Alhamdulillah terapi-nya lancar, efek samping minimal, mudah2an efek positifnya maksimal.
Ada waktu beberapa hari sebelum leukosit terjun bebas lagi akibat efek immunosuppresan si obat-obatan terapi. Sebetulnya prosesnya udah mulai sih sejak obatnya masuk, tapi seperti yang disebut di entry kemarin, titik nadir adanya di 7-10 hari.
Btw, mumpung masih semangat di-boosting sama steroid, lanjutin cerbungnya dulu. Bentar.. sampai mana ya kemarin? Oh ya, sampai mulai berobat deh.
Karena ceritanya puanjang, kita bikin sesingkat mungkin aja, supaya gak sampai bervolume-volume kek kaset si unyil ratapan anak tiri.
Flesbek sedikit ya..
Nah lo, begimana mau singkat inihh, belum apa2 udah ada flashbacknya.. haha.. sorry guys, sepertinya ini akan jadi cerita yang berlarut-larut, so bear with me or you're welcome to click another link when you feel like it :)
Seperti lirik lagu jaman 80-an (lupa sapa yang nyanyi) : Mulanya biasa saja..
Awalnya batuk-batuk berulang sampai 2 bulan lebih. Nggak terus-menerus sih. Sakit, sembuh, ketemu orang sakit, ketularan, sembuh lagi, ketularan lagi.. dst. Cuma lama kelamaan berasa kalau sakit yang ke n terasa lebih berat daripada sakit ke n-1, dan sakit ke n+1 lebih berat daripada sakit ke n. Halah, maksudnya setiap kali kambuh sakitnya terasa lebih berat gitu.
Masuk ke bulan kedua nggak tahan, akhirnya yang selama ini nggak pernah mau kalau disuruh ke dokter, berangkat lah sendiri ke dokter. Kali ini dokter umum dekat rumah aja, wong sakitnya juga 'cuma' batuk pilek. Dokter bilang asma bronkhitis. Setelah satu putaran minum obat, alhamdulillah sembuh.
Tapi nggak bertahan lama, seminggu kemudian setelah ketemu orang yang sakit flu, langsung besoknya demam. Demamnya nggak cuma panas dingin tapi juga tulang ngilu semua dari ujung rambut ke ujung kaki. Bohong ding, mana ada rambut bisa ngerasa. Tapi tau lah apa yang dimaksud..
Oh ya, waktu itu mulai terasa ada benjolan di leher. Tepatnya di atas tulang belikat.
Wah, rada panik juga.
Akhirnya balik ke dokter umum yang kemarin, laporan segala keluhan :
- sesak napas -> oh, ini karena dahaknya nggak mau keluar nih
- saya asma dok -> tapi nggak bunyi ini napasnya, berarti ringan ya
- ini ada benjolan di leher dok -> ah, biasa itu kan karena lagi infeksi
Masuk bulan ke 3, demam makin sering, dan sesak napas makin menjadi. Biasanya istirahat, minum parasetamol, banyak2 minum dan makan, maksimal 2 hari dah ilang panasnya. Tapi yang ini enggak. Malah ditambah sesak napas yang makin menjadi, sampai-sampai jalan kaki sebentar aja ulu hati sakit kayak kita habis lari keliling lapangan bola. Oh ya, tidur juga udah mulai gak bisa miring, karena dada sebelah kiri sakit kayak keseleo, kadang tangan kiri sampai nggak kuat dipakai kerja keras (halah, kayak yang biasa kerja keras aja, hehe). Tanya sana sini, katanya nyeri dada itu biasa kalo kita sesak napas karena asma, mestinya kalau sesak napasnya ilang, nyerinya ilang juga.
Karena makin lama kok makin berasa kayak nenek-nenek, jalan dikit aja langsung kehabisan napas, akhirnya memutuskan untuk periksa ke spesialis paru di RSUD pasar rebo.
Pertama kali nih, periksa ke RS sendiri seumur-umur, sempet bingung juga. Apalagi kebetulan KJS lagi hot-hotnya, belum lagi perbedaan praktek dokter pagi dan sore yang musti pake ktp dki, pengantar puskesmas, dsb.
Tapi soal ini nanti dibahas di lain entry aja deh.
Intinya, periksa ke dokter paru langsung diomelin:
- Ini asmanya udah parah nih, kenapa nggak kesini dari dulu? Lha, kirain spesialis paru cuma buat yang udah cengap2 (istilah kak sena nih) atau yang paru2nya kenapa2.
- Ini benjolannya udah agak besar nih, kenapa dibiarin aja? Lha, lagi2 karena dokter umum yang didatengin bilang gak pa2, jadi ya santey aja. Eh, dokternya tambah protes : itu dokter apa yang bilang gak pa2 begitu? Hadeeh…
Dokternya kasih wejangan2 lagi.. katanya asma mestinya bisa di-manage, supaya kualitas hidup baik dan nggak sampai ada kerusakan permanen. Weh iya sih, secara teori emang begitu, tapi kirain itu untuk yang udah berat aja. Baiklah, lain kali akan diperhatikan..
Dari hasil periksa yang pertama itu, dikasih obat untuk infeksi dan asma, dan disuruh periksa lab (darah dan sputum, untuk mendeteksi tbc) dan ronsen.
Besoknya ambil hasil ronsen dan menyerahkan sampel ke lab. Pas di jalan iseng-iseng baca, langsung shock berat : pleural effusion di paru kiri. Langsung seharian gak konsen kerja. Sehari sesudahnya ambil hasil lab, ternyata tes darah dan tes sputum negatif TBC.
Oh ya, waktu itu deket-deket ulangtahun kalau gak salah, awal desember gitu. Catet yaaa, siapin kado buat awal desember ntar, hehe..
Eniweiii... Kebayang kan ngenesnya? Orang lain ulang tahun dapet kado bagus-bagus, I got myself a pleural effusion.
Sesudah hasil lab keluar, dilakukan biopsi kelenjar dengan cara FNAB alias fine needle aspiration biopsy, atau biopsi jarum halus (BJH) untuk me-rule out keganasan alias tumor dan cek TB lagi.
Proses biopsi dengan cara FNAB ini biasanya dilakukan untuk benjolan yang dekat dengan permukaan kulit. Sebagaimana tercermin dari namanya, dokter akan menggunakan jarum halus untuk mengambil/menyedot sedikit jaringan yang dicurigai abnormalitasnya, lalu jaringannya dikirim ke lab untuk diperiksa (tentunya). Oh ya, biaya BJH atau biopsi jarum di RSUD pasar rebo waktu itu kalo gak salah sekitar 300 ribu, mungkin karena periksa sore ya.
Sebetulnya efektifitas metode ini untuk deteksi tumor jauh dibawah biopsi dengan bedah terbuka, karena mungkin saja jaringan yang abnormal gak keambil alias kelewat, karena yang diambil memang cuma sedikit. Tapi karena resikonya yang bisa dibilang hampir tidak ada alias aman dan prosedurnya yang praktis, maka metode ini tetap banyak digunakan untuk deteksi awal kanker.
Hasil lab menunjukkan nggak ada keganasan, dan negatif dari sisi kuman TB. Alhamdulillah..
Tapi ini berarti proses mengejar diagnosis masih belum selesai.
Sementara itu untuk mengatasi pleural effusion yang makin berat, dilakukan punksi pleura atau thorachenthesis yaitu menyedot cairan pleura yang berlebih itu. Biayanya di RSUD pasar rebo sekitar 500 ribu untuk umum, nggak pake kjs maksudnya.
| image courtesy of www.hopkinsmedicine.org |
Ngeri gak sih ? Iya dong..
Sakit? Iya lah..
Sesudah mengalami thoracentesis yang pertama itu rencananya nggak akan ngulang lagi. Kapok. Little did I know what was in store for me then. Sesudah yang itu masih harus mengalami setidaknya 6 kali lagi prosedur yang sama, dan diakhiri dengan pasang selang yang nggak dilepas sampai satu setengah bulan. But I digress..
Kembali ke diagnosis, cairan pleura itu sebagian juga dikirim ke lab patologi dan sitologi, untuk (lagi-lagi) mendeteksi tb dan abnormalitas.
Hasil lab (lagi-lagi) negatif, jadi sampai sejauh ini (kurang lebih hampir 4 minggu sejak periksa pertama), masih belum ada kesimpulan pasti. Lega karena sejauh ini nggak ketemu penyakit aneh-aneh, nggak lega karena penyakitnya nggak ketemu-ketemu *nah loh apasih maunya?*
Ketemu dokternya lagi, dokter langsung meresepkan obat TB.
Hah? Kok bisa? Kan hasil lab-nya negatif terus?
Kata dokternya waktu itu, karena walaupun hasil lab negatif tb, tapi dari gejala-gejalanya dokter menyimpulkan bahwa pasiennya positif kena TB. Dan memang banyak kasus yang begitu. Kayak bukan TB tapi iya.
Oh ya?
Haduh, pasiennya sebenernya masih gak rela didiagnosis TB, karena nggak ada bukti hitam di atas putih (padahal kalo di foto ronsen indikasi tb malah putih di atas hitam yak, hehe..)
Tapi karena dokternya bilang begitu, yasudahlah.. kita minum obatnya deh. Oh ya, obatnya waktu itu adalah Rimstar yang ternyata isinya adalah 4 obat lini pertama untuk TBC, yaitu (urutan menunjukkan prioritas) :
- isoniazid, biasa disingkat INH or H
- rifampicin, biasa disingkat RMP or R
- pyrazinamide, biasa disingkat PZA or Z
- Ethambutol, biasa disingkat EMB or E
Obat ini diberikan ke penderita sesuai dengan berat badannya. Waktu itu kebagian minum 3 kali sehari 4 kaplet yang gede2 itu. Karena obatnya lumayan gede, jadi minumnya butuh banyak air. Kebayang deh kembungnya.
Oh ya, obat TB dibagi menjadi 2 jenis (atau 3 kalau lini ketiga dimasukkan), yaitu lini pertama dan kedua. Yang pertama untuk kasus biasa, yang kedua untuk kasus TB yang bakterinya resistan. Biasanya akibat pasiennya bandel dan tidak menuntaskan pengobatan ketika pertama kali didiagnosis TB.
Begitu dah ngerasa enak langsung setop minum obat, soalnya obat-obatan TB ini memang efek sampingnya nggak enak sih. Mual, muntah, sering buang air kecil, dsb.
Mana minumnya harus rutin, obatnya banyak, dan jangka panjang lagi. Jadi pantas kalau banyak yang putus di jalan.
Sebetulnya sebuah obat dimasukkan ke lini kedua alasannya ada beberapa, yaitu : karena kurang efektif dibanding obat lini 1, efek sampingnya lebih beracun, atau karena sulit didapat di banyak negara sehingga harganya jadi mahal. Makanya sebisa mungkin obat lini pertama yang digunakan lebih dulu.
Kembali lagi ke pasien yang gak rela tadi, setelah doi minum obatnya selama dua minggu.. eh lha kok ndilalahnya.. muncul reaksi-reaksi yang tidak diharapkan alias alergi. Mulai gatal-gatal hebat, mual muntah nggak berhenti-berhenti, berdebar-debar, dan macam-macam yang nggak jelas.
Langsung balik lagi ke dokter. Kata dokter stop dulu minum obatnya.
Pasien yang gak rela ini berdasarkan saran dari sana sini lalu mencari 2nd opinion ke RS Persahabatan yang notabene rumah sakit pusat respirasi nasional. Betul sih, kalau liat di website-nya aja, dokter spesialis paru di RSP sampai ada 28 orang. Permasalahannya, nggak tau dokter mana yang musti dituju karena nggak punya rekomendasi, jadi cap cip cup aja, alias mana aja yang lagi praktek waktu itu.
Ketemulah dengan seorang dokter senior citizen alias sudah agak lanjut usia. Pak dokter yang profesor ini sebenernya sempat curiga sama bejolan di leher yang nggak mengecil-mengecil walaupun dah dikasih obat, dan kenapa diraba terasa keras.
Tapi setelah melihat hasil lab dari FNAB di RSUD, dokternya cenderung mengikuti hasil diagnosis dokter pertama. Intinya sarannya adalah gimana caranya obat TB itu harus bisa dikonsumsi dengan meminimalisir efek sampingnya. Akhirnya pulanglah pasien yang gak rela ini dengan hati yang tetep nggak rela.
Sudah menjelang maghrib, kita break dulu.. nanti insya Allah dilanjutkan dengan volume ke 4 kisah si unyil mengejar diagnosis..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar