Minggu, 09 Juni 2013

Not TB, vol 5.. kapan ini selesainya yak? :P

Sebelum niat kembali menguap bagai asap, mari kita mulai lagi cerbungnya.
Oh tenang, nggak mulai dari awal kok, dari yang terakhir aja.
Dan kali ini nggak pake flashback, preview atau yang sebangsanya. Langsung tunjepoin (to the point maksudnya) saja kitah.

Dengan mengantongi pengantar siti seken alias ct-scan dari bu dokter Eva,dan nama dokter radiologi yang direkomendasikan, browsing dulu di websitenya untuk cari jadwal bu dokternya. Dua hari kemudian, tanggal 11 Februari kalau nggak salah (hehe.. maap udah lama sih, dan lagi males ngecek amplopnya) kebetulan ada jadwalnya. Datang ke RS jam 9-an, daftar di griya puspa, antrinya ternyata lumayan lama. Dan karena waktu itu IGD RSPP sedang direnovasi, sementara IGD dipindah ke gedung griya puspa. Akibatnya, kasus-kasus gawat darurat pun antriannya masuk di radiologi griya puspa.

Btw, griya puspa ini mestinya adalah 'divisi swasta'-nya dari rspp. Tujuannya mungkin untuk memberikan pelayanan yang lebih nyaman bagi pasien yang berkenan untuk membayar lebih mahal daripada di versi pemerintahnya. Mestinya sih begitu ya, tapi kenyataannya.. yaa.. begitu deh, heheh..

Kembali ke soal seken menyeken, ternyata untuk ct-scan yang pakai kontras ini pasien diharuskan puasa makan dan minum setidaknya 4 jam sebelumnya. Karena terakhir makan jam 8 pagi, maka jadwal ct-scan paling cepat dilakukan jam 12 siang nanti.

Kalau antri di RSUD pasar rebo kadang bareng sama pasien yang dikursi roda, perasaan langsung sehat banget, disini lebih-lebih lagi. Antriannya bareng yang pakai tempat tidur, yang selangnya banyak. Waktu itu belum kebayang kalau nantinya pun bakalan pakai-pakai selang walaupun 'cuma' 3. Waktu itu berasanya wah, alhamdulillah.. masih mending berarti nih.

Sekitar jam 2 siang akhirnya dipanggil, tapi belum jadi masuk petugasnya minta maaf dan minta ijin untuk mendahulukan satu pasien dari IGD. Oh nggak apa2 pak, silakan, saya juga kok tiba2 deg-degan inih.. kalimat terakhir diucapkan dalam hati doang tentunya.

Akhirnya giliran tiba. Masuk ke ruang radiologi, tadinya sudah disediakan baju ganti tapi susternya melihat kalau pasiennya pakai kaos lengan panjang (nggak ada kancing dan asesoris lainnya), akhirnya cuma disuruh lepas bra saja. *hadeh.. maap.. maap..*
Disamping mempercepat proses antrian, pasiennya juga mestinya lebih nyaman dan nggak terlalu deg2an kalau tetep pakai bajunya sendiri. Hehe.. itusih saya ya
Petugas juga menanyakan apakah memakai perhiasan atau gigi palsu.
Kalau pakai perhiasan pasti disuruh lepas dulu, kalau pakai gigi palsu? Hmm nggak tau deh apakah disuruh lepas juga atau tidak :P


Untuk ct scan thorax dengan kontras, pasien disuruh tidur di atas 'meja', lalu tangan diangkat ke atas kepala. Oh iya, zat yang disebut contrast material itu diberikan melalui infus.
Lalu pasien akan disuruh jangan bergerak-gerak selama proses scanning, dan mendengarkan dengan seksama instruksi dari petugas radiologi.

'Meja' tempat pasien tidur itu akan bergerak maju mundur ke lubang scanner, dan kita akan mendengar aba-aba 'tahan nafas', 'nafas biasa', beberapa kali.

Proses scanning nggak lama, paling sekitar 5-10 menitan kalau nggak salah hitung, hehe. Oh ya, selama diberikan zat kontras itu kita akan merasa sedikit nggak nyaman, agak terasa panas dan berasa seperti aroma logam di tenggorokan sampai ke bagian bawah, tapi nggak lama kok.

Sesudah itu diminta menunggu 1 jam untuk mendapatkan hasilnya. Wah cepat juga ya.

Nah, sampai disini bingung nerusin ceritanya, hehe..  because apparently i misplaced my old files, including that first scan result, and unfortunately i forgot the content.

Pokoknya sih begini, dari hasil ct-scan itu diketahui kalau ada sesuatu yang bercokol di antara paru-paru yang oleh dokter radiologi disebut mediastinal mass. Itu pertama kalinya mendengar istilah mediastinum, yang ternyata adalah sebuah 'ruang' diantara kedua paru-paru kita, yang isinya macem-macem organ, termasuk jantung, trakea, esofagus, dan kelenjar getah bening atawa lymp nodes.
Bagaimana perasaan waktu itu?
Sudah agak lupa, tapi kayaknya agak mati rasa gitu, soalnya pertama baca masih di depan ruang radiologi. Masih belum tau persis apa istilah-istilah yang ada di hasil interpretasi dokter radiologi itu, cuma yang tertangkap pasti waktu itu adalah : ini sepertinya tumor, bukan TB. Itu, dan satu lagi istilah : total collapse of left lung, alias paru kiri kempes total akibat tumor dan cairan pleura.
Takut?
Iya lah..

Hari sabtunya kembali ke dokter Eva di RSUD. Beliau langsung memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana, dan memberikan rujukan ke dokter onkologi paru di RS Persahabatan. Istilah beliau waktu itu : 'kita harus mencari penanganan yang agresif'. Kata-kata perpisahannya waktu itu : 'Yang sabar ya mbak'. Eh tapi sebenernya itu kata-kata perpisahan setiap periksa ke dr Eva, sejak dari pertama periksa dulu, sejak urusannya masih alergi obat TB. Cuma yang terakhir ini rasanya agak lain, soalnya it's a new journey for me, an unknown and scary path that i might need to take.

Pertemuan pertama dengan dokter spesialis paru yang ke 3 ini (ke 4 kalau mbah dokter yang dimintai 2nd opinion juga dihitung), agak ruwet. Ternyata bu dokter ini sibuknya minta maaf, sehingga kalau kita mau kontrol, paginya kita harus konfirm dulu ke bagian pendaftaran di griya puspa untuk mendapat kepastian hari itu bu dokter praktek jam berapa.
Kadang-kadang walaupun di jadwalnya tertulis jam 9 pagi, ternyata dokter praktek sore, atau kadang siang jam 1.
Dan ini kejadian juga pas kita mau konsul untuk yang pertama kali. Waktu itu kita datang jam 9 pagi, akan tetapi... bu dokter hari itu praktek sore mulai jam setengah 5. Hiks. Yasudah, kita daftar dulu, pulang, dan nanti sore datang lagi.

Keruwetan ternyata nggak berhenti di jadwal praktek dokter saja. Nantinya setelah mengalami berbagai macam prosedur dan kejadian yang ruwet binti puyeng di RSPP ini, jadi berasa kalau mendingan memang jangan sakit deh *loh, kesimpulan yang aneh*

Yang pertama kali bu dokter bilang waktu itu adalah : ini penyebabnya bukan karena gaya hidup kok. Wah, berarti nggak perlu didengerin ya nanti kalo ada yang bilang : makanya jangan makan sembarangan, makanya jangan kerja kebanyakan, dst, dst, hehe... kan sebabnya bukan itu :P
Tapi pas mau pulang, dokternya 'menjentul' (apa sih bahasa indonesianya?) kepala pasiennya pelan-pelan sambil  bilang : pasti suka memendam perasaan nih.
Weleh-weleh..

Dari situ dokter memberi beberapa pengantar, yang pertama untuk sedot cairan pleura, karena paru-paru yang kempes itu membuat nggak bisa beraktifitas dan nggak bisa tidur juga lama-lama. Yang kedua pengantar periksa darah untuk tumor marker, dan yang ketiga pengantar TTNA alias Transthoracic Needle Aspiration. Yaitu teknik biopsi dengan jarum untuk mengambil sample dari massa di mediastinum tadi itu.

TTNA dilakukan dengan menggunakan mesin CT-SCAN, jadi kembali lagi ke bagian radiologi kemarin. Caranya, pasien tiduran di 'meja' scanner, lalu di bagian yang kira-kira akan diambil jaringannya diletakkan besi pengukur.

Lalu pasiennya diwanti-wanti supaya 1) jangan bergerak-gerak 2) jangan sampai batuk. Soalnya kalau bergerak sedikit aja nanti ditusuknya harus diulang.
Hadeeh... ngeri banget..
Sesudah ancaman yang menyeramkan itu, tentunya pasien lalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergerak, walaupun sebenernya gemeteran minta ampun.

Setelah dipasang besi penanda itu, dilakukan scanning satu kali untuk menentukan dimana letak puncture atau tusukan jarum harus dilakukan. Sebelum jarum dimasukkan, tentunya dilakukan bius lokal lebih dahulu, supaya nggak sakit, walaupun suntik bius itu juga lumayan lah sakitnya.
Sesudah jarum dimasukkan, dilakukan scanning sekali lagi untuk memastikan bahwa posisi dan kedalaman jarumnya sudah tepat. Sesudah itu baru jaringan disedot seperlunya, jarum ditarik, luka diperban, and you're good to go.

Sebagai catatan, kalau anda harus menjalani prosedur ini dan kebetulan takut sama jarum, sebaiknya selama prosedur merem aja terus. I made a big mistake of opening my eyes after the 2nd scanning, yaitu waktu jarum yang panjang itu masih menancap di dada dengan manisnya. Huaa... ngilu sendiri lihatnya, padahal sih sebetulnya gak terasa apa-apa, kan sudah dibius.

Oh ya, TTNA ini dilakukan hari senin. Kontrol dokter hari jumat sebelumnya. Untuk sedot cairan, dokter memberikan pengantar ke IGD, dengan alasan kalau dilakukan sendiri oleh dokter akan dihitung sebagai swasta, sedangkan kalau di IGD bisa gratis (dengan asumsi menggunakan jamkesmas atau KJS).

Waktu itu belum pernah merasakan dahsyatnya pelayanan IGD sementara rspp, jadi ikut saja saran bu dokter, walaupun kita bukan pemegang kjs.
Dan hasilnya luar biasa.. masuk antrian igd sekitar jam setengah 6 sore, baru bisa ditangani sekitar jam 7 malam, dan baru bisa pulang jam 12 malam. Dan selama waktu tunggu itu jangan harap dapat bed, tempat duduk saja alhamdulillah nggak ada sandarannya. Akhirnya karena pegal dan capek, pasiennya kabur dari IGD dengan masih membawa tiang infus, dan duduk di kursi tunggu di koridor.

Dan satu lagi, karena yang melakukan prosedur thoracenthesis di IGD (tentunya) bukan spesialis paru, maka ada protokol yang harus diikuti, yaitu maksimal cairan yang boleh diambil dalam sekali prosedur adalah 800 ml, akan tetapi prosedur harus dihentikan kalau sebelum 800ml pasien sudah batuk.
Nah, pasien yang ini, yang di penyedotan terakhir saja sudah 'menghasilkan' 1500ml dan dua minggu kemudian sudah penuh lagi, langsung kecewa deh waktu dokternya berhenti di angka 600ml. Hiks, nggak lega deh..

Sesudah thoracenthesis, dilakukan x-ray dan sekalian diambil sample darah untuk lab standard dan uji tumor marker pesanan dokter onkologi.

Disini pentingnya pasien didampingi oleh orang yang masih sehat dan kondisinya prima. Karena untuk mengantar darah dan sample cairan pleura ke lab, serta nantinya mengambil hasil lab beberapa jam kemudian, harus dilakukan sendiri oleh pendamping pasien.
Padahal rspp ini luasnya minta maaf, dan jarak antara IGD sementara yang ada di dekat pintu masuk griya puspa dan lab di gedung seruni yang buka 24 jam itu lumayan untuk membakar kalori. Belum lagi akibat hecticnya suasana IGD, dokternya nggak sekaligus memberikan sample darah dan cairannya. Akibatnya pendamping yang malang itu harus bolak-balik ke lab sampai beberapa kali.

Begitu juga waktu pengambilan hasil. Karena salah satu hasil tes darah dan cairan pleura, yaitu level LDH atau Lactate dehydrogenase terlalu tinggi, petugas lab-nya meragukan sendiri hasil tesnya. Akhirnya tes harus diulang, yang artinya pendamping yang kurang beruntung itu harus kembali sekali lagi untuk mengambil hasil yang baru. Ternyata LDH yang mestinya ratusan itu sampai menembus angka puluhan ribu, pantas saja petugas lab pusing. Tapi setelah diulang, hasilnya memang sebesar itu. Kesimpulannya, yang abnormal bukan tesnya, tapi pasiennya.

Setelah hasil lab dan x-ray direview dokter (yang akhirnya dilakukan setelah dikejar2 oleh pendamping yang sudah mulai kelelahan menunggu), dan karena pasien tidak merencanakan untuk rawat inap, akhirnya jam setengah 12 malam infus dilepas dan pasien bisa pulang.

Hasil lab untuk tumor marker baru bisa diambil hari kamis pagi, hasil lab TTNA senin minggu depannya. Bu dokter bilang, kalau hasil TTNA sudah bisa menunjukkan jenisnya, dan kalau benar thymoma atau tumor lain yang operable (kemungkinan lain adalah lymphoma atau other tumor), langsung check-in saja supaya langsung dijadwalkan operasi, mengingat gumpalannya membesar lumayan cepat dan dokter khawatir kalau nanti gumpalan itu menekan pembuluh darah jantung. Belum lagi mengingat juga kondisi paru-paru yang sudah terlalu cepat kempes total.
Huaa.. takuuut.. tapi bismillah.. yang penting ketemu dulu apa penyakitnya. Tapi mudah-mudahan nggak perlu pakai operasi deh..

Singkat cerita, setelah hasil-hasil lab yang penting keluar, ternyata dokter belum bisa menyimpulkan jenis penyakit apa yang bercokol di badan pasiennya. Hasil tumor marker negatif semua, sedangkan hasil TTNA hanya dapat menemukan abnormalitas tapi tidak bisa spesifik apa jenisnya. Bu dokter waktu itu sempat bilang, mungkin karena waktu pengambilan sample-nya terlalu dalam, padahal biasanya bagian tumor yang masih mengandung banyak informasi hanya sekitar 2 cm dari tepi.

Hee?? Lha kok bisa terlalu dalam? Walah ya sudahlah.. yang penting sekarang langkah selanjutnya apa, soalnya pasiennya sudah mulai sesak napas lagi. Sepertinya sudah perlu sedot cairan lagi, hiks..

Untuk masalah yang satu ini sebenarnya bu dokter dari awal sudah menyarankan untuk pasang selang yang agak 'permanen', cuma kok seram ya.. selama ini lihat orang-orang yang dipasang selang lalu lalang dengan kursi roda. Huaa.. kok selangnya besar bangeet..
Akhirnya menawar-nawar sajalah.. sementara di-punksi aja bilamana perlu. Padahal sakit juga ditusuk2 begitu, hiks..

Langkah selanjutnya adalah biopsi terbuka, alias salah satu benjolan kelenjar di leher akan disayat untuk diambil jaringannya. Untuk ini dokter memberikan pengantar ke bagian bedah thorax.
Di bedah thorax ketemu dengan pak dokter yang pembawaannya 'mriyayi', lemah lembut dan murah senyum. Beliau menjelaskan bahwa prosedur ini sebetulnya bisa dilakukan dengan bius lokal, tapi kalau pasien takut dan memilih bius total juga bisa. Cuma untuk pilihan kedua ini pasien perlu konsul tambahan ke dokter anestesi dan dokter jantung, serta melakukan ekg alias rekam jantung.
Pak dokter juga meng-caution, eh apa ya.. memperingatkan? hmm.. bukan sih.. menginformasikan untuk diwaspadai, bahwa kalau misalnya pembengkakan kelenjar itu dikarenakan infeksi, termasuk diantaranya TBC, maka luka bekas operasi akan lamaa.. sembuhnya. Tapi kalau bukan (yang berarti kemungkinannya adalah tumor) ya sembuhnya biasanya cepat.

Huaa.. pasiennya bingung berdoanya apa.. pokoknya minta yang terbaik, yang cepet sembuh semua penyakitnya, nggak cuma lukanya aja.

Nah, sudah jam setengah 12 malam, besok pagi-pagi harus check-in untuk terapi ke 4 (atau ke 3 dengan full regimen). Jadi sementara dicukupkan sampai disini dulu.
Doakan supaya besok lancar dan efek sampingnya minimal yaa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar