Sebelum niat kembali menguap bagai asap, mari kita mulai lagi cerbungnya.
Oh tenang, nggak mulai dari awal kok, dari yang terakhir aja.
Dan kali ini nggak pake flashback, preview atau yang sebangsanya. Langsung tunjepoin (to the point maksudnya) saja kitah.
Dengan mengantongi pengantar siti seken alias ct-scan dari bu dokter
Eva,dan nama dokter radiologi yang direkomendasikan, browsing dulu di websitenya untuk
cari jadwal bu dokternya. Dua hari kemudian, tanggal 11 Februari kalau
nggak salah (hehe.. maap udah lama sih, dan lagi males ngecek amplopnya)
kebetulan ada jadwalnya. Datang ke RS jam 9-an, daftar di griya puspa,
antrinya ternyata lumayan lama. Dan karena waktu itu IGD RSPP sedang
direnovasi, sementara IGD dipindah ke gedung griya puspa. Akibatnya,
kasus-kasus gawat darurat pun antriannya masuk di radiologi griya puspa.
Btw, griya puspa ini mestinya adalah 'divisi swasta'-nya dari rspp.
Tujuannya mungkin untuk memberikan pelayanan yang lebih nyaman bagi
pasien yang berkenan untuk membayar lebih mahal daripada di versi
pemerintahnya. Mestinya sih begitu ya, tapi kenyataannya.. yaa.. begitu
deh, heheh..
Kembali ke soal seken menyeken, ternyata untuk ct-scan yang pakai
kontras ini pasien diharuskan puasa makan dan minum setidaknya 4 jam
sebelumnya. Karena terakhir makan jam 8 pagi, maka jadwal ct-scan paling
cepat dilakukan jam 12 siang nanti.
Kalau antri di RSUD pasar rebo kadang bareng sama pasien yang dikursi
roda, perasaan langsung sehat banget, disini lebih-lebih lagi.
Antriannya bareng yang pakai tempat tidur, yang selangnya banyak. Waktu
itu belum kebayang kalau nantinya pun bakalan pakai-pakai selang
walaupun 'cuma' 3. Waktu itu berasanya wah, alhamdulillah.. masih
mending berarti nih.
Sekitar jam 2 siang akhirnya dipanggil, tapi belum jadi masuk petugasnya
minta maaf dan minta ijin untuk mendahulukan satu pasien dari IGD. Oh
nggak apa2 pak, silakan, saya juga kok tiba2 deg-degan inih.. kalimat
terakhir diucapkan dalam hati doang tentunya.
Akhirnya giliran tiba. Masuk ke ruang radiologi, tadinya sudah
disediakan baju ganti tapi susternya melihat kalau pasiennya pakai kaos
lengan panjang (nggak ada kancing dan asesoris lainnya), akhirnya cuma
disuruh lepas bra saja. *hadeh.. maap.. maap..*
Disamping mempercepat proses antrian, pasiennya juga mestinya lebih
nyaman dan nggak terlalu deg2an kalau tetep pakai bajunya sendiri.
Hehe.. itusih saya ya
Petugas juga menanyakan apakah memakai perhiasan atau gigi palsu.
Kalau pakai perhiasan pasti disuruh lepas dulu, kalau pakai gigi palsu?
Hmm nggak tau deh apakah disuruh lepas juga atau tidak :P
Untuk ct scan thorax dengan kontras, pasien disuruh tidur di atas
'meja', lalu tangan diangkat ke atas kepala. Oh iya, zat yang disebut contrast material itu diberikan melalui infus.
Lalu pasien akan disuruh jangan bergerak-gerak selama proses scanning,
dan mendengarkan dengan seksama instruksi dari petugas radiologi.
'Meja' tempat pasien tidur itu akan bergerak maju mundur ke
lubang scanner, dan kita akan mendengar aba-aba 'tahan nafas', 'nafas
biasa', beberapa kali.
Proses scanning nggak lama, paling sekitar 5-10 menitan kalau nggak
salah hitung, hehe. Oh ya, selama diberikan zat kontras itu kita akan
merasa sedikit nggak nyaman, agak terasa panas dan berasa seperti aroma
logam di tenggorokan sampai ke bagian bawah, tapi nggak lama kok.
Sesudah itu diminta menunggu 1 jam untuk mendapatkan hasilnya. Wah cepat juga ya.
Nah, sampai disini bingung nerusin ceritanya, hehe.. because apparently
i misplaced my old files, including that first scan result, and
unfortunately i forgot the content.
Pokoknya sih begini, dari hasil ct-scan itu diketahui kalau ada sesuatu
yang bercokol di antara paru-paru yang oleh dokter radiologi disebut mediastinal mass. Itu pertama kalinya mendengar istilah mediastinum,
yang ternyata adalah sebuah 'ruang' diantara kedua paru-paru kita, yang
isinya macem-macem organ, termasuk jantung, trakea, esofagus, dan
kelenjar getah bening atawa lymp nodes.
Bagaimana perasaan waktu itu?
Sudah agak lupa, tapi kayaknya agak mati rasa gitu, soalnya pertama baca
masih di depan ruang radiologi. Masih belum tau persis apa
istilah-istilah yang ada di hasil interpretasi dokter radiologi itu,
cuma yang tertangkap pasti waktu itu adalah : ini sepertinya tumor,
bukan TB. Itu, dan satu lagi istilah : total collapse of left lung,
alias paru kiri kempes total akibat tumor dan cairan pleura.
Takut?
Iya lah..
Hari sabtunya kembali ke dokter Eva di RSUD. Beliau langsung memutuskan
untuk tidak berlama-lama di sana, dan memberikan rujukan ke dokter
onkologi paru di RS Persahabatan. Istilah beliau waktu itu : 'kita harus
mencari penanganan yang agresif'. Kata-kata perpisahannya waktu itu :
'Yang sabar ya mbak'. Eh tapi sebenernya itu kata-kata perpisahan setiap
periksa ke dr Eva, sejak dari pertama periksa dulu, sejak urusannya
masih alergi obat TB. Cuma yang terakhir ini rasanya agak lain, soalnya
it's a new journey for me, an unknown and scary path that i might need
to take.
Pertemuan pertama dengan dokter spesialis paru yang ke 3 ini (ke 4 kalau
mbah dokter yang dimintai 2nd opinion juga dihitung), agak ruwet.
Ternyata bu dokter ini sibuknya minta maaf, sehingga kalau kita mau
kontrol, paginya kita harus konfirm dulu ke bagian pendaftaran di griya
puspa untuk mendapat kepastian hari itu bu dokter praktek jam berapa.
Kadang-kadang walaupun di jadwalnya tertulis jam 9 pagi, ternyata dokter praktek sore, atau kadang siang jam 1.
Dan ini kejadian juga pas kita mau konsul untuk yang pertama kali. Waktu
itu kita datang jam 9 pagi, akan tetapi... bu dokter hari itu praktek
sore mulai jam setengah 5. Hiks. Yasudah, kita daftar dulu, pulang, dan
nanti sore datang lagi.
Keruwetan ternyata nggak berhenti di jadwal praktek dokter saja.
Nantinya setelah mengalami berbagai macam prosedur dan kejadian yang
ruwet binti puyeng di RSPP ini, jadi berasa kalau mendingan memang
jangan sakit deh *loh, kesimpulan yang aneh*
Yang pertama kali bu dokter bilang waktu itu adalah : ini penyebabnya
bukan karena gaya hidup kok. Wah, berarti nggak perlu didengerin ya
nanti kalo ada yang bilang : makanya jangan makan sembarangan, makanya
jangan kerja kebanyakan, dst, dst, hehe... kan sebabnya bukan itu :P
Tapi pas mau pulang, dokternya 'menjentul' (apa sih bahasa indonesianya?) kepala pasiennya pelan-pelan sambil bilang : pasti suka memendam perasaan nih.
Weleh-weleh..
Dari situ dokter memberi beberapa pengantar, yang pertama untuk sedot
cairan pleura, karena paru-paru yang kempes itu membuat nggak bisa
beraktifitas dan nggak bisa tidur juga lama-lama. Yang kedua pengantar
periksa darah untuk tumor marker, dan yang ketiga pengantar TTNA alias
Transthoracic Needle Aspiration. Yaitu teknik biopsi dengan jarum untuk
mengambil sample dari massa di mediastinum tadi itu.
TTNA dilakukan dengan menggunakan mesin CT-SCAN, jadi kembali lagi ke
bagian radiologi kemarin. Caranya, pasien tiduran di 'meja' scanner,
lalu di bagian yang kira-kira akan diambil jaringannya diletakkan besi
pengukur.
Lalu pasiennya diwanti-wanti supaya 1) jangan bergerak-gerak 2) jangan
sampai batuk. Soalnya kalau bergerak sedikit aja nanti ditusuknya harus
diulang.
Hadeeh... ngeri banget..
Sesudah ancaman yang menyeramkan itu, tentunya pasien lalu berusaha
sekuat tenaga untuk tidak bergerak, walaupun sebenernya gemeteran minta
ampun.
Setelah dipasang besi penanda itu, dilakukan scanning satu kali untuk menentukan dimana letak puncture atau
tusukan jarum harus dilakukan. Sebelum jarum dimasukkan, tentunya
dilakukan bius lokal lebih dahulu, supaya nggak sakit, walaupun suntik
bius itu juga lumayan lah sakitnya.
Sesudah jarum dimasukkan, dilakukan scanning sekali lagi untuk
memastikan bahwa posisi dan kedalaman jarumnya sudah tepat. Sesudah itu
baru jaringan disedot seperlunya, jarum ditarik, luka diperban, and
you're good to go.
Sebagai catatan, kalau anda harus menjalani prosedur ini dan kebetulan
takut sama jarum, sebaiknya selama prosedur merem aja terus. I made a
big mistake of opening my eyes after the 2nd scanning, yaitu waktu jarum
yang panjang itu masih menancap di dada dengan manisnya. Huaa... ngilu
sendiri lihatnya, padahal sih sebetulnya gak terasa apa-apa, kan sudah
dibius.
Oh ya, TTNA ini dilakukan hari senin. Kontrol dokter hari jumat
sebelumnya. Untuk sedot cairan, dokter memberikan pengantar ke IGD,
dengan alasan kalau dilakukan sendiri oleh dokter akan dihitung sebagai
swasta, sedangkan kalau di IGD bisa gratis (dengan asumsi menggunakan
jamkesmas atau KJS).
Waktu itu belum pernah merasakan dahsyatnya pelayanan IGD sementara
rspp, jadi ikut saja saran bu dokter, walaupun kita bukan pemegang kjs.
Dan hasilnya luar biasa.. masuk antrian igd sekitar jam setengah 6 sore,
baru bisa ditangani sekitar jam 7 malam, dan baru bisa pulang jam 12
malam. Dan selama waktu tunggu itu jangan harap dapat bed, tempat duduk
saja alhamdulillah nggak ada sandarannya. Akhirnya karena pegal dan
capek, pasiennya kabur dari IGD dengan masih membawa tiang infus, dan
duduk di kursi tunggu di koridor.
Dan satu lagi, karena yang melakukan prosedur thoracenthesis
di IGD (tentunya) bukan spesialis paru, maka ada protokol yang harus
diikuti, yaitu maksimal cairan yang boleh diambil dalam sekali prosedur
adalah 800 ml, akan tetapi prosedur harus dihentikan kalau sebelum 800ml
pasien sudah batuk.
Nah, pasien yang ini, yang di penyedotan terakhir saja sudah
'menghasilkan' 1500ml dan dua minggu kemudian sudah penuh lagi, langsung
kecewa deh waktu dokternya berhenti di angka 600ml. Hiks, nggak lega
deh..
Sesudah thoracenthesis, dilakukan x-ray dan sekalian diambil sample
darah untuk lab standard dan uji tumor marker pesanan dokter onkologi.
Disini pentingnya pasien didampingi oleh orang yang masih sehat dan
kondisinya prima. Karena untuk mengantar darah dan sample cairan pleura
ke lab, serta nantinya mengambil hasil lab beberapa jam kemudian, harus
dilakukan sendiri oleh pendamping pasien.
Padahal rspp ini luasnya minta maaf, dan jarak antara IGD sementara yang
ada di dekat pintu masuk griya puspa dan lab di gedung seruni yang buka
24 jam itu lumayan untuk membakar kalori. Belum lagi akibat hecticnya
suasana IGD, dokternya nggak sekaligus memberikan sample darah dan
cairannya. Akibatnya pendamping yang malang itu harus bolak-balik ke lab
sampai beberapa kali.
Begitu juga waktu pengambilan hasil. Karena salah satu hasil tes darah dan cairan pleura, yaitu level LDH atau Lactate dehydrogenase
terlalu tinggi, petugas lab-nya meragukan sendiri hasil tesnya.
Akhirnya tes harus diulang, yang artinya pendamping yang kurang
beruntung itu harus kembali sekali lagi untuk mengambil hasil yang baru.
Ternyata LDH yang mestinya ratusan itu sampai menembus angka puluhan
ribu, pantas saja petugas lab pusing. Tapi setelah diulang, hasilnya
memang sebesar itu. Kesimpulannya, yang abnormal bukan tesnya, tapi
pasiennya.
Setelah hasil lab dan x-ray direview dokter (yang akhirnya dilakukan
setelah dikejar2 oleh pendamping yang sudah mulai kelelahan menunggu),
dan karena pasien tidak merencanakan untuk rawat inap, akhirnya jam
setengah 12 malam infus dilepas dan pasien bisa pulang.
Hasil lab untuk tumor marker baru bisa diambil hari kamis pagi, hasil
lab TTNA senin minggu depannya. Bu dokter bilang, kalau hasil TTNA sudah
bisa menunjukkan jenisnya, dan kalau benar thymoma atau tumor lain yang
operable (kemungkinan lain adalah lymphoma atau other tumor), langsung
check-in saja supaya langsung dijadwalkan operasi, mengingat gumpalannya
membesar lumayan cepat dan dokter khawatir kalau nanti gumpalan itu
menekan pembuluh darah jantung. Belum lagi mengingat juga kondisi
paru-paru yang sudah terlalu cepat kempes total.
Huaa.. takuuut.. tapi bismillah.. yang penting ketemu dulu apa penyakitnya. Tapi mudah-mudahan nggak perlu pakai operasi deh..
Singkat cerita, setelah hasil-hasil lab yang penting keluar, ternyata
dokter belum bisa menyimpulkan jenis penyakit apa yang bercokol di badan
pasiennya. Hasil tumor marker negatif semua, sedangkan hasil TTNA hanya
dapat menemukan abnormalitas tapi tidak bisa spesifik apa
jenisnya. Bu dokter waktu itu sempat bilang, mungkin karena waktu
pengambilan sample-nya terlalu dalam, padahal biasanya bagian tumor yang
masih mengandung banyak informasi hanya sekitar 2 cm dari tepi.
Hee?? Lha kok bisa terlalu dalam? Walah ya sudahlah.. yang penting
sekarang langkah selanjutnya apa, soalnya pasiennya sudah mulai sesak
napas lagi. Sepertinya sudah perlu sedot cairan lagi, hiks..
Untuk masalah yang satu ini sebenarnya bu dokter dari awal sudah
menyarankan untuk pasang selang yang agak 'permanen', cuma kok seram
ya.. selama ini lihat orang-orang yang dipasang selang lalu lalang
dengan kursi roda. Huaa.. kok selangnya besar bangeet..
Akhirnya menawar-nawar sajalah.. sementara di-punksi aja bilamana perlu. Padahal sakit juga ditusuk2 begitu, hiks..
Langkah selanjutnya adalah biopsi terbuka, alias salah satu benjolan
kelenjar di leher akan disayat untuk diambil jaringannya. Untuk ini
dokter memberikan pengantar ke bagian bedah thorax.
Di bedah thorax ketemu dengan pak dokter yang pembawaannya 'mriyayi',
lemah lembut dan murah senyum. Beliau menjelaskan bahwa prosedur ini
sebetulnya bisa dilakukan dengan bius lokal, tapi kalau pasien takut dan
memilih bius total juga bisa. Cuma untuk pilihan kedua ini pasien perlu
konsul tambahan ke dokter anestesi dan dokter jantung, serta melakukan
ekg alias rekam jantung.
Pak dokter juga meng-caution, eh apa ya.. memperingatkan? hmm.. bukan
sih.. menginformasikan untuk diwaspadai, bahwa kalau misalnya
pembengkakan kelenjar itu dikarenakan infeksi, termasuk diantaranya TBC,
maka luka bekas operasi akan lamaa.. sembuhnya. Tapi kalau bukan (yang
berarti kemungkinannya adalah tumor) ya sembuhnya biasanya cepat.
Huaa.. pasiennya bingung berdoanya apa.. pokoknya minta yang terbaik,
yang cepet sembuh semua penyakitnya, nggak cuma lukanya aja.
Nah, sudah jam setengah 12 malam, besok pagi-pagi harus check-in untuk
terapi ke 4 (atau ke 3 dengan full regimen). Jadi sementara dicukupkan
sampai disini dulu.
Doakan supaya besok lancar dan efek sampingnya minimal yaa..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar