Rabu, 26 Desember 2012

Rekapan langkah selanjutnya : biopsi kelenjar, thoracentesis sampai diagnosis TBC

[Kopi entry dari blog satunya.. ya gini ini kalo jadi orang galau, gak yakin mana yang mau dimaintain.. jadinya dua2nya deh]

Ke dokter lagi, biopsi kelenjar

Seminggu sesudah periksa yang pertama, ke dokter lagi bawa hasil lab dan ronsen. Dokternya sebetulnya nawarin biopsi kelenjar dan sedot cairan pleura sekaligus. Tapi karena lagi-lagi yang ditawarin ragu-ragu (iyalah.. sedot cairan paru kan kedengerannya serem), akhirnya diputuskan biopsi dulu. Untuk sedot cairannya, dikasih pengantar USG thorax untuk memberikan marker untuk memandu penyedotannya.
Biopsi kelenjar itu dilakukan menggunakan jarum, istilahnya biopsi jarum halus atau FNAB (fine needle aspiration biopsy). Rasanya kaya diambil darahnya gitu deh, ngilu2 dikit.
Besoknya mengambil kartu pengambilan hasil. Haha.. iya, redundant gitu. Jadi ceritanya, karena sample langsung dikirim ke lab patologi anatomi (PA) oleh petugas klinik, jadi kita nggak pegang kartu pengambilan hasil. Yang kita pegang adalah receipt pembayaran jasa lab (inget.. prepaid service). Jadi besok paginya harus kembali ke RS untuk menukar receipt dengan kartu pengambilan hasil itu. Oh iya, sekalian daftar USG.
Nah kali ini karena mengingat pengalaman prepaid service, langsung ke kasir untuk bayar USG. Ternyata ditolak sama kasirnya. EH???
Ternyata karena USG di RSUD ini harus antri panjang dan belum tentu bisa langsung hari ini (baru tau), jadi ambil nomer antrian dulu, baru pas tanggal USG-nya ke kasir untuk bayar.
Ke radiologi, ternyata antrian USG penuh sampai dua minggu ke depan. HAAA???
Baiklah, kita cari ke RS lain aja.
Hasil lab PA baru bisa diambil seminggu sesudahnya. Berarti sehari sesudah jadwal ketemu dokter yang berikutnya untuk janjian penyedotan cairan. Hiks.. baiklah.. mau bagaimana lagi, memang begitu keadaannya. Nggak bisa buru-buru memang.
Tadinya dari situ mau langsung ke RS haji untuk cari USG, tapi tiba-tiba di jalan terasa mual dan dizzy. Gak kuat deh kalo harus antri-antri lagi di RS. Akhirnya diputuskan untuk ke kantor aja, tidur dulu di angkot karena jalanan pasti muacet.
Sampai kantor googling satu persatu obat yang diresepin (obatnya ada yang ganti), ternyata dua diantaranya memang ber-efek samping : diare, nausea, dizziness. Dibekalin obat lambung sih sama dokternya, dan waktu ngeresepin dokternya juga tanya apakah ada masalah dengan asam lambung. Tapi nggak nyangka kalau bakalan semual dan sepusing itu. Setelah tau kalau itu efek obat, jadi rada tenang lah. It's normal. Walaupun seharian jalan kayak orang mabok, kesana kemari nabrak tembok.
Next day, ke RS haji. Wah, langsung terasa bedanya banget. Sepi. Daftar, nunggu 5 menit langsung dipanggil USG. Wuih, beda banget memang.
Tapi sepadan lah dengan biayanya yang 3 kali lipat dari RSUD.

Periksa ke 3, sedot cairan pleura

Seminggu sesudah periksa kedua, ketemu untuk sedot cairan. Tapi sayangnya, belum ada kemajuan diagnosis yang pasti, soalnya kan hasil lab baru keluar besoknya.
Oh ya, disamping prepaid service, ada satu lagi ternyata sifat layanannya : self service. Kita harus beli sendiri alat2 yang akan digunakan untuk tindakan. Jadi kita jalan sendiri ke apotik, ngantri sendiri. Waktu FNAB pun begitu, spuit yang harganya 7500 aja kita harus beli sendiri ke apotik. Jadi pertama dikasih kertas tanda tindakan sama dokternya, trus bayar tindakan ke kasir klinik, masuk lagi, dikasih list alat yang diperlukan sama susternya, ke apotik lantai 2 untuk beli alat-alatnya (dengan antri tentunya), trus balik lagi ke klinik nyerahin alat dan ngantri lagi untuk tindakannya.
Oh ya, karena jarak antara USG dan punksi pleura atau thoracentesis atau sedot cairan pleura itu agak lama (4 hari), maka tanda yang dibuat sama dokter radiologi harus dijaga supaya gak hilang. Dokternya kasih tanda pake spidol, trus kita tutupin dengan band-aid deh. Nah pas mandi musti bener-bener dijaga supaya gak kegosok. Soalnya tanda itu harganya 400 ribu rupiah, haha..
Punksi pleura atau http://en.wikipedia.org/wiki/Thoracentesis dilakukan dengan bius lokal. Kita duduk aja, tangan diangkat ke atas melingkari kepala. Nanti dokternya akan memasang jarum infus dan selang di tanda yang dibuat dokter radiologi itu. Rasanya? Lumayan lah..
Kalau bisa sih sekali itu aja deh.
Entah kenapa, mungkin karena lambatnya proses diagnosis, karena pasiennya yang takut2 dan jadwal periksa yang cuma seminggu sekali, dan hasil lab yang baru keluar besok, dokternya kali ini mengambil kesimpulan tanpa hasil lab. Jump into conclusion gitu.
Di akhir pertemuan, dokternya langsung ngeresepin obat tb, padahal hasil lab yang kemarin negatif dan hasil lab yang besok ya masih besok. Beliau bilang, walaupun hasil lab belum ada tapi udah yakin dari tanda-tandanya kalau ini adalah tb.
Agak ragu sih, tapi obatnya tetep ditebus aja, siapa tau besok hasilnya keluar dan beneran tb. Kan bisa langsung diminum. Tapi tetep akan nunggu hasil lab, baru minum obat. Dokter tidak selalu benar kan? Ya gak selalu salah juga sih, but I'll take the risk.
Dokternya nyuruh periksa hari kamis, untuk evaluasi hasil lab PA yang keluar besok, dan evaluasi pengobatan.
Oh ya, kesimpulannya penyakitnya memang beberapa macam, asma dan infeksi saluran pernafasan, dan penyakit X yang bikin kelenjar bengkak dan efusi pleura. Jadi obat asma tetep dipakai aja untuk terapi asma. Obat yang dikasih ada dua, yang satu jenisnya .. (apa ya ini.. baru nyadar kok kalimatnya ga selesai.. )
Seluruh kegiatan yang sepertinya tidak seberapa ini ternyata menghabiskan waktu 6 jam. Sampai rumah jam 8 malam, lelah lahir batin, dan punggung ngilu.

Hasil PA Biopsi kelenjar

Semalaman nggak bisa tidur. Disamping punggung masih ngilu, jadi tidurnya gak bisa lasak seperti biasanya, juga karena nervous sama hasil lab besok.
Jam setengah 1 malam malah makan nasi (yang ini karena lapar tentunya, bukan karena nervous, haha). Akhirnya tidur jam setengah dua, kebangun jam setengah 3. Habis sholat, nyetel murottal, akhirnya bisa tidur dan sukses kesiangan, jam setengah 7.
Terus terang nggak pengen banget kena tb (iya lah, siapa coba yang mau), berobatnya lama, bisa menular lagi. Tapi kalau bukan tb lalu apa? The alternatives are no better. Belum lagi proses diagnosisnya bakalan masih lama lagi. Kegalauan macam inilah yang bikin nggak bisa tidur semalaman.
Belum bisa pasrah gitu.
Oh ya, dari pertama periksa, pesen dokternya selalu sama : makan yang banyak, makan yang enak-enak. Kesimpulannya : salah satu penyebab sakit adalah kurang gizi. Hadeh, gak keren aja.
Permasalahannya adalah, obat-obatan yang dikasih dokter itu hampir selalu membuat mual. Jadi bagaimana mau makan enak dan banyak, makan dikit aja kadang harus berjuang dulu. Jadi setiap mau makan harus mensugesti diri dulu, kalau makanan itu enak.

Senin, 24 Desember 2012

Lab dan ronsen, prepaid service

Pengalaman pertama antri lab di rsud, overwhelmed. Dari jam 8 yang nunggu udah bejibun, padahal baru buka jam 9. Baru dipanggil setengah jam berikutnya. Dan ternyata karena masih newbie, ada aja yang kelewat. Ternyata harus bayar dulu ke kasir, baru bisa antri di lab. Hadeeh.. gak gaul ya, baru tau kalau semua service di RS itu prepaid jenisnya.
Antri lagi lah di kasir, dan antri lagi di lab dan radiologi. Baru beres semuanya jam 1 siang. Tadinya niat ke kantor nggak jadi, karena lelah lahir batin.

Hasil x-ray sudah bisa diambil besoknya, tapi lab besok masih harus ngasih sputum ke 2 dan ke 3, yang ke 2 diambil bangun tidur sebelum minum dan gosok gigi, dan yang ke 3 sesudah makan. Hasilnya akan keluar sehari sesudah besok.

Besoknya ambil hasil ronsen dan menyerahkan sampel ke lab. Pas di jalan iseng-iseng baca, langsung shock berat : pleural effusion di paru kiri. Langsung seharian gak konsen kerja.
Besoknya ambil hasil lab, ternyata negatif tb. Tapi LED yang mestinya maksimal 20, ini sampai 100. Kalau dari hasil googling, berarti memang ada infeksi.