Sabtu, 22 Juni 2013

Gajlukan di tengah jalan

Sebagaimana pengalaman mengarungi jalanan jakarta, sepertinya sudah tak terelakkan lagi kalau di tengah perjalanan kita akan ketemu gajlugan atau istilah rada kerennya bumps on the road.
Sebetulnya lebih tepat kalau disebut bumps on my back, karena ketahuannya memang pas meraba punggung dan menemukan gajlugan yang tidak dikehendaki di situ.

Emang bener kata orang bahwa kita nggak pernah rugi untuk ber-ekstra hati-hati, terutama buat kaum yang sedang mengalami kondisi immunocompromised

Setelah 3.5 putaran kemo dijalani dengan relatif aman dan lancar, dengan indikasi tidak ada pengunduran jadwal kemo dan efek negatif yang masih bisa ditanggung, maka akhirnya ketemu juga dengan satu halangan.

Awalnya sekitar hari ke 5 setelah terapi, tiba-tiba detak jantung menggila selama dua hari. Sampai-sampai sempat kesulitan tidur selama 2 malam itu. Sempat ingat dokter pernah bilang kalau tanda-tanda infeksi salah duanya adalah demam dan detak jantung cepat.
Waduh. Tambah cemas aja. Dan rasa cemas itu betul-betul tidak membantu mengatasi kondisi.
Iyalah, jantung sudah pecicilan ditambah lagi rasa cemas, makin heboh aja kayak lagi aerobik.

Harusnya jangan cemas sih ya, tapi bagaimana lagi, kita kan nggak selalu bisa memilih perasaan kita. Lagipula, hey, i got cancer.. surely i have all the rights to worry, right? 

Waktu itu jadwalnya bertepatan dengan mulai hilangnya pengaruh steroid dosis tinggi yang indah permai itu, jadi pas tulang, daging dan kulit berasa ngilu-ngilu, langsung menimpakan 'kesalahan' pada si steroid withdrawal alias 'sakau steroid' yang memang lumayan cihuy efeknya. Cuma nggak bisa menghindari perasaan kecewa juga karena ternyata kali ini gejalanya jauh lebih berat dari siklus yang lalu.
Lalu mulai terfikir kalau mungkin memang akan begini kondisinya ke depan, bahwa memang ada yang namanya efek akumulatif, yang akan terasa makin berat seiring jumlah terapi yang dijalani. Hmm... gimana ini?

Ternyata eh ternyata.. salah dua perasaan yang paling susah dikendalikan kalau kita sedang berusaha untuk sehat adalah kecemasan dan kekecewaan. Terutama kalau kita tiba-tiba ketemu permasalahan baru, dan perkembangan kita nggak secepat yang diharapkan. Diharapkan siapa?
Nah ini dia yang juga berat.
Tentu saja yang diharapkan oleh kita sendiri, dan orang-orang disekitar kita.

Sebetulnya sadar betul kok, kalau selama sakit kita ini memang lagi dalam kondisi rapuh lahir batin. Oh, ada juga tentunya para juara dan pejuang yang jadi makin kuat secara batin walaupun fisiknya rontok semua, tapi mestinya hampir semua orang sakit melewati masa-masa kritis batin juga sesekali, sekuat apapun usaha mereka untuk nggak jatuh.
Nah, pas lagi down itu apapun yang orang lakukan, sebaik apapun niat mereka, kalau kebetulan perwujudannya nggak pas dengan perasaan si sakit, efeknya pasti akan jadi negatif.

Termasuk misalnya ketika ketemu banyak orang, lalu mereka merasa gembira dan optimis melihat perkembangan kita, trus mereka ramai-ramai bilang (nggak ramai2 juga sih, ngomongnya gantian di kesempatan yang berbeda2, emangnya paduan suara? :P) kalau kita kelihatan sudah sehat, kalau kita pasti bakalan bisa beraktifitas lagi dalam waktu dekat. Ketika kita sendiri merasa optimis, semua hore-hore dan hura-hura itu bisa jadi tambahan energi dan motivasi.

Tapi ketika kita tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa jalannya nggak semulus itu, bahwa ternyata dengan berjalannya waktu ada yang namanya efek yang menumpuk, bahwa ke belakang justru harus lebih hati-hati, dan bahwa masih ada lima putaran lagi yang harus dijalani..

Pikiran yang udah jelas-jelas nggak sehat itu, ditambah nggak bangun-bangun dari tempat tidur karena sedikit aktifitas saja berakibat jantung seperti mau main skipping, kepala seperti mau melayang, mau nggak mau membuat orang yang sedang galau itu jadi kecewa.

Dan juga, nggak bisa dihindari, merasa bersalah karena mengecewakan orang banyak yang sudah terlanjur optimis sama kondisi kita.
Kita merasa cemas kalau-kalau orang lain nanti bosan berharap sama kita karena kita nggak perform.
Lah, nggak penting banget yaa.. ???
Kenapa juga harus merasa begitu??

Itu dia makanya tadi di atas kan udah disebutin, kalau kita kadang nggak bisa milih perasaan kita sendiri. 

Sudah tau perasaan begitu itu tiada berguna.. tapi kan.. hey, i got cancer.. surely i have all the rights to worry, right? (mulai minta dijitak nih :P)

Weh, kok malah bicara masalah perasaan sih.
Kembali ke gajlugan tadi, akhirnya hari ke 8 detak jantung mulai kembali normal, tapi nyeri di tulang-tulang, daging dan kulit, terutama badan bagian kiri, kok nggak berkurang ya.

Oh ya, hari ke 7 kontrol ke dokter, setelah menyampaikan keluhan yang dirasakan, dokter periksa suhu dan lain-lain, dan juga menyimpulkan bahwa mungkin memang itu efek steroid saja. Secara keseluruhan kondisi masih baik.
Resep, pengantar rawat inap untuk terapi ke 4, sudah dikantongi dengan gembira (hiks).

Akhirnya hari ke 8 pas mandi, teraba bentol-bentol aneh di badan sebelah kiri, dari dada sampai punggung. Astaghfirullaah... OPOIKIIII?????

Dari penampakannya langsung curiga kalau kena herpes.. huaaa... hiks hiks hiks... pengen nangis...
Pantesan kok ngilu, pantesan kok nyeri, pantesan kok..
Tapi masih berharap kalau bukan. Jangan dong, herpes kan sembuhnya 3 minggu.

Alhamdulillah deket rumah, sekitar 100 meter deh (deket banget kan), ada dokter spesialis kulit yang lumayan oke. Akhirnya sorenya ke sana, dan sewaktu dokternya diceritakan (eh, diceritakan apa diceritai ya?) kalau sedang menjalani kemo, bu dokter langsung tau cerita selanjutnya.
Dan setelah melihat penampakan oknum bentol-bentol yang makin lama makin banyak itu, mengkonfirmasi dengan tiada keraguan lagi atasnya bahwa itu memang herpes zoster alias cacar ular.

The good news is, biasanya memang cuma separo badan aja yang kena, jadi sebelah kanan insyaAllah aman. Setidaknya selama beberapa minggu ini tidurnya akan sesuai sunnah rosul, yaitu miring ke kanan.
The bad news is, biasanya jadwal kemoterapi akan ditunda sampai herpesnya sembuh dulu. Tapi untuk pastinya harus konsultasi dulu ke dokter hematologi.
Hiks.. hiks.. baiklah..

Karena sedang dalam proses terapi, bu dokter berusaha memberikan obat yang 'sesederhana' mungkin. Supaya tidak terlalu banyak menambahi beban para jeroan yang sudah bekerja keras, seperti misalnya liver dan ginjal.
Setelah menanyakan berat badan (yang mau tau japri aja ya? haha.. ge er amat sih ini), bu dokter memutuskan untuk memberikan acyclovir 400mg, 5 kali sehari, dengan waktu sbb : jam 6, 10, 14, 18, 22.
Pesan tambahannya adalah : diusahakan jangan luka ya, soalnya kalau luka saya terpaksa harus kasih antibiotik.
LAAH? Begimana caranya dok, kan bentolnya itu naudzubillah banyaknya dan akan makin banyak lagi?
Bu dokter nggak menjelaskan dengan jelas, cuma tanya apakah masih beraktifitas, maksudnya ke kantor atau sebangsanya? Kalau iya lebih baik libur dulu karena ini virus dan lumayan menular.
Yah, gagal maning deh cita-cita ke kantor.


Bu dokter juga memberikan selembar kertas berisi informasi mengenai cacar air (varicella) dan cacar ular (herpes zoster). Rupanya bu dokter ini memang oke punya, sudah siap dengan selebaran sederhana yang cukup informatif mengenai kasus-kasus yang umum terjadi.

Isinya begini :
  • Penyakit yang disebabkan virus
  • Dapat menular dengan cara bersentuhan langsung dengan lenting di kulit, dan juga lewat udara/nafas  (makanya bu dokter berpesan supaya penderita bermasker untuk melindungi orang-orang di sekitarnya)
  • Lama penyakit 3 minggu. Minggu 1 lenting2 bertambah banyak, jadi obat tetap diminum karena bertambahnya kelainan kulit bukan karena pengaruh obat. Obat antivirus diperlukan untuk mencegah penjalaran virus ke organ vital, misal : selaput otak.
  • Obat antivirus yang dosisnya 5x/hari diminum tiap 4 jam, misalnya jam 6, 10, 14, 18 dan jam 22
  • Minggu ke 2 lenting-lenting mulai kempes
  • Minggu ke 3 keropeng mulai lepas
  • Jika sudah tidak demam boleh mandi dengan cairan PK yang diencerkan (warna pink saja, jangan sampai berwarna ungu/coklat)
  • Cacar tidak akan meninggalkan bekas jika kelainan kulit tidak diutak atik

Sampai di rumah, sms pak dokter hematologi, beliau langsung mereply : ok, kemo kita tunda sampai herpesnya tenang. Hari kamis depan kontrol dulu, dari situ baru kita tentukan langkah selanjutnya.
Hiks.. hiks..  sedihnya...
Soalnya kemo yang nanti ini adalah yang ke 4, yang artinya akan sampai di setengah jalan. Dan artinya, sesudah kemo akan dilakukan evaluasi hasil kemo dengan cara CT-SCAN ulang.
It's supposed to be a big day for my chemo.. and for me, of course.

Tapi ya sudahlah.. bagaimana lagi..
Kalau kata kakak Alifa : memang begini keadaannya, tante.. 

Sekarang tinggal rajin-rajin minum obat dan berdoa banyak-banyak supaya nggak ada efek negatif dari episode herpes dan penundaan kemo ini.
Soalnya buat orang yang sedang immunocompromised, kemungkinan si herpes ini bakalan muncul dengan lumayan kuat, alias lenting-lentingnya akan banyak dan besar-besar. Dan tentunya, ngilu dan nyerinya pun Subhanallaah..

Doakan aku yaaa...

Rabu, 12 Juni 2013

Not TB, volume 6, dan keputusannya adalah...

Sebenernya pengen posting sesuatu yang lain.
Pengen memberi 'ilusi' pada orang yang baca blog, supaya seolah-olah my life is not just about me and my health, biar kesannya masih exist, dan blognya keliatan agak cerdas-cerdas gimanaa.. gitu, haha..
Tapi sayangnya, kok nggak ada cukup energi untuk mikir yang berat-berat.
Mau nulis yang ringan dan lucu, ternyata kok berat juga yak.
Halah, bilang aja males mikir :P

No, next time maybe.
Sekarang cerita hari ini dulu, yang nggak pakai banyak-banyak mikir dulu.
Alhamdulillah pagi tadi pulang dari terapi ke 4, atau ke 3 dengan full regimen. Wuih, kok kayak pasukan aja pakai regimen segala? Nah, ini ntar aja deh ceritanya, di volume ke 7 atau 8 kayaknya, huehue.. mau sampai seri berapa sih ini sebenernya
Kalau terapinya sih masih 5 seri lagi, semoga lancar lahir batin, luar dalam, spiritual dan finansial, haha..

Sudah 4 kali terapi, akhirnya merasakan juga mual-mual yang legendaris itu. Alhamdulillaah..
Mudah-mudahan nggak berkepanjangan deh, supaya bisa makan-makan enak lagi :D

Untuk yang ke 4 ini dokternya kasih pesan-pesan khusus, yaitu mengingat efek yang kumulatif, maka waktu nadir (masih inget kan? itu lho, waktunya blod count, terutama leukosit, pada terjun bebas) bisa maju. Yang biasanya hari ke 7-10, bisa jadi hari ke 5 sudah mulai.
Jadi kali ini dibekali 2 pengantar lab, untuk hari ke 5 dan hari ke 8 (hitungan hari ke 8 karena dokternya praktek di hari itu, jadi masalah convenience aja, hehe).
Kenapa 2 ? Jadi di hari ke 5 nanti cek lab, kalau hasilnya jelek, sorenya harus langsung kontrol, tapi kalau masih ok nggak perlu kontrol hari itu, tapi hari ke 8 cek lagi dan kontrolnya hari itu aja.

Mengingat pak dokter Aru ini antriannya nggak manusiawi, maka pak dokter menyarankan kontrol ke asistennya aja, dokter Nadia. Iya sih, hari gini daftar untuk senin depan, bisa-bisa kebagian jam 1 pagi. Kemarin pun beliau visit sesudah selesai praktek, eike dicolek-colek jam 3 pagi. Huidiih...

Ok, cerita hari ini udahan, kita masuk ke volume 6 deh. Anyway, I've decided that I'll come clean about this diagnosis. Kupas tuntas lah, kadung udah sampai banyak volume begini.. :P
Tetep dengan harapan, semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari rambling yang kadang gak jelas kemana tujuannya ini ya..

Terakhir sampai mana ya?
Oh ya, dari hasil TTNA yang tidak konklusif, dokter memberi pengantar untuk biopsi terbuka untuk kelenjar getah bening, yaitu mengambil sedikit jaringannya dengan disayat atau dibedah untuk diperiksa keganasannya di lab. Setelah diberi dua pilihan antara bius lokal dan bius total, pasien yang nggak terlalu pemberani ini tentunya memilih bius total dong ah.
Alhamdulillah konsul ke dokter jantung dan dokter anestesi lancar, dan biopsi dijadwalkan keesokan harinya.

Karena sudah agak lama, lupa persisnya, tapi kalau nggak salah, puasa mulai jam 10 malam untuk operasi jam setengah 9 pagi. Paginya langsung ke ruang operasi untuk antri. Jam 8 dah sampai, jam setengah 9 dipanggil. Langsung ganti baju operasi di depan pintu masuk, weleh-weleh...
Oh iya, kalau mau operasi wajib kudu didampingi pengantar ya (tentunya), karena sesudah ganti baju itu langsung baju kita diuwel-uwel dan disuruh dibawa sama pengantar, termasuk sepatu, jilbab dan kawan2.
Ganti bajunya sambil diburu-buru, karena ya itu tadi, di depan pintu, hehe..

Sesudah kegiatan yang terburu-buru itu, kita disuruh tiduran di salah satu bed yang berjajar2 untuk dipasang infus, dan antri lagi untuk masuk kamar operasi. Selama menunggu, untuk pasien dengan kebutuhan khusus, seperti yang mengkonsumsi obat-obatan tertentu, dilakukan 'wawancara' atau tanya jawab untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan nantinya.
Untuk yang nggak perlu khusus-khusus, ya menunggu sambil tidur-tidur ayam saja, karena ruangannya dingin beut.

Waktu itu agak kurang beruntung, karena masuk antrian jam setengah 9, tapi baru dibawa masuk ke ruangan operasi jam 12 siang. Bayangpun itu!
Yang kasihan (disamping pasiennya yang sudah kedinginan dan kelaparan), juga yang mengantar, karena nunggunya lama dan pasti mulai cemas karena nggak tau apa yang sebenernya terjadi, dan pasti menduga2 what took it so long for such a simple procedure.

Singkat kata, hasil biopsi dikirim ke lab (oleh pengantar pasien tentunya), hasilnya baru akan keluar sekitar sepuluh hari kemudian (lupa persisnya berapa hari).

Sebetulnya yang membuat proses diagnosis ini terasa lama dan berlarut-larut adalah karena setiap kali dilakukan tindakan, perlu waktu setidaknya satu minggu untuk menunggu hasilnya. Belum lagi untuk melakukan tindakannya sendiri kadang perlu menunggu 1 sampai 2 hari.
Dan setelah masa tunggu yang nggak sebentar itu, hasilnya belum tentu langsung konklusif.

Where did I go wrong there? Kurang agresif? Kurang beruntung?
Nggak tau deh ya. Kedua-duanya barangkali

Kalau dibuat rekap-nya, maka prosedur yang sudah dilakukan dan kejadian yang dialami selama ini adalah :
  1. Cek darah dan sputum, hasilnya negatif TB
  2. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) alias BJH (biopsi jarum halus) kelenjar getah bening, hasilnya negatif keganasan
  3. Punksi pleura alias thoracentesis, hasil diperiksa di lab, negatif TB maupun keganasan
  4. Diagnosis : TB berdasarkan gejala, mulai pengobatan
  5. Alergi obat, stop sementara
  6. 2nd opinion, diagnosis tetap TB
  7. Ganti dokter, melanjutkan diagnosis sebelumnya, test obat TB untuk menemukan alerginya
  8. CT-Scan, ditemukan massa mediastinum, dirujuk ke dokter onkologi paru di RSPP. Nah, dari langkah pertama sampai di langkah penting yang ke 8 ini waktu yang 'terbuang' sudah 2 bulan. Sayang banget yaa.. 
  9. Cek darah untuk tumor marker dan cairan pleura untuk keganasan dan TB (lagi), hasilnya negatif for both
  10. TTNA (TransThoracic Needle Aspiration) Biopsy, alias biopsi dengan jarum untuk mengambil contoh jaringan mediastinum, hasilnya positif abnormalitas tapi tidak bisa ditentukan jenisnya
  11. Biopsi terbuka, hasilnya?
Di titik ini sebetulnya sudah mulai belajar menerima kalau kemungkinan besar hasilnya adalah tumor atau malah kanker. Takut? Pasti lah..

Pas waktunya hasil keluar, pas jadwal bu dokter praktek, jadi kita langsung daftar sekalian.
Nah, kejadian terakhir ini yang akhirnya membuat kami (pasien dan pengantar pasien yang malang itu) dengan sangat terpaksa tidak melanjutkan berobat di rs rujukan respirasi terbesar di Indonesia.

Jadwal buka lab jam 9 pagi, mestinya kalau hasil dijanjikan hari ini, begitu lab buka hasil sudah siap dong ya. Kami datang sesudah ashar, mengingat praktek dokter mulai jam setengah 5 sore. Pasien menunggu di depan ruang praktek dokter, sementara pengantar mengambil hasil ke lab.
Apa yang terjadi?
Hasil belum siap sodara-sodara.. sampai-sampai pengantar yang malang itu harus menunggu 1.5 jam sementara hasilnya diketik-ketik.

Sementara itu, pasien yang menunggu di depan ruang praktek dokter pun dikejutkan oleh sebuah insiden, yaitu rekam medis yang harusnya ada di tumpukan depan suster petugas admission, tinggal selembar map kosong. Lho kok bisa?
Apa yang dilakukan oleh suster?
Suster menyuruh pasien untuk menyuruh pengantar yang malang itu mencari sendiri rekam medis yang menghilang dengan misterius, dengan mengikuti perjalanan pasien sebelumnya. Dan setelah ketemu pun, ternyata pasien (pengantarnya sih lebih tepatnya) kesulitan meminta rekam medis tersebut, dengan alasan pasien tidak berhak. Pusing gak tuh?

Akhirnya setelah huru-hara hasil lab dan rekam medis itu, ketemulah pasien, pengantar dan dokter yang memeriksa. Hasilnya ?
Large Diffuse Non-Hodgkin Lymphoma.
Karena NHL masuk di bawah teritorial dokter hematologi onkologi yang biasanya dokter penyakit dalam, maka dirujuk ke dokter yang sesuai di rs yang sama.

Tapi karena pasien masih agak shock dengan hasil diagnosis, dan pengantar masih agak shock dengan huru-hara tadi, maka pasien minta waktu untuk berfikir, dan minta dibuatkan pengantar sekiranya akan melanjutkan berobat sambil pulang kampung.

Sebetulnya agak merasa aneh juga dengan hasil lab-nya karena terasa 'nanggung', karena di hasil tersebut tidak disertakan sekaligus subtype-nya. Tapi karena memang masih shock, ya diterima aja apa adanya dulu sambil diinternalisasi (halah bahasanya). Maksudnya pasien perlu tarik nafas dulu, belajar menerima 'vonis' dan merencanakan langkah selanjutnya.

Nah, sambil pasiennya belajar menerima kenyataan.. pembaca juga menerima kenyataan kalau yang nulis sudah mulai kehabisan bahan bakar alias mood-nya mulai hilang.
Sekian dulu lah ya, lain kali kita lanjutkan dengan volume 7

Minggu, 09 Juni 2013

Not TB, vol 5.. kapan ini selesainya yak? :P

Sebelum niat kembali menguap bagai asap, mari kita mulai lagi cerbungnya.
Oh tenang, nggak mulai dari awal kok, dari yang terakhir aja.
Dan kali ini nggak pake flashback, preview atau yang sebangsanya. Langsung tunjepoin (to the point maksudnya) saja kitah.

Dengan mengantongi pengantar siti seken alias ct-scan dari bu dokter Eva,dan nama dokter radiologi yang direkomendasikan, browsing dulu di websitenya untuk cari jadwal bu dokternya. Dua hari kemudian, tanggal 11 Februari kalau nggak salah (hehe.. maap udah lama sih, dan lagi males ngecek amplopnya) kebetulan ada jadwalnya. Datang ke RS jam 9-an, daftar di griya puspa, antrinya ternyata lumayan lama. Dan karena waktu itu IGD RSPP sedang direnovasi, sementara IGD dipindah ke gedung griya puspa. Akibatnya, kasus-kasus gawat darurat pun antriannya masuk di radiologi griya puspa.

Btw, griya puspa ini mestinya adalah 'divisi swasta'-nya dari rspp. Tujuannya mungkin untuk memberikan pelayanan yang lebih nyaman bagi pasien yang berkenan untuk membayar lebih mahal daripada di versi pemerintahnya. Mestinya sih begitu ya, tapi kenyataannya.. yaa.. begitu deh, heheh..

Kembali ke soal seken menyeken, ternyata untuk ct-scan yang pakai kontras ini pasien diharuskan puasa makan dan minum setidaknya 4 jam sebelumnya. Karena terakhir makan jam 8 pagi, maka jadwal ct-scan paling cepat dilakukan jam 12 siang nanti.

Kalau antri di RSUD pasar rebo kadang bareng sama pasien yang dikursi roda, perasaan langsung sehat banget, disini lebih-lebih lagi. Antriannya bareng yang pakai tempat tidur, yang selangnya banyak. Waktu itu belum kebayang kalau nantinya pun bakalan pakai-pakai selang walaupun 'cuma' 3. Waktu itu berasanya wah, alhamdulillah.. masih mending berarti nih.

Sekitar jam 2 siang akhirnya dipanggil, tapi belum jadi masuk petugasnya minta maaf dan minta ijin untuk mendahulukan satu pasien dari IGD. Oh nggak apa2 pak, silakan, saya juga kok tiba2 deg-degan inih.. kalimat terakhir diucapkan dalam hati doang tentunya.

Akhirnya giliran tiba. Masuk ke ruang radiologi, tadinya sudah disediakan baju ganti tapi susternya melihat kalau pasiennya pakai kaos lengan panjang (nggak ada kancing dan asesoris lainnya), akhirnya cuma disuruh lepas bra saja. *hadeh.. maap.. maap..*
Disamping mempercepat proses antrian, pasiennya juga mestinya lebih nyaman dan nggak terlalu deg2an kalau tetep pakai bajunya sendiri. Hehe.. itusih saya ya
Petugas juga menanyakan apakah memakai perhiasan atau gigi palsu.
Kalau pakai perhiasan pasti disuruh lepas dulu, kalau pakai gigi palsu? Hmm nggak tau deh apakah disuruh lepas juga atau tidak :P


Untuk ct scan thorax dengan kontras, pasien disuruh tidur di atas 'meja', lalu tangan diangkat ke atas kepala. Oh iya, zat yang disebut contrast material itu diberikan melalui infus.
Lalu pasien akan disuruh jangan bergerak-gerak selama proses scanning, dan mendengarkan dengan seksama instruksi dari petugas radiologi.

'Meja' tempat pasien tidur itu akan bergerak maju mundur ke lubang scanner, dan kita akan mendengar aba-aba 'tahan nafas', 'nafas biasa', beberapa kali.

Proses scanning nggak lama, paling sekitar 5-10 menitan kalau nggak salah hitung, hehe. Oh ya, selama diberikan zat kontras itu kita akan merasa sedikit nggak nyaman, agak terasa panas dan berasa seperti aroma logam di tenggorokan sampai ke bagian bawah, tapi nggak lama kok.

Sesudah itu diminta menunggu 1 jam untuk mendapatkan hasilnya. Wah cepat juga ya.

Nah, sampai disini bingung nerusin ceritanya, hehe..  because apparently i misplaced my old files, including that first scan result, and unfortunately i forgot the content.

Pokoknya sih begini, dari hasil ct-scan itu diketahui kalau ada sesuatu yang bercokol di antara paru-paru yang oleh dokter radiologi disebut mediastinal mass. Itu pertama kalinya mendengar istilah mediastinum, yang ternyata adalah sebuah 'ruang' diantara kedua paru-paru kita, yang isinya macem-macem organ, termasuk jantung, trakea, esofagus, dan kelenjar getah bening atawa lymp nodes.
Bagaimana perasaan waktu itu?
Sudah agak lupa, tapi kayaknya agak mati rasa gitu, soalnya pertama baca masih di depan ruang radiologi. Masih belum tau persis apa istilah-istilah yang ada di hasil interpretasi dokter radiologi itu, cuma yang tertangkap pasti waktu itu adalah : ini sepertinya tumor, bukan TB. Itu, dan satu lagi istilah : total collapse of left lung, alias paru kiri kempes total akibat tumor dan cairan pleura.
Takut?
Iya lah..

Hari sabtunya kembali ke dokter Eva di RSUD. Beliau langsung memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana, dan memberikan rujukan ke dokter onkologi paru di RS Persahabatan. Istilah beliau waktu itu : 'kita harus mencari penanganan yang agresif'. Kata-kata perpisahannya waktu itu : 'Yang sabar ya mbak'. Eh tapi sebenernya itu kata-kata perpisahan setiap periksa ke dr Eva, sejak dari pertama periksa dulu, sejak urusannya masih alergi obat TB. Cuma yang terakhir ini rasanya agak lain, soalnya it's a new journey for me, an unknown and scary path that i might need to take.

Pertemuan pertama dengan dokter spesialis paru yang ke 3 ini (ke 4 kalau mbah dokter yang dimintai 2nd opinion juga dihitung), agak ruwet. Ternyata bu dokter ini sibuknya minta maaf, sehingga kalau kita mau kontrol, paginya kita harus konfirm dulu ke bagian pendaftaran di griya puspa untuk mendapat kepastian hari itu bu dokter praktek jam berapa.
Kadang-kadang walaupun di jadwalnya tertulis jam 9 pagi, ternyata dokter praktek sore, atau kadang siang jam 1.
Dan ini kejadian juga pas kita mau konsul untuk yang pertama kali. Waktu itu kita datang jam 9 pagi, akan tetapi... bu dokter hari itu praktek sore mulai jam setengah 5. Hiks. Yasudah, kita daftar dulu, pulang, dan nanti sore datang lagi.

Keruwetan ternyata nggak berhenti di jadwal praktek dokter saja. Nantinya setelah mengalami berbagai macam prosedur dan kejadian yang ruwet binti puyeng di RSPP ini, jadi berasa kalau mendingan memang jangan sakit deh *loh, kesimpulan yang aneh*

Yang pertama kali bu dokter bilang waktu itu adalah : ini penyebabnya bukan karena gaya hidup kok. Wah, berarti nggak perlu didengerin ya nanti kalo ada yang bilang : makanya jangan makan sembarangan, makanya jangan kerja kebanyakan, dst, dst, hehe... kan sebabnya bukan itu :P
Tapi pas mau pulang, dokternya 'menjentul' (apa sih bahasa indonesianya?) kepala pasiennya pelan-pelan sambil  bilang : pasti suka memendam perasaan nih.
Weleh-weleh..

Dari situ dokter memberi beberapa pengantar, yang pertama untuk sedot cairan pleura, karena paru-paru yang kempes itu membuat nggak bisa beraktifitas dan nggak bisa tidur juga lama-lama. Yang kedua pengantar periksa darah untuk tumor marker, dan yang ketiga pengantar TTNA alias Transthoracic Needle Aspiration. Yaitu teknik biopsi dengan jarum untuk mengambil sample dari massa di mediastinum tadi itu.

TTNA dilakukan dengan menggunakan mesin CT-SCAN, jadi kembali lagi ke bagian radiologi kemarin. Caranya, pasien tiduran di 'meja' scanner, lalu di bagian yang kira-kira akan diambil jaringannya diletakkan besi pengukur.

Lalu pasiennya diwanti-wanti supaya 1) jangan bergerak-gerak 2) jangan sampai batuk. Soalnya kalau bergerak sedikit aja nanti ditusuknya harus diulang.
Hadeeh... ngeri banget..
Sesudah ancaman yang menyeramkan itu, tentunya pasien lalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergerak, walaupun sebenernya gemeteran minta ampun.

Setelah dipasang besi penanda itu, dilakukan scanning satu kali untuk menentukan dimana letak puncture atau tusukan jarum harus dilakukan. Sebelum jarum dimasukkan, tentunya dilakukan bius lokal lebih dahulu, supaya nggak sakit, walaupun suntik bius itu juga lumayan lah sakitnya.
Sesudah jarum dimasukkan, dilakukan scanning sekali lagi untuk memastikan bahwa posisi dan kedalaman jarumnya sudah tepat. Sesudah itu baru jaringan disedot seperlunya, jarum ditarik, luka diperban, and you're good to go.

Sebagai catatan, kalau anda harus menjalani prosedur ini dan kebetulan takut sama jarum, sebaiknya selama prosedur merem aja terus. I made a big mistake of opening my eyes after the 2nd scanning, yaitu waktu jarum yang panjang itu masih menancap di dada dengan manisnya. Huaa... ngilu sendiri lihatnya, padahal sih sebetulnya gak terasa apa-apa, kan sudah dibius.

Oh ya, TTNA ini dilakukan hari senin. Kontrol dokter hari jumat sebelumnya. Untuk sedot cairan, dokter memberikan pengantar ke IGD, dengan alasan kalau dilakukan sendiri oleh dokter akan dihitung sebagai swasta, sedangkan kalau di IGD bisa gratis (dengan asumsi menggunakan jamkesmas atau KJS).

Waktu itu belum pernah merasakan dahsyatnya pelayanan IGD sementara rspp, jadi ikut saja saran bu dokter, walaupun kita bukan pemegang kjs.
Dan hasilnya luar biasa.. masuk antrian igd sekitar jam setengah 6 sore, baru bisa ditangani sekitar jam 7 malam, dan baru bisa pulang jam 12 malam. Dan selama waktu tunggu itu jangan harap dapat bed, tempat duduk saja alhamdulillah nggak ada sandarannya. Akhirnya karena pegal dan capek, pasiennya kabur dari IGD dengan masih membawa tiang infus, dan duduk di kursi tunggu di koridor.

Dan satu lagi, karena yang melakukan prosedur thoracenthesis di IGD (tentunya) bukan spesialis paru, maka ada protokol yang harus diikuti, yaitu maksimal cairan yang boleh diambil dalam sekali prosedur adalah 800 ml, akan tetapi prosedur harus dihentikan kalau sebelum 800ml pasien sudah batuk.
Nah, pasien yang ini, yang di penyedotan terakhir saja sudah 'menghasilkan' 1500ml dan dua minggu kemudian sudah penuh lagi, langsung kecewa deh waktu dokternya berhenti di angka 600ml. Hiks, nggak lega deh..

Sesudah thoracenthesis, dilakukan x-ray dan sekalian diambil sample darah untuk lab standard dan uji tumor marker pesanan dokter onkologi.

Disini pentingnya pasien didampingi oleh orang yang masih sehat dan kondisinya prima. Karena untuk mengantar darah dan sample cairan pleura ke lab, serta nantinya mengambil hasil lab beberapa jam kemudian, harus dilakukan sendiri oleh pendamping pasien.
Padahal rspp ini luasnya minta maaf, dan jarak antara IGD sementara yang ada di dekat pintu masuk griya puspa dan lab di gedung seruni yang buka 24 jam itu lumayan untuk membakar kalori. Belum lagi akibat hecticnya suasana IGD, dokternya nggak sekaligus memberikan sample darah dan cairannya. Akibatnya pendamping yang malang itu harus bolak-balik ke lab sampai beberapa kali.

Begitu juga waktu pengambilan hasil. Karena salah satu hasil tes darah dan cairan pleura, yaitu level LDH atau Lactate dehydrogenase terlalu tinggi, petugas lab-nya meragukan sendiri hasil tesnya. Akhirnya tes harus diulang, yang artinya pendamping yang kurang beruntung itu harus kembali sekali lagi untuk mengambil hasil yang baru. Ternyata LDH yang mestinya ratusan itu sampai menembus angka puluhan ribu, pantas saja petugas lab pusing. Tapi setelah diulang, hasilnya memang sebesar itu. Kesimpulannya, yang abnormal bukan tesnya, tapi pasiennya.

Setelah hasil lab dan x-ray direview dokter (yang akhirnya dilakukan setelah dikejar2 oleh pendamping yang sudah mulai kelelahan menunggu), dan karena pasien tidak merencanakan untuk rawat inap, akhirnya jam setengah 12 malam infus dilepas dan pasien bisa pulang.

Hasil lab untuk tumor marker baru bisa diambil hari kamis pagi, hasil lab TTNA senin minggu depannya. Bu dokter bilang, kalau hasil TTNA sudah bisa menunjukkan jenisnya, dan kalau benar thymoma atau tumor lain yang operable (kemungkinan lain adalah lymphoma atau other tumor), langsung check-in saja supaya langsung dijadwalkan operasi, mengingat gumpalannya membesar lumayan cepat dan dokter khawatir kalau nanti gumpalan itu menekan pembuluh darah jantung. Belum lagi mengingat juga kondisi paru-paru yang sudah terlalu cepat kempes total.
Huaa.. takuuut.. tapi bismillah.. yang penting ketemu dulu apa penyakitnya. Tapi mudah-mudahan nggak perlu pakai operasi deh..

Singkat cerita, setelah hasil-hasil lab yang penting keluar, ternyata dokter belum bisa menyimpulkan jenis penyakit apa yang bercokol di badan pasiennya. Hasil tumor marker negatif semua, sedangkan hasil TTNA hanya dapat menemukan abnormalitas tapi tidak bisa spesifik apa jenisnya. Bu dokter waktu itu sempat bilang, mungkin karena waktu pengambilan sample-nya terlalu dalam, padahal biasanya bagian tumor yang masih mengandung banyak informasi hanya sekitar 2 cm dari tepi.

Hee?? Lha kok bisa terlalu dalam? Walah ya sudahlah.. yang penting sekarang langkah selanjutnya apa, soalnya pasiennya sudah mulai sesak napas lagi. Sepertinya sudah perlu sedot cairan lagi, hiks..

Untuk masalah yang satu ini sebenarnya bu dokter dari awal sudah menyarankan untuk pasang selang yang agak 'permanen', cuma kok seram ya.. selama ini lihat orang-orang yang dipasang selang lalu lalang dengan kursi roda. Huaa.. kok selangnya besar bangeet..
Akhirnya menawar-nawar sajalah.. sementara di-punksi aja bilamana perlu. Padahal sakit juga ditusuk2 begitu, hiks..

Langkah selanjutnya adalah biopsi terbuka, alias salah satu benjolan kelenjar di leher akan disayat untuk diambil jaringannya. Untuk ini dokter memberikan pengantar ke bagian bedah thorax.
Di bedah thorax ketemu dengan pak dokter yang pembawaannya 'mriyayi', lemah lembut dan murah senyum. Beliau menjelaskan bahwa prosedur ini sebetulnya bisa dilakukan dengan bius lokal, tapi kalau pasien takut dan memilih bius total juga bisa. Cuma untuk pilihan kedua ini pasien perlu konsul tambahan ke dokter anestesi dan dokter jantung, serta melakukan ekg alias rekam jantung.
Pak dokter juga meng-caution, eh apa ya.. memperingatkan? hmm.. bukan sih.. menginformasikan untuk diwaspadai, bahwa kalau misalnya pembengkakan kelenjar itu dikarenakan infeksi, termasuk diantaranya TBC, maka luka bekas operasi akan lamaa.. sembuhnya. Tapi kalau bukan (yang berarti kemungkinannya adalah tumor) ya sembuhnya biasanya cepat.

Huaa.. pasiennya bingung berdoanya apa.. pokoknya minta yang terbaik, yang cepet sembuh semua penyakitnya, nggak cuma lukanya aja.

Nah, sudah jam setengah 12 malam, besok pagi-pagi harus check-in untuk terapi ke 4 (atau ke 3 dengan full regimen). Jadi sementara dicukupkan sampai disini dulu.
Doakan supaya besok lancar dan efek sampingnya minimal yaa..

Rabu, 05 Juni 2013

Taking it easy

Ternyata kemarin ke-geer-an.
Perasaan udah agak fit dan kembali sedikit invincible seperti dulu. Tapi kelayapan seharian aja efeknya sudah 4 hari nggak kunjung hilang.
Hari jumat alhamdulillah tercapai cita-cita untuk ngantor. Sempat pura-pura ikut miting juga, hehe
Dan sempat mampir toko kacamata untuk beli kacamata baru (iyalah masa beli cabe) yang sudah long overdue.

Sorenya kontrol ke dokter untuk persiapan kemoterapi tanggal 10 nanti.
Dokter Nadia (pak dokter AWS cuti melulu.. hiks) agak prihatin pas periksa nadi dan suhu : 37.7 derajat. Haduh, kok demam?
Langsung dikasih resep suntikan leukosit, antibiotik, dan pengantar periksa darah ke lab. Pesannya, kalau sampai besok pagi belum sembuh, ke lab untuk periksa darah, dan kalau leukosit drop resepnya ditebus. Tapi kalau malam ini demamnya sampai 39,  malam ini juga langsung ke lab dan obatnya ditebus.
Untuk jaga-jaga aja, takut kena infeksi, mengingat hari itu masih hari ke 10 setelah terapi terakhir. Tapi mudah-mudahan bukan, dan demamnya karena dehidrasi aja. Either case, bu dokter minta dikabari.

Alhamdulillah malamnya setelah minum banyak-banyak, temperatur turun. Paginya sms bu dokter, kasih kabar kalau sudah ok. Akan tetapiiii... sejak itu kalau capek dikit kok jadi anget-anget lagi yaa.. hiks. Yasudahlah, ternyata memang harus taking it sooo very slowly.

Oh ya, semenjak istirahat panjang ini di rumah 'terpaksa' jadi pawang remote tipi.
Dan di tengah ramainya berita 40 hari-an uje, kebetulan ada acara di salah satu tipi swasta yang membahas soal TB. Wah pas banget inih.

Ternyata Indonesia adalah negara endemik tb peringkat 4 di dunia, cuma kalah dari china, india, dan nigeria. Iya lah, india dan china kan orangnya milyaran.
Jumlah orang yang meninggal karena tb di indonesia? 300 orang per hari.
Kasus baru tb? 5000 orang per hari.
Banyak yaaa...

Ternyata tbc adalah penyakit mematikan nomer 5 di dunia, setelah jantung, kanker, aids dan hepatitis.

Dan ternyata masih banyak orang yang menganggap kalau tb atau tbc itu penyakit orang dengan tingkat ekonomi rendah. Weh, padahal waktu berobat ke rsud dulu, pasien-pasien tb banyak juga yang keren-keren kok. Mungkin karena yang miskin banyak yang nggak berobat soalnya ya, heheh *miris*

Oh ya, soal pasien yang keren ini, sempet denger ibu-ibu sesama pasien ngobrol. Eh, ndak berniat nguping lhoo.. lhawong ibu2 itu ngobrolnya kenceng2 kok *beladiri*
Penampilannya cukup 'wah' deh, seperti ibu-ibu majelis ta'lim yang tampil di pengajian televisi.

Ternyata mereka juga pasien tb, bahkan salah satu diantaranya sudah sempat berobat sampai 4 bulan, tapi karena waktu itu sibuk mengurus arisan, minum obatnya jadi kelewat, terus berhenti deh karena merasa sudah terlanjur. Akhirnya pas berobat lagi, terpaksa minum obatnya direstart dari awal.
Masih beruntung banget sebetulnya, karena kumannya nggak sampai resistan sama obatnya.
Karena kalau iya, berarti kasusnya masuk ke TB-MDR, dan pengobatannya harus dilakukan di rs karena obat-obatannya akan menyertakan obat lini ke-2 yang harus diawasi efek sampingnya secara seksama.

Makanya buat penderita tb, perlu ada pendamping yang disebut PMO. Bukan project management officer, tapi pengawas minum obat, yaitu orang yang tugasnya ngingetin dan memastikan kalau pasien minum semua obatnya secara teratur.


Eh sebetulnya pengobatan tbc itu bisa murah lho, bahkan bisa gratis. Karena program pemberantasan tbc adalah program yang disubsidi pemerintah. Caranya, untuk yang di dki bisa pake kjs, atau bisa juga berobat ke puskesmas terdekat. Kalau mau tau lebih lanjut, ada nomer telponnya disini. Btw, sekarang puskesmas di jakarta sudah keren-keren ya, penampakannya sudah seperti rumah sakit. Pasiennya  juga banyak kayak di rs, hehe..


Dan sebetulnya, siapa aja mungkin dan bisa tertular tbc, apalagi yang suka kelayapan di pasar, mall atau tempat-tempat yang banyak orang. Atau yang suka naik angkot. Soalnya penularan kuman tb kan gampang, apalagi kebiasaan orang-orang yang batuk suka nggak ditutup, dan meludah sembarangan. Mana tau salah satu diantara orang itu sakit tbc kan.
Bisa jadi sebetulnya tiap hari pun kita terpapar kuman tb, cuma nggak sampai sakit karena daya tahan tubuh masih bagus.
Begitu daya tahan tubuh kita menurun, entah karena kurang fit atau kurang gizi, nah langsung deh tuh, kuman yang tadinya kalah langsung mengalahkan kita.

Eh, jangan salah ya.. kurang gizi itu bukan monopoli orang miskin atau anak kecil aja. Orang dewasa yang makannya nggak diatur juga mungkin jadi kurang gizi lho. 
Dulu waktu didiagnosis tb, bu dokternya tanya 'Profesinya apa dek?' pas dijawab 'Konsultan IT dok', dokternya langsung bilang 'Oh pantes.. ini pasti suka males makan nih'
Lhaa... masak iya sih? Hobi saya sebenernya sih wisata kuliner dok :P

Hmm.. mau lanjut cerbung kok masih males, nanti deh dikebut kalau udah gak males. Sekarang kita off dulu..