting sih seperlunya dan semampunya aja. Sesuai kebutuhan.
I admit, saya nggak selalu se-kritis itu kalau sedang browsing, karena kadang suasana hati memang perlu hiburan, perlu sesuatu yang membuat lebih optimis. Jadi ya, seperti saya bilang tadi, sesuai kebutuhan aja.
Ada waktunya saya browsing karena memang butuh informasi supaya lebih mantap waktu konsultasi ke dokter nantinya, ada juga waktunya saya browsing untuk mencari 'ketenangan batin'.
Kalau sedang cari informasi biasanya saya baca sebanyak-banyaknya, semampunya tentu saja.
Tapi kalau sekedar mencari ketenangan batin, ya saya pilih yang bagus-bagus aja, haha..
Trus batinnya jadi tenang nggak?
Nggak selalu sih, kadang bisa tenang, tapi kadang malah tambah pusing, hehee..
Lagian sudah dikasih tau juga di Al-Qur'an : Alaa bidzikrillaahi tathma'innul quluub, Ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Jadi udah ngerti ya Fah, lain kali kalo pengen hati tenang baca Qur'an, dzikir, jangan baca internet, huehue *ngomong sama diri sendiri*
Jadi, kembali ke browsing tadi itu, meskipun sekarang banyak sekali informasi yang bisa kita dapatkan di internet, tapi tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Siapapun bisa memposting apapun di internet, jadi kita sebagai pengguna yang harus memasang 'ekstra filter' untuk bisa selamat mengarungi lautan informasi ini.
Aturan utama adalah : Waspadalah, waspadalah!
Informasi di internet bisa datang dari mana saja.
Banyak yang berniat baik dan benar-benar ingin menolong orang lain. Tapi karena siapapun bisa posting apapun, kadang secara nggak sengaja orang bisa menyebarkan informasi yang kurang tepat atau bahkan menyesatkan.
Banyak juga yang niatnya kurang baik, yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak-tidak.
Banyak juga yang niatnya sebetulnya baik tapi kurang tulus, misalnya tujuan utamanya jualan. Nah ini mungkin informasinya bisa bener, bisa juga nggak bener, tapi yang jelas kemungkinan bias atau nggak objektifnya besar. Lhawong niatnya aja jualan. Sebagaimana iklan kecap yang pasti nomer satu, maka sesuatu yang dijual biasanya juga dinomorsatukan.
Informasi dari penjual tentu nggak selalu salah. Kadang bisa juga bermanfaat, tapi mungkin bukan yang kita perlukan ketika mencari informasi mengenai penyakit kita.
Bagaimana memastikan informasi yang kita dapat itu bisa dipertanggungjawabkan?
Berikut ini ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan untuk memastikan keabsahan informasi yang kita dapatkan, khususnya dari internet:
oh ya, aslinya didapat dari sini
Siapa yang mengelola/memiliki website-nya? Siapa yang mendanai?
Apakah situsnya dikelola oleh individu atau organisasi? organisasi apa? bisnis, lembaga pemerintah, atau organisasi nirlaba (non profit)?
Bagaimana mengetahuinya? Biasanya website yang bertanggungjawab akan mudah diketahui pemilik/pengelolanya. Diantaranya melalui halaman "About us" atau "Tentang". Cara lainnya dari alamat website-nya. Biasanya di domainnya ada .edu, .com, .org, atau .gov. Bisa juga or.id, go.id, co.id, ac.id, dimana 2 huruf terakhir menunjukkan negaranya (dalam hal ini id = Indonesia).
Apa tujuan atau misi website tersebut?
Biasanya berkaitan dengan poin di atas (siapa yang mengelola dan mendanai situsnya). Website yang disponsori oleh penjual produk/obat tertentu, baik itu medis ataupun alternatif, bisa jadi informasinya akan kurang netral dan lebih mendukung produk yang dijualnya (tentunya).
Siapa audiens yang dituju oleh website tsb?
Apakah informasinya ditujukan untuk pasien/orang awam, atau petugas kesehatan? Ini berkaitan dengan bahasa/cara penyampaian. Biasanya situs yang ditujukan untuk pasien akan lebih mudah difahami daripada situs untuk petugas kesehatan.
Dari mana sumber informasi yang ada di situs itu?
- bisakah kita ketahui asal informasinya? berdasar fakta ilmiah atau pengalaman individu?
Pengalaman personal, atau biasa disebut testimonial, mungkin lebih mudah difahami dan lebih 'mengena' di hati, sehingga lebih terasa meyakinkan. Tapi perlu diingat, bahwa tidak selamanya sesuatu yang cocok untuk orang lain itu cocok juga untuk kita.
Terlebih untuk kanker, yang kita tahu bahwa penyakit ini sifatnya sangat individual. Artinya, dua orang dengan jenis kanker yang sama, belum tentu akan sama kondisinya. Apalagi kalau jenis kankernya beda.
Demikian juga reaksi obat/terapi pada satu orang, kemungkinan besar akan berbeda dengan orang yang lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi, diantaranya : jenis kankernya, grade-nya, stadiumnya, kondisi fisik pasiennya, komplikasi atau penyakit lain yang diderita, dan lain sebagainya.
Inilah mengapa konsultasi dengan dokter, berdasar data-data rekam medis yang lengkap, masih tetap diperlukan untuk pengambilan keputusan kita.
- bisakah kita ketahui riset apa yang mendukung informasi tsb?
Situs yang baik biasanya akan mencantumkan referensi yang lengkap, berdasar jurnal/penelitian ilmiah yang dapat dipercaya.
- apakah informasinya tampak bias, atau berat sebelah?
Informasi yang baik mestinya berimbang, menyampaikan kelebihan dan kekurangan terapi/obat/produk yang dijelaskan. Apa benefitnya, apa efek sampingnya, dll.
Apakah informasi di situs itu direview? Oleh siapa? Seberapa sering?
siapa yang menulis material di situs tsb, bagaimana kredibilitasnya? berbicara sesuai bidangnya tidak? dst.
Apakah informasinya up-to-date?
Perkembangan informasi di bidang kanker sangat dinamis, setiap hari mungkin ada hal baru yang muncul. Oleh karena itu perlu kita lihat, kapan terakhir informasi di situs tersebut diupdate?
Apakah masih relevan? Adakah informasi yang lebih baru mengenai hal yang sama?
Bagaimana link-link situs lain yang ditampilkan website itu?
Situs yang bertanggungjawab biasanya punya aturan mengenai link atau tautan yang ditampilkan. Apakah link-nya menuju ke situs yang terpercaya? Apakah link-nya ke situs sponsor/penjual produk/layanan kesehatan?
Nah, itu tadi beberapa hal yang bisa dijadikan panduan. Repot amat yak?
Yaa.. demikianlah.. namanya juga jaga-jaga, kan demi kebaikan kita sendiri juga. Jadi peselancar internet yang kritis dan smart, supaya kita nggak bingung dan terombang-ambing oleh informasi yang simpang siur. Dan jangan sampai keputusan kita justru merugikan atau malah berbahaya bagi diri kita sendiri.
Di samping hal-hal di atas, ada beberapa "tanda bahaya" atau warning sign, yang perlu diwaspadai (masih dari situs yang tadi) :
- Klaim "terobosan ilmiah," "penyembuhan ajaib", "ramuan rahasia," atau "ramuan kuno".
Atau yang sering kita dengar berkaitan dengan obat kanker adalah : 1000 (atau 100, 10.000, pokoknya angka fantastis lah) kali lebih ampuh dari doxorubicin/adriamicin.
Secara pribadi, reaksi saya membaca kalimat semacam itu biasanya adalah : "are you kidding me?" Doxorubicin atau adriamicin ini adalah obat yang sangat keras dan beracun. Disebut sebagai obat yang bersifat sitotoksik dan kardiotoksik, alias merusak/meracuni sel dan merusak/meracuni jantung.
Karena efeknya kumulatif, ada batas maksimal seseorang dapat menerima obat ini, dengan dosis yang harus diukur dengan sangat hati-hati, disesuaikan dengan berat badan dan kondisi fisik pasien.
Akibat obat ini, banyak kasus dimana orang yang sakit kanker akhirnya bisa sembuh, tapi lalu meninggal karena kerusakan jantung.
Pak dokter AWS dulu pernah bilang, untuk kondisi fisik dan dosis yang saya terima, maksimum adalah 8 kali seumur hidup. Bahkan akhirnya saya tidak jadi menjalani radiasi karena kondisi jantung tidak memungkinkan.
Jadi, kalau efek samping dikali 1 aja sedemikian kuat, bagaimana lagi 100, 1000, atau 10.000 kali-nya?
- Klaim bahwa sebuah produk dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, semacam produk sapu jagat gitu deh (sejauh ini secara ilmiah belum ditemukan produk semacam ini).
- Cerita orang yang sudah merasakan hasil yang luar biasa, tetapi tidak ada data ilmiah yang jelas
- Klaim bahwa produk tersedia hanya dari satu sumber, terutama jika Anda harus membayar di muka.
- Klaim "jaminan uang kembali" (Meskipun hal ini mungkin membuat produk tampak tidak beresiko, seringkali tidak mungkin untuk benar-benar mendapatkan uang Anda kembali. Belum lagi nanti efek samping yang mungkin kadung kita derita.)
- Website yang tidak mencantumkan nama perusahaan, alamat, nomor telepon, dan informasi lainnya.
Memutuskan jenis pengobatan kanker memang bukan sesuatu yang mudah. Menjalaninya apalagi. Kadang kita sudah tidak punya tenaga dan energi lagi untuk memikirkan yang aneh-aneh macam begini. Jangankan surfing dan browsing, mikir hari ini bakalan bisa makan atau enggak, hari ini bakalan demam lagi atau enggak, bakalan perlu ke lab lagi atau enggak, bakalan perlu ke UGD atau enggak, dan seterusnya. Itu saja sudah menyita tenaga kita, lahir batin.
Oleh karena itu kalau lagi ada tenaga, dan mungkin pengen cari-cari tambahan info, sebaiknya kita betul-betul hati-hati menyaringnya.
Kalau pusing, mending nggak usah dipikirkan, just stick to the one you most confident about. Bismillah saja, kalau bingung banget ya tanya pak atau bu dokter yang berwenang.
Jalani selangkah demi selangkah aja, nggak usah dipikirkan yang susah-susah. Ingat2 aja kalau setiap hari yang kita jalani, setiap butir obat yang kita minum, setiap terapi yang kita lakukan insyaAllah berarti selangkah lebih dekat kepada kesembuhan.
Dan buat yang sehat, yang mungkin menjenguk kerabat atau teman yang sakit kanker, please be careful and considerate. Sebelum merekomendasikan atau menyarankan produk/terapi tertentu, ada baiknya kita cek dan croscek dulu, supaya niat baik kita itu tidak malah menambah kebingungan si sakit dan pendamping2nya.
Urfah, luar biasa dikau....hanya itu yang aku bisa bilang, soalnya aku udah gak bisa ngomong apalagi tentang mu.....
BalasHapusWaduh, jadi malu deh :)
HapusIni sebenernya dalam rangka mengingatkan dan menyemangati diri sendiri mbak, ya sukur-sukur kalo bisa berguna juga buat orang lain.