Selasa, 22 Desember 2015

Catatan akhir tahun (dan akhir terapi)

Alhamdulillah, akhirnya maintenance yang 2 tahun selesai juga tanggal 4 Desember kemarin.
Kalau mau dipas2in, menyelesaikan terapi maintenance adalah sebuah hadiah ulangtahun yang istimewa buat saya (walopun saya nggak ngerayain ulangtaun sih sebenernya).

3 tahun yang lalu pas tanggal2 segitu, pertama kalinya dapat diagnosis pleural effusion, dan baru mengawali proses pencarian diagnosis yang panjang dan lama itu.
Masih inget waktu itu jadwal sedot cairan untuk pertama kalinya sore hari, dan siangnya karena nggak sanggup ngantor (perasaan nggak karuan gara-gara punggung mau dibolongin), akhirnya ngelayap ke mall untuk beli 3 pasang (!!) sepatu *tutup muka* sebagai hadiah ulangtahun untuk diri sendiri. Haha.. agak nggak nyambung ya?
Yah, begitulah.. kehidupan ini ternyata adalah rangkaian dari berjuta-juta ketidaknyambungan yang disambungkan oleh sebuah garis bernama usia *heleh.. udah minum obat belum mbak?*
Eeniwey.. nggak terasa tau-tau sekarang sudah 3 tahun, sudah melewati kemo dan maintenance dengan segala rupa dan warna yang menyertainya.

Seperti waktu selesai kemo dua tahun yang lalu, saat ini adalah masa-masa kegamangan. Pertanyaan yang pasti muncul adalah, setelah ini lalu apa?
Setelah semua ini, apakah sudah selesai?

Apalagi, seperti waktu selesai kemo dulu, selalu ada catatan yang membuat dokter nggak rela memberikan stempel kelulusan secara penuh. Kalau dulu masih ada soal jantung, soal sisa benjolan, soal LED dan LDH, maka kali ini pun si LDH dan kelenjar yang suka bertingkah itu masih saja genit dan cari perhatian.

Tapi nggak apalah, kita kembali ke prinsip semula saja, yaitu jalani satu persatu. Syukuri setiap hal yang terjadi, termasuk keberhasilan melalui proses maintenance yang 2 tahun ini. Sebab menyelesaikan terapi maintenance berarti sukses menjalani 2 tahun ini dalam keadaan hidup dan sehat.

Kesannya pesimis banget ya masang targetnya?

Bukan, bukan pesimis, tapi justru menghargai betul-betul apa yang sudah dijalani dan didapatkan selama 3 tahun ini, terlebih kalau mengingat percakapan ini.

Satu hal yang akhirnya berhasil saya lakukan, yang mestinya dilakukan sejak awal sih ya.. yaitu membuat rekap riwayat terapi dan pengobatan yang dijalani selama ini, termasuk test yang dilakukan, seperti lab dan scan.
Ini sebetulnya cita-citata saya dari masih kemo dulu, cuma entah kenapa setiap selesai terapi pengennya melupakan semua yang berhubungan sama rumah sakit, sampai datang waktu kontrol berikutnya. Agak traumatis gitu liat berkas2 medis yang banyak banget itu *apalagi liat berkas tagihannya* ..
Akhirnya yang dibawa pas kontrol ya berkas2 aslinya aja, itupun hanya beberapa yang terakhir, karena saking banyaknya.
Padahal sebetulnya kalau kita punya, rangkuman ini bisa sangat membantu dokter mengambil kesimpulan dan keputusan ketika kita konsul. Dokter nggak perlu membolak balik klipingan rekam medis yang sekarang sudah setebal 15 cm itu.
Tapi nggak pa pa lah ya, kan kata pepatah : lebih baik terlambat daripada nggak masuk kelas :P

Hal lainnya, mungkin saya bisa kembali menekan tombol 'play' dan menjalani kehidupan dengan normal seperti.. hmm.. seperti..

On second thought, sebetulnya selama ini  pun saya sudah menjalani kehidupan dengan normal kok. Normal menurut saya tentunya. Menurut kemampuan saya.

Dan menyelesaikan terapi, meskipun sangat amat sangat amat melegakan, tapi juga sebuah moment yang mendebarkan. Karena sesudah ini ada evaluasi, lalu kalau lulus, maka mulailah ujian yang sebenarnya, yaitu menjalani kehidupan tanpa terapi. Ibarat orang yang latihan naik sepeda, ini saatnya roda bantu yang kecil2 itu dilepas, dan kemudian akan terlihat apakah memang sudah mampu berdiri eh berjalan dengan dua roda utama saja, tanpa penopang tambahan.
Dua penopang utama itu mungkin, doa dan tawakkal kali ya.. menyerahkan semua ikhtiar yang sudah dilakukan selama ini, kepada Allah, sambil terus berdoa, dan minta didoakan juga tentunya, seperti yang sudah-sudah..
Jadi, doakan aku yaaa...

Selasa, 17 November 2015

Biar Allah yang Lengkapi Kisahnya

Sudah agak lama nggak update blog ya ternyata.
Kebetulan belum ada update apa-apa juga, mengingat waktunya kontrol dan terapi masih minggu depan. Dan kebetulan juga kegiatan di kantor sudah mulai full speed nih menjelang awal desember.

Kalau mengikuti rumus no news is a good news, maka mestinya it's been good ya. Mudah-mudahan.
Soalnya awal bulan ini harusnya cek darah, tapi males, jadi sekalian aja akhir bulan nanti untuk kontrol pre-terapi.
Iya nih, bandel banget ya.. Tapi bentar lagi sudah jadwal kontrol kok, nah yang ini nggak akan males deh *mudah-mudahan*

Lagipula, terapi yang akan datang ini insyaAllah akan jadi yang terakhir dari paket maintenance 2 tahunan. Doakan aku, semoga lulus sehat sentosa yaa..

Belum tau sih, nanti sesudah ini apa program selanjutnya. Tapi yang jelas akan ada Pet-Scan untuk evaluasi hasil terapi sekaligus cek tahunan. Dari situ baru akan ditentukan apa langkah yang perlu dilakukan ke depannya. Untuk sementara ini yang jelas banyak-banyak berdoa aja.


Dua bulan lalu kebetulan waktu yang cukup berat secara emosional, mengingat insiden benjolan yang sampai sekarang masih misteri itu. Bertepatan dengan itu, dua orang teman seperjuangan terpaksa harus kembali menjalani kemoterapi karena ternyata limfomanya kembali lagi.

Oh ya, waktu terapi yang kemarin, akhirnya sempat bertemu secara langsung dengan salah satunya, karena kebetulan kami check-in di RS yang sama di waktu yang sama.
Satu hal yang bisa saya katakan soal mereka adalah, mereka ini orang yang amat sangat hebat sekali.
Tetap tegar, bersemangat, dan luar biasa proaktif dalam hal mempelajari dan menjalani pengobatan (Mas dan Mbak, doa kami selalu untuk kalian sekeluarga, terima kasih sudah menginspirasi untuk tetap hopeful apapun keadaannya. Semoga lancar terus ya kemo-nya, sehat pulih 100%) . Kebetulan (nggak betul juga sih sebenernya), jenis limfomanya adalah termasuk sangat sulit dideteksi, karena berada di usus.

Banyak sekali yang kami bicarakan waktu itu, salah satunya soal sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat. Karena memang limfoma ini adalah salah satu penyakit yang bermuka banyak alias gejalanya tidak spesifik, dan seringkali mirip dengan penyakit lain. Misalnya saya yang di diagnosis TBC, atau teman saya ini yang sempat divonis batu empedu. Terlebih lagi pengetahuan atau awareness mengenai limfoma ini juga relatif masih rendah sekali di Indonesia.

Hal lain yang sempat kami sama-sama bicarakan adalah soal tidak sederhananya proses setelah mendapatkan diagnosis itu, yaitu menentukan jenis pengobatan. Kebetulan kami ditangani oleh dokter hematologi onkologi yang berbeda, dan ternyata kedua dokter senior ini memiliki strategi yang berbeda dalam penanganan limfoma. Bisa jadi juga karena memang penyakitnya tidak 100% sama, dan kondisi masing-masing pasien juga tidak sama, sehingga kami menjalani prosedur yang berbeda.

Tapi yang jelas, dari ngobrol-ngobrol, baca-baca, dan dari pengalaman, yang namanya pengobatan medis, terutama untuk kanker, itu memang banyak unsur 'art'-nya. Maksudnya ya.. tidak ada yang eksak "jika A maka B". Karena bagian "jika A"-nya saja belum tentu true. Nah loh malah gak jelas.. huehue..
Maksudnya adalah, tidak ada kasus yang 100% sama. Dari sisi penyakit, dari sisi kondisi pasien, dari sisi respon pasien terhadap terapi, dan dari sisi dokternya sendiri. Sehingga 'jalan cerita' terapinya pun kemungkinan nggak akan sama.

Dan ternyata, dalam menjalani kanker beserta segala petualangannya ini, selain doa dan ikhtiar ada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu tawakkal, alias berserah diri kepada Allah. Ketika kita sudah berdoa, sudah memutuskan, sudah berusaha dan menjalani pengobatan, suatu saat kita mungkin akan dihadapkan pada hal-hal yang membuat kita mempertanyakan lagi semua yang sudah kita lakukan.
Apalagi kalau ketemu dengan rekan seperjuangan dan bertukar pengalaman, pasti ada pertanyaan-pertanyaan semacam "kok dia disuruh begitu aku disuruh begini ya kemarin?", "kok dia kena efek begini aku kena efek begitu?" dan lain sebagainya.
It's a challenging thought in itself.

Dan ini masih ngomong soal medis aja lho, belum lagi kalau sudah soal pengobatan alternatif. Akan sering kita dengar orang (dan mungkin diri kita sendiri) mempertanyakan kok nggak ini, kok nggak coba ke sana, kok nggak itu, dan seterusnya.


Oh ya, dan ini belum bicara soal 'pakai bpjs atau enggak'. It will be another long long long story and (possibly) argument.

Yang bertanya maksudnya pasti baik sih, tapi diri kita sendiri mungkin sedikit banyak akan merasa ragu dan tidak puas dengan apa yang sudah kita lakukan, bahkan mungkin ada rasa menyesal kenapa dulu begini begitu.

Makanya Allah sudah kasih kita resep, kalau sudah memutuskan, sudah ikhtiar dan berdoa, selanjutnya ya berserah diri sama Allah. menyerahkan keputusan, ikhtiar dan doa kita di Tangan Allah. Kita sudah menulis kisah kita, maka Allah yang akan melengkapi dengan takdir-Nya.

Itu teorinya, gampang ya nulisnya, tapi prakteknya..  ternyata kok susah yaaa..

Sabtu, 26 September 2015

Balada Sebuah Kelenjar Menjelang Garis Finish

Malam hari raya kemarin pas kebetulan jadwal kontrol sebelum terapi ke -2.
Bukan 2, tapi -2.
Kalau di python, indeks -2 artinya indeks ke 2 dari belakang, atau dengan kata lain, insyaAllah tinggal 2 kali lagi kita terapi, heheh.. *maap.. maap*

Pertemuan kali ini nadanya agak datar saja, nggak ada joke atau pesan bermakna yang gimanaa.. gitu dari om dokter. Mungkin sebabnya karena pasiennya kali ini datang dengan agak kurang semangat juga.
Entah kenapa kemarin ini nggak terlalu antusias mau ketemu om dokter, nggak seperti biasanya yang sejak seminggu sudah mulai mengumpulkan banyak bekal pertanyaan, kemarin itu sampai harinya pun tetap nggak ada ide mau tanya apaaan.
Well.. sebetulnya nggak 'entah kenapa' juga sih.

Satu hal soal berhadapan dengan kanker ini adalah, it's a very long run, atau seperti yang saya suka bilang (mudah2an gak bosen dengernya ya) lebih mirip marathon gitu lah dibandingkan sprint.
Dan seperti layaknya sesuatu yang berlangsung lama dan menguras banyak tenaga, akan ada saat di mana kita merasa jenuh, merasa 'blah' atau 'meh' atau garing atau bosan atau apalah itu.
Ada saatnya di mana bahkan ketika kita ditanya soal 'apa kabar' pun jawaban kita terdengar seperti kaset rusak yang memutar berulang2 di telinga kita sendiri.

Apalagi kalau sudah berhadapan dengan yang namanya efek samping. 

Efek samping itu walaupun cuma sehari dua hari kadang bisa bikin bete dan lelah lahir batin, apalagi kalau sampai berhari-hari atau berbulan-bulan. Kadang kalau nggak memikirkan harus berpacu menuju garis finish, di tengah jalan rasanya pengen istirahat aja.


Hal lainnya adalah, berhadapan dengan kanker, sesuatu yang bernama 'sembuh' is a very abstract thing. Some says you should be called sembuh kalau setelah terapi tidak lagi ada tanda kankernya, alias penyakitnya hilang, some says nanti dulu.. tunggu lima tahun baru boleh bilang sembuh. Some even says that lima tahun pun bukan jaminan. Lagian memang nggak ada kan yang namanya jaminan dalam kehidupan ini, jaminan adanya di pegadaian sana.

Lalu gimana? Ya gak gimana-gimana. Waspada saja, be vigilant, know your own body and its signs.

Hal ini pun sejalan dengan yang telah dititahkan sebelumnya oleh kanjeng om dokter, bahwasanya kewaspadaan dan mawas diri ini adalah suatu hal yang hukumnya wajib untuk dijalankan oleh seorang pejuang kemerdekaan macam saya ini. Terlebih mengingat dan menimbang bahwa ciri dan gejala limfoma ini (kalau keponakan saya yang umur 4 tahun menyebutnya limfoy) juga sangatlah abstrak dan tidak spesifik.

Maka, poin 1 dan poin 2 digabung dengan poin 3 di atas itulah yang sebenernya yang bikin nggak selera. Jadi nggak terlalu 'entah kenapa' juga kan sebenernya?

Haha.. gak jelas banget ya apa maksudnya orang ini?

Gini sih..

Menjelang habisnya masa garansi terapi maintenance di akhir tahun nanti, sebetulnya sudah sempat senang dan gembira banget kemarin, karena selesai terapi mabthera insyaAllah artinya bisa mulai berharap kekebalan tubuh kembali menuju normal, dan akhirnya insyaAllah akan bisa terbebas dari flu, batuk dan pilek yang berkepanjangan, dan insyaAllah mudah-mudahan bisa kembali fit dan sehat lagi, sukur-sukur bisa jogging atau sepedaan lagi *aamiiin.. yaa.. Allah*

Jadi, ketika sebulan lalu melaksanakan sabda kanjeng om dokter untuk periksa daerah-daerah rawan, kemudian mak bedhundhul ada yang njendhul alias teraba benjolan2 di salah satu area lymph node, rasanya pengen ndheprok dan cakar-cakar tanah *halah lebay*

Enggak sih, nggak se-ekstrim itu. Cuma agak cemas banget aja.
Dan agak kecewa juga.
Takut kalau itu ternyata apa-apa, lalu bagaimana nasib terapi yang tinggal 2 kali lagi itu?

Who keeps moving the finish line?
Rasanya seperti tukang marathon (kok tukang, emang tukang bakso?) yang sudah tinggal beberapa puluh meter menjelang garis finish, lalu melihat panitia sedang beberes untuk menggeser si garis finish itu menjauh entah berapa meter atau berapa kilo lagi. Woo.. ya langsung lemes gitu to dengkulnya si pelari ini.. *ini agak lebay juga sih*

Tapi berhubung benjolan yang masih terbilang kecil-kecil itu belum tentu sebuah kelenjar, jadi masih amat sangat berharap banget-banget kalau itu bukan apa-apa, cuma otot mlungker atau lemak mblondho yang nggak perlu dikhawatirkan keberadaannya.

Makanya kontrol yang kemarin itu pikiran udah males banget untuk ngerancang2 pertanyaan lain kecuali pengen konfirmasi mengenai penampakan entitas yang tidak dikehendaki itu.

Setelah pertanyaan standar dari om dokter soal apa kabar dan membahas LDH yang (seperti kemarin2) masih belum juga mau masuk batas normal dan kekhawatiran om dokter soal batuk yang sudah mau ulang-tahun, laporlah dengan nada yang diusahakan se-casual mungkin, soal si benjolan itu.
Om dokter terdiam sepersekian detik (halah kayak bisa aja mendeteksi pergerakan sepersekian detik), lalu bilang 'Ya nanti kita lihat sekalian apa itu, sekarang saya mau cek dulu suara nafasnya'
Bukan karena om dokter gak yakin saya masih nafas lho yaa.. tapi untuk mengecek apakah ada yang gak normal dari suara nafas saya. Misalnya apakah suaranya tiba-tiba jadi merdu seperti buluh perindu *apasih*

Dan setelah detik-detik yang mendebarkan *lebay lagi* itu, om dokter memberikan jawaban yang sangat mengecewakan, yaitu beliau bilang kalau saya benar. Maksudnya saya benar waktu menyangka benjolan itu adalah kelenjar getah bening yang membesar.
Hiks, kalau biasanya saya suka banget dibilang benar, kali ini saya akan jauh lebih senang dan gembira seperti ketika libur 'tlah tiba kalau saja dokter bilang saya salah se salah-salahnya, dan benjolan itu cuma lemak atau kulit yang sudah tua atau apalah yang bukan apa-apa.

Tapi bagaimana lagi.
Lagipula it's no time to worry yet.
Pak dokter bilang, belum tentu itu limfoma (aaamiiin.. aaamiiin.. aaamiin.. semoga yang meng-amin-kan atau me-like status ini masuk surga – ehehe.. kayak status2 fb jaman sekarang gak sih). Yang penting terus dipantau aja, apakah tambah besar atau tambah banyak dalam sebulan terakhir ini.
Kalau ternyata membesar, langkah berikutnya ya kita biopsi untuk memastikan apakah ini tidak apa-apa atau apa-apa.

Nah ini, nggak enak banget ini bagian biopsi-nya. Nggak suka banget.

Untuk sementara ini, cek darah dipersering jadi sebulan sekali, dan diperhatikan LDH level apakah meningkat lagi atau tidak. Oh ya, kemarin sempat baca di internet soal kelenjar yang katanya nggak boleh terlalu banyak dipegang-pegang ntar malah jadi tambah ganas, kata pak dokter ah enggak kok. Malah harus betul-betul diraba untuk memastikan apakah membesar atau tidak.

Lalu pak dokter memberikan dua lembar pengantar lab, bulan pertama cek standar aja, bulan berikutnya sekaligus cek pembekuan darah untuk persiapan biopsi.
Hiks, walaupun biopsi ini juga belum tentu, mudah2an nggak perlu *aamiiin.. aamiiin.. aamiin.. semoga yang meng-amin-kan atau me-like.. *halah mulai lagi deh* ) tapi lembaran pengantar lab ini membuatnya terasa lebih nyata dan pasti.

Apalagi pas keluar dari ruang dokter dan membayar tagihan di kasir kembali ke dunia nyata. Rasanya seperti dijorogin ke luar angkasa, melayang-layang tanpa arah, gak jelas harus merasa bagaimana. Tambah sedihnya lagi, tanggal 10 Dzulhijjah alias Idul Adha ini sebetulnya adalah hari kelahiran saya secara penanggalan hijriyah. Nggak ada hubunggannya sih, dan nggak ada pengaruhnya juga, cuman ya.. sedih aja gitu..

Tapi seperti yang tadi dibilang, it's no time to worry yet.
Jalanin satu persatu aja kali ya, dan banyak-banyak berharap dan berdoa bahwa ini semua cuma sebuah kekhawatiran yang bukan apa-apa.

Dan karenanya, kali ini pun mohon kiranya rekan-rekan dan teman-teman dan all the people out there, please.. doakan aku yaa...

Rabu, 26 Agustus 2015

Lingkaran di sekitar kita


Ada ungkapan yang sering kita dengar, yaitu "di balik lelaki hebat ada wanita yang hebat", maka untuk seorang yang sedang berjuang melawan sakit ada juga ungkapan yang bisa dibuat : di balik pasien yang (sepertinya) hebat, ada caregiver yang tidak kalah hebat.

Kita sering kagum ketika melihat orang yang sakit berat dan tampak tetap semangat dan optimis, tapi seringkali kita lupa, bahwa di belakang.. yaa.. nggak di belakang juga sih, di samping barangkali ya.. di samping orang sakit itu biasanya ada orang-orang yang tidak kalah kuatnya, tidak kalah penting perannya, yaitu para pendamping, perawat, atau bahasa kerennya itu tadi : caregiver. 



Tentu tidak mudah menjadi seorang pendamping dan perawat orang sakit, apalagi kalau sakitnya berat dan dalam waktu yang lama. Caregiving, atau merawat orang sakit bisa jadi sebuah tugas penuh waktu, alias fulltime, dan penuh tantangan secara fisik dan mental.

Caregiver ini biasanya adalah orang-orang terdekat dari pasien, oraang tua, istri, suami, saudara kandung, anak, teman dekat, dan sebagainya. Sehingga sudah tentu mereka pun ikut merasa bersedih dengan penderitaan si sakit. Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi oleh seorang caregiver adalah:

Masalah fisik.
Banyak caregiver atau pengasuh mengalami masalah fisik karena stres dan tidak sempat merawat diri. Stres dapat menyebabkan sakit, masalah tidur, dan kurang nafsu makan. Seringkali mereka tidak mendapatkan cukup tidur dalam waktu lama, membuat mereka merasa lelah berkepanjangan. Mereka juga sering tidak memiliki waktu dan energi untuk menyiapkan makanan yang layak, olah raga, dan menjaga kesehatan pribadinya.

Masalah emosional.
Depresi umum terjadi di antara caregivers. Mereka juga mungkin merasa kesepian karena tidak sempat bertemu dengan teman-teman dan keluarga, atau karena harus berhenti dari pekerjaan atau kegiatan rutin mereka. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan perasaan cemas, frustrasi, marah, dan rasa bersalah. Masalah-masalah ini meningkat seiring meningkatnya waktu dan intensitas perawatan pasien. Kemungkinan terjadinya stres lebih tinggi di antara para pengasuh yang merasa mereka harus melakukan tugasnya, bukan atas inisiatif atau sukarela.

Masalah keuangan.
Pengasuhan bisa juga menghadapi masalah keuangan, karena caregiver ini kebanyakan adalah orang terdekat yang menjadi penanggung pasien secara finansial. Pada saat yang sama, pengasuh sering terpaksa mengurangi jam kerja, keluar dari pekerjaan sepenuhnya, atau mengurangi tabungan mereka.

Tapi di samping yang nehatip2 itu ada juga sisi positif yang mungkin dirasakan oleh seorang caregiver, misalnya semakin mendekatkan hubungan dengan yang dirawat, kepuasan batin karena merawat orang yang dicintai. Seseorang juga dapat belajar tentang kekuatan batin, kesabaran dan kemampuan lain yang mungkin tidak disadari sebelumnya, lebih percaya diri dan menghargai kehidupan. Dan lain-lain. 
Oh ya, yang jelas, pahala yang besar dari Allah dan tentunya rasa terima kasih yang tak terhingga dari orang yang dirawat.

Tentunya tidak semua orang yang sakit bernasib baik (biasanya sih orang sakit itu berarti memang sedang bernasib kurang baik ya, huehue) memiliki orang-orang yang bisa mendampingi dan merawat sepanjang waktu.
Dan saya, kalau saya boleh bilang, Alhamdulillah termasuk golongan orang-orang yang beriman, eh.. yang beruntung. I have my lovely sisters with me.

Dan saya dan adik-adik saya juga beruntung, karena banyak teman yang tidak melupakan beratnya tugas mereka (mereka = my sisters maksudnya). Some of them were very wonderful for asking my sisters not only what I need, but what they need, even what they want sometimes.
Bahkan teman-teman saya ini akhirnya jadi teman adik-adik saya juga.
Kadang di suatu siang yang cerah mereka (my friends maksudnya) menanyakan my sisters mau dibawakan makanan apa, atau mereka tiba-tiba muncul dengan jajanan yang aneh-aneh.
Walaupun tampaknya nggak terlalu wow atau wah atau hey (halah apa sih ini), tapi hal-hal semacam itu sangat berarti buat kami, bahkan di hari-hari tertentu kalau pikiran dan hati lagi butek-buteknya karena kurang tamasya (iyalah, tamasya di rumah sakit mana enak), pertanyaan semacam itu adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu.

Dan kami juga beruntung karena dilahirkan di keluarga besar, sehingga my sisters can support each other in supporting me. Walaupun ada masanya mereka saling ngambek, ya.. namanya juga sodara, kalau nggak pake ngambek rasanya kurang afdhol, hehe.. Tapi tetap saling menghibur dan menguatkan, mengorbankan waktu dan tenaga untuk bergantian jaga, bahkan datang jauh dari Bandung dan Jogja. They are my true remedy.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya perjalanan orang sakit menuju kesembuhan itu adalah sebuah proyek bersama. Banyak pihak yang berperan penting di dalamnya.

Jadi kalau ada ungkapan (ini orang hobinya kok nyari ungkapan, ungkepan mestinya lebih enak ya) bahwa "it takes a village to raise a child", maka, setidaknya menurut pengalaman saya, "it takes a village to care a cancer patient".
And I'm so grateful that I found the village full of lovely people.
Thank you all, for being so wonderful..

Senin, 24 Agustus 2015

Bangun tidur ku terus ngeblog

Entry terakhir kesannya dramatis bombastis banget ya ternyata?
Hehe.. jadi malu sendiri
Sebenernya sih gak gitu2 amat juga..

Cuma memang beberapa hari terakhir di minggu lalu (hayo.. kapan itu coba?), sepuluh hari kurang lebih lah, lagi merasa nggak enak badan aja. Eh, bukan aja ding, tapi banget.

Seperti biasa, seminggu sesudah terapi mabthera, ngedrop lagi dengan flu berat.
Bukan cuma batuk pilek aja, tapi lengkap dengan demam dan ngilu2. Ah, nikmatnyaa.... 
Tampaknya akumulasi efek mabthera ini lumayan juga ya ternyata.
Flu yang biasanya seminggu bisa tuntas, ini sudah memasuki bulan ke 10, sebentar lagi ulang tahun deh. Setiap kali ada tanda menuju sembuh, eh balik maning balik maning..

Dan badan yang barusan kena 'turun mesin' ini pun nggak bisa seperti waktu masih muda dulu. Level energinya gampang banget ngedrop. Sepuluh hari meriang, untuk balik beraktifitas lagi harus 'belajar' dari awal. Berdiri agak lama, jalan agak jauh, sedikit-sedikit tiap hari.
Padahal dulu sebelum semuanya ini terjadi *halah*, obat flu ya cuma tidur yang banyak, makan yang banyak, dan suatu pagi yang cerah terbangun dengan perasaan segar, bisa langsung pecicilan lagi.

It's like you fall asleep when you're young, and suddenly when you're awake you're a hundred years old. It takes a while to get used to the new old me. To suddenly have to let go so much and embrace the oldness.


Tapi memang ya, sepertinya harus belajar memperlakukan kanker beserta rangkaian terapi dan segala efek sampingnya ini sebagai sebuah kenyataan hidup *hehe, mulai lagi deh mendramatisir*
Maksudnya adalah, menerima rangkaian itu sebagai sesuatu yang sifatnya kronis alias jangka panjang. Lah, bukannya situ sendiri yang bilang begitu kemarin?
I know, I know, I've said that over and over myself. Tapi ngomong dan menjalankan itu ternyata beda ya :D

Kalau nggak mengingat terapi sudah tinggal 2 kali lagi, rasanya pengen minta libur dulu. Cuma sayang banget sih kalo sampai ditunda. Sedikit lagi, mudah-mudahan dua kali ini beneran yang terakhir, dan sesudah itu mudah-mudahan I can look forward to a road to recovery. I really miss feeling healthy.

Ah, kenapa akhirnya jadi mellow lagi begini sih.
Enggak kok, ini ngetiknya sambil semangat kok, bangun tidur udah nyampe kantor. Haha.. iyalah, lha wong memang lagi nginep di kantor :D
Tenang, kantornya ada kamarnya, ada sarapannya nasi goreng telor ceplok. Asik deh pokoknya..

Kamis, 06 Agustus 2015

A little talk to my self

I wish I can tell you that cancer is a short term business. A glitch in your lifetime journey.
That it will be over once you've dealt with it
And then you can walk on with your head held high, waving that survivor flag victoriously
That simple

But then, like you might hear thousands times before, nothing is that simple in life

Including cancer.
Especially cancer

It's a lifetime occupation.
Once it touched you, there's no escape.
Not even after finishing your treatment.
Not even after your lovely doctor tell you that you finally in remission, NED, cured
It will still be there. Hovering over your head like the sword of Damocles
It's in every pain that you feel, every itch, every numbness no matter how small
It's in the short and long term side effects you have to deal, even years after
It's in every doctor appointment, every blood drawing, every scan
Maybe not physically. God forbid, no. I sincerely hope it will never be. Never again.
But the shadow, the dark mark that sucks your happiness dry and leave you breathless in unending worries

I'm not trying to scare you or start my own pity party
It's just the reality
Mine at least

But don't be discouraged.
It might be hard, but not impossible to do
Just take it one at a time, day by day, step by step
It might not go away, but it doesn't have to take over your life
Be patient to yourself. Take your time.
It's ok to grieve, to cry, to feel helpless
But don't dwell there too long.
Be happy. Laugh.
If you can't find the reason, create one. It doesn't have to be something grand. Small things will do.
Because we still have so much in us beside that cancer thing.

*ngomong apa sih gue*

Jumat, 31 Juli 2015

Setengah penuh atau setengah kosong?

Konsul ke dokter AWS ini akhir-akhir ini kok jadi seperti kegiatan bertema 'glass half full, glass half empty'.
Mencerahkan banget. Sarat nuansa. Bittersweet. Selalu ada hal yang bikin pengen jejingkrakan, dan ada yang bikin pengen nangis *hiperbolis, panggilannya olis*
Kali ini dibuka dengan dokter yang geleng2 karena melihat hasil ct-scan bagus tapi hasil lab jelek banget. Diikuti dengan 'ancaman' cek lab sebulan sekali dan ct-scan lagi untuk bagian abdomen. Hiks.
Tujuannya tetap: Jangan sampai kecolongan.


Mengingat limfoma adalah kanker darah, jadi ya bisa beredar ke mana-mana. Bagian thorax bersih, bisa jadi pindah ngetem ke bawah. Se-nyangkutnya dia aja gitu. Mudah2an sih enggak yaa..


Hiks. Padahal niatnya kali ini pengen dapat lampu hijau, sudah ok, tinggal kontrol rutin saja. Gitu. Tapi ternyata belum bisa ya dok? Hiks hiks..
Tapi lalu kembali diingatkan bahwa hasil ini sudah buaguuus banget (bukan bu agus ya.. ) dan di luar perkiraan bangeet.. Maka nggak tega mau nangis juga, wong sudah dikasih bonus.


Kali ini awalnya dari membahas soal periksa bone marrow untuk diagnosis awal limfoma. Kata pak dokter, biasanya dilakukan jika dicurigai adanya ekstranodal tapi nggak keliatan di hasil scan atau ada gejala bm involvement. Dan itu biasanya kalau pasiennya masih bisa jalan-jalan gitu.
"Kalau kamu", dokter AWS geleng2, "waktu itu dari hasil scan saja sudah keliatan kalau kacau banget".


Sampai sekarang pun hatiku rasanya sering amat kacau dok, seperti sesudah meletusnya balon hijau. Misalnya kalau diancam2 suruh scan dan sering2 cek darah kayak gini. Hiks.


Eniwei, tujuan staging untuk limfoma sebenarnya lebih kepada menentukan prognosis. Kasarnya sih perkiraan harapan hidup. Misalnya kalau sumsum bersih harapan hidupnya 60%, dengan sumsum tulang kena jadi 40%.
Tapii.. Dr AWS mengingatkan lagi, angka itu juga 'cuma' statistik. Dan manusia itu jauh lebih rumit dari sekedar statistik.
"Misalnya kamu," katanya "harapan hidupmu waktu itu mungkin nggak seberapa. Cuma bedanya harapan itu didengar sama Yang Memberi Hidup."
Waaa.. Dokter ini memang bisa banget ih.




Astaghfirullah, Alhamdulillah..
Memang yang ada sekarang mestinya ya bersyukur dan bersyukur ya. Terima kasih dok, sudah diingatkan kembali. Love you *eh*

Jumat, 03 Juli 2015

Percakapan dengan Pak Dokter waktu kontrol bulan lalu


Sebetulnya yang di bawah ini sudah diposting di facebook sebagai status, tapi kok sayang kalau nggak dipasang di sini juga, biar nggak lupa nanti kalau lagi mau bikin cerita di sini lagi.

Berikut ini percakapan waktu kontrol sebulan yang lalu, mudah-mudahan kontrol bulan depan ini juga masih seperti ini statusnya, atau lebih baik lagi.


--------------


Waktu konsul kemarin, seperti yang lalu2 juga, ternyata ada sesuatu yang masih menjadi ganjalan, yaitu LDH level yang belum mau masuk range normal dan malah cenderung naik.

Meskipun itu bisa jadi indikator limfoma, tapi penyebabnya belum tentu itu, kata si om.
LDH level adalah indikator adanya kerusakan sel, dan di lembar laborat juga masuknya di panel jantung, jadi bisa saja menigkatnya itu karena ada masalah jantung. Apalagi mengingat dulu memang sempat ada masalah di situ kan.

Nah, di sini kadang saya merasa dilematis, apakah harus lega karena belum tentu limfoma, atau justru khawatir karena mungkin masalah jantung?

Tapi, kata si om lagi, bisa jadi juga karena pas periksa kemarin kondisinya lagi kurang bagus, alias masih flu.
Oh baiklah, mudah-mudahan memang itu deh dok.

Jadi, supaya jangan sampai kecolongan, bulan depan CT-Scan ya. Dan akhir tahun nanti pet-scan lagi.
Hiks, paling gak suka nih kegiatan scan men-scan ini. Tapi bagaimana lagi, baiklah..

Mungkin karena masih ada hal yang meragukan, atau karena supaya pasiennya tetep semangat dan memahami betul apa yang sudah dicapai sejauh ini, akhir-akhir ini setiap konsul om dokter selalu mengingatkan bahwa saat ini saya sedang diberikan nikmat yang sangat besar oleh Allah : nikmat hidup.

Katanya kemarin itu : Kamu ini betul2 seorang pemenang yang beruntung lho.
Wah, pemenang? Kapan perlombaannya?

Lalu si om tanya "Ingat nggak kapan pertama datang ke sini sebelum kemo? Awal 2013 kan? Sudah dua tahun lho itu."
Iya sih, dua tahun lebih sedikit. Lalu?

Kata si om, "Baru kali ini pasien saya yang kena limfoma sampai ke jantung bisa survive kayak gini. Yang sudah2, jangankan merencanakan kemoterapi, biasanya sih langsung tahlilan."
Huaa.. serem amat ih.

"Meskipun pada akhirnya yang menentukan sembuh atau tidaknya itu memang hanya Allah, tapi melihat kondisi kamu yang ringkih banget, betul-betul kejutan kamu bisa survive dan bisa kayak sekarang ini" (mudah-mudahan 'sekarang ini' maksudnya sembuh ya)

Tapi kalau dipikir-pikir, pantesan dulu pas masih kemo pak dokter beberapa kali tanya "Masih semangat kan nerusin ini?" (kemoterapi maksudnya).
Ternyata mungkin karena dari hitung2an tim dokter waktu itu, nggak terlalu banyak harapan untuk bisa mengalahkan limfoma atau bahkan survive melalui kerasnya proses kemoterapi.

Tapi atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Alhamdulillah sampai sekarang masih bisa berada di muka bumi ini sebagai seorang makhluk hidup.

Hmm.. Berarti harus terus mengingatkan diri untuk lebih banyak lagi bersyukur nih. Walaupun masih banyak pe er seperti terapi yang masih 3 kali lagi, atau CT scan yang setiap 6 bulan, atau pet scan yang setahun sekali, dan lain2, tapi masih bisa mengerjakan semua pe er itu artinya masih diberi kesempatan untuk hidup.

Jadi apapun yang terjadi ke depan, insyaAllah, mudah2an tetap bisa menyertainya dengan rasa syukur, karena sudah diberi bonus perpanjangan waktu.

Demikianlah update status kali ini, yang ternyata belum bisa move on dari soal yang itu-itu juga.

--------

Dan ini juga, sebelum pulang sempat tanya-tanya soal kenapa kok bapil nggak sembuh-sembuh. Rekomendasinya ya makan yang sehat, istirahat cukup, hindari sumber-sumber penyakit (lha sumbernya saya sendiri deh dok, bijimana pula ini menghindar dari diri sendiri?)

...


Kata om dokter : Daripada minum multivitamin, lebih baik banyak makan buah2an berwarna. Misalnya pepaya, jeruk, mangga.

Pepaya jarang disebut2 karena memang jarang di amrik sana, padahal banyak vitaminnya. Buktinya burung beo sehat2 tuh banyak makan pepaya (ih plis deh dok).

Kalau pisang dok?
Pisang itu yang berwarna kulitnya sih ya, tapi saya nggak menyarankan kamu makan kulit pisang lho *gubrak*

Yang bagus juga paprika tuh, hijau merah kuning oranye.
Sayur dong dok?
Itu kan kita yang menyebut aja. Tapi sebetulnya kalau di tanamannya dia itu apa? Buah kan?
Oh iya juga ya.

Durian juga sebetulnya bagus (wah cocok nih), tapi ya jangan banyak2. Sebab seperti halnya duit, makanan itu juga kalau berlebihan bisa menimbulkan penyakit.
Wah belum pernah tuh saya dok, berlebihan duit.
Nah itu dia, makanya kamu penyakitnya satu ini aja. Huehehe..
Hadeeeh... Iya deh dok. Aamiin.. Mudah2an udah satu ini aja, satu kali aja.

Trus pas keluar, wah gak berasa hampir satu jam di dalam tadi. Kata mbak2 kasir : jadi 560.000 rupiah mbak.
Alhamdulillah..
Baiklah, mari kita beli buah banyak2.

Senin, 29 Juni 2015

Keberatan judul

Kenapa lama nggak ngeblog?
Mungkin jawaban jujurnya sih karena malas mikir *hehe*
Jawaban agak jujur tapi berbau alasan-nya, kayaknya karena saya terlalu nekat memilih tagline blog ini, yang ternyata kok susah ya mempraktekannya sendiri.
Iya, bener yang itu. Hadapi hidup dengan gembira.
Hehe.. sok iye banget ternyata saya nulis begitu di header. Kayak yang saya bisa gitu menghadapi hidup ini dengan terus gembira :P

Yah, sebenernya sih bikin tagline itu bukan buat siapa-siapa juga sih. Itu buat saya sendiri, buat mengingatkan kalau hidup ini dihadapi dengan bagaimanapun jalannya ya bakalan begitu.
Jadi kenapa nggak menghadapinya dengan (berusaha) gembira, toh kegembiraan itu kita sendiri yang akan paling merasakan.
Gitu kira-kira.

Jadi ketika beberapa bulan terakhir ini Allah berkenan menitipkan ke saya sesuatu yang sebetulnya nggak bombastis-bombastis amat, yaitu batuk pilek alias flu dan radang tenggorokan, awalnya (Awal-nya sih sekarang kalau siang ada di lantai 4, if you know what who I mean *hihi*) saya (berusaha) gembira-gembira aja.
Lagipula toh memang ini salah satu efek samping si obat super mahal a.k.a mabthera itu, yaitu penurunan daya tahan tubuh. Nah loh, bagaimana ceritanya obat kok malah menurunkan daya tahan tubuh? Bagaimana mau melawan kanker kalau melawan flu aja gak ku ku?
Nah ini lain kali kita cerita2 deh (kalau nggak males dan kalau tetep gembira ya *hehe*)

Tapi kena bapil berbulan-bulan itu nggak lucu juga ternyata yaa.
Apalagi kalau batuknya sampai harus terjongkok-jongkok saking ngetrilnya. Apalagi kalau sampai demam berhari-hari dan nggak bisa makan, yang walhasil sukses menurunkan hampir 8 kilo berat badan yang sudah lumayan padat berisi waktu itu.

Nggak lucu juga ternyata, karena gara-gara 'sekedar' bapil ini saya sampai mondar-mandir ke spesialis THT, spesialis paru, spesialis onkologi, dan kesimpulannya adalah "banyak makan buah-buahan berwarna", "jaga kondisi, jangan sampai ketularan orang yang sakit flu", "nanti kalau sehat (sehat dari bapil maksudnya), segera vaksin flu ya, ini saya kasih resepnya".
Makan buah sih ok-ok aja. Gimana cara nggak ketularan itu yang susyee...

Dengan kata lain, untuk sementara ini kondisi yang naik turun seperti nilai tukar rupiah gelombang ini memang harus diterima sebagai kenyataan hidup. Dan seperti tagline di atas, mari kita hadapi dengan gembira.
Walaupun yaa.. agak sulit juga bergembira ketika batuk terbahak-bahak, eh itu tertawa ya.. kalau batuk apa dong ya.. Atau ketika dalam waktu seminggu tenaga yang tersedia cuma cukup untuk 3 hari, dan selebihnya harus hibernasi untuk mengisi baterai.

Nggak gembira itu bukannya terus bersedih hati dan bermuram durja terdiam seribu bahasa air matanya berlinang mas intan yang kau kenang juga yaa..
Cuma agak prihatin dan cemas aja sih.. dan nggak bisa dihindari juga, kadang suka gak yakin kalau si bapil ini betul-betul sekedar bapil. Mengingat semua kejadian yang menyebabkan ditulisnya blog ini dulu diawalinya kan dengan 'hanya sekedar batuk pilek' juga pun.
 
Dan satu lagi, it's an awkward condition for me. Sehat tapi nggak sehat. Baik tapi nggak juga. Agak sulit menjelaskan, terutama kalau ditanya gimana kabarnya?
Biasanya sih saya akan jawab dengan "Alhamdulillah baik..", karena saya asumsikan yang dimaksud dengan kabar itu adalah yang berhubungan dengan kanker dan kawan-kawan. Dalam hal itu sih saya berharap memang baik-baik saja.
Lha tapi katanya baik, kok absen melulu?
Nah itu dia.. saya juga heran dan kurang gembira dalam hal itu..

Makanya karena sedang kurang gembira itulah, jadi agak lama nggak nulis di sini (alasan).
Takut nggak bisa konsekuen dan malah jadi mengeluh. Ya.. seperti yang sekarang sedang dilakukan ini lah, hehe..

Eeeniweyyy.. demikianlah kiranya my excuses kali ini.

Oh ya, minggu-minggu ini saya ada pe-er dari dokter Aru, yaitu CT-scan.
Nah ini juga satu lagi hal yang agak susah untuk digembirai, hehee.. orang kalau mau mengeluh memang banyak aja ya bahannya.
Enggak sih, nggak mau mengeluh kok.
Mau minta didoakan aja, seperti biasa, supaya hasilnya bagus.
Dan supaya nggak takut ntar pas discan-nya.

Doakan aku yaa..  Love youuuu...

Kamis, 26 Februari 2015

Ketika "Bagaimana" mengalahkan "Kenapa"


Untuk orang yang tiba-tiba didiagnosis kanker (nggak tiba-tiba juga sih, wong nyarinya aja sampe berbulan2), mungkin pertanyaan yang paling menggoda untuk diajukan adalah kenapa, why, mengapa oh mengapa?
Bukan why me, tapi lebih ke kenapa bisa sampai kena kanker?
Apa penyebabnya?

Dan memang, itulah pada akhirnya salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang ketika menjenguk. (disamping kenapa kemo, kenapa operasi, kenapa nggak kesini, kenapa nggak ke situ, dan kenapa-kenapa yang lainnya).

Tapi ketahuilah sodara-sodaraku yang tercinta, bahwa sampai sekarang pun belum ada penelitian yang menemukan dan membuktikan dengan sohih, apa sebenarnya penyebab kanker ini.

Ada sih, beberapa kanker yang kemungkinan penyebabnya sudah diyakini, dan ditunjukkan juga dengan hasil penelitian, seperti misalnya hubungan erat kanker paru-paru dan rokok. Atau salah satu jenis lymphoma, yaitu Burkitt's Lymphoma versi endemik yang diduga kuat berhubungan dengan infeksi virus Epstein Barr (nah lho, keren kan, udah kayak omongannya Dr House belum nih, haha).

Akan tetapi kebanyakan jenis kanker (dan jenis kanker itu ada buanyaak.. bingits), belum diketahui penyebabnya sampai sekarang.

For me, alhamdulillah dari awal bu dokter onkologi paru yang pertama kali mendiagnosis kanker sudah menekankan bahwa : ini bukan karena gaya hidup.
Mungkin karena beliau ngeliat saya hidupnya nggak ada gaya-gayanya sama sekali waktu itu ya, huehue..

Tapi bener lho, kalau dipikir-pikir lagi, alangkah bijaksananya bu dokter ketika itu, yang pesan pertamanya setelah diagnosis awal itu adalah, bahwa kanker atau tumor yang di mediastinum ini (waktu itu masih belum jelas antara limfoma, tymoma atau jenis tumor lain), bukanlah karena gaya hidup.
Karena pesan bu dokter menjadi bekal saya di hari-hari selanjutnya yang makin berat dan menghimpit itu *taelah*

Kalau tidak karena pesan bu dokter, mungkin akan kumat narsis dan masochist saya, dan dengan ge-er-nya akan merasa bahwa saya sendirilah yang telah menyebabkan timbulnya kanker ini.
Oh, that thought crossed my mind sometimes, terlebih di saat lagi lelah-lelahnya kemo dan perasaan down, tapi kalau dokter aja udah bilang begitu, kenapa saya harus sok ge er?

Toh menurut para ahli pun, penyebab DLBCL alias diffuse large b cell lymphoma belum diketahui.

Lho tapi itu katanya junk food, begadang, polusi, alkohol, gaya hidup nggak sehat, itu menyebabkan kanker?

Lebih tepatnya sih bukan penyebab, tapi meningkatkan resiko terkena kanker.

Ibaratnya begini, orang yang naik kendaraan di jalan raya, memiliki resiko ketabrak motor/mobil/bus/truk lebih besar dibanding yang tinggal di rumah saja. Tapi apa pasti semua yang naik kendaraan akan kecelakaan?
Ya belum tentu.
Lalu kalau di rumah, apa ya mungkin ketabrak bus/truk/motor/mobil?
Bisa saja, kalo bisnya nyelonong nabrak rumah.

Dan bagi pengguna jalan, orang yang nyupirnya ugal-ugalan, suka ngebut, tentunya resiko kecelakaannya akan lebih besar dibanding yang enggak. Tapi apa semua yang suka ngebut akan kecelakaan? Tentu tidak.

Dan apakah yang tertib dan mengendara dengan baik sudah pasti nggak kecelakaan? Belum tentu juga.
Ada faktor lain di luar itu, seperti pengendara lain, jalan rusak, cuaca buruk, lampu jalan kurang terang, dan lain-lain. Faktor x, y, z, dan seterusnya.

Jadi, kalo dibalik, apakah semua orang yang kecelakaan lalu lintas itu pasti nyetirnya sembarangan? Belum tentu.

Demikian juga dengan kanker. Ada yang gaya hidupnya acak-acakan, tapi toh sampai tua nggak pernah kena kanker. Ada juga yang sehat, macam atlet dan orang-orang yang menjaga makannya dan hobi olahraga, toh kena kanker juga.
Pada akhirnya, yang menentukan kita kena atau tidak kena kanker itu adalah sesuatu yang kita nggak tau. It just happened.

Yang bisa dilakukan orang yang belum kena kanker, ya meminimalisir faktor resiko.
Yang bisa dilakukan orang yang sudah kena kanker, ya berobat.

Intinya, nggak ada gunanya pertanyaan "kenapa bisa kena" itu.
Karena ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu : bagaimana.
Bagaimana cara untuk melawannya. Meminimalisir, bahkan jika memungkinkan, tentunya menghilangkan sama sekali kanker yang kadung datang dan bercokol itu.

So please teman-teman yang sudah kadung sakit, stop blaming yourself for it. Let's just say we're the unlucky ones, and let's get on with the how.
This is a disease that we don't need to look back to find the reason.
Just look forward and be hopeful, that what we do today will bring us back to health.

And for everyone else, please, stop ask us why.
Because we don't have the answer.

Senin, 16 Februari 2015

Bagaimana mencerna informasi kanker di internet dengan sehat?

Satu dari banyak hal yang saya pelajari setelah sakit ini adalah (despite the diet I ought to follow) : we should take things said in the media with a pinch of salt.
Bukan hanya media yang nggak jelas otoritasnya, tapi juga yang sudah ternama, bahkan jika pun sudah disertai dengan 'pendapat para ahli'.
Apalagi sosial media, yang siapa saja boleh ngomong apa saja, share apa aja, dan komen apa aja, mungkin salt-nya nggak lagi a pinch tapi a handful. Asin, asin dah tuh.

In the world of cancer, one of the most mystified topic in medicine, you will easily find so many articles that sometimes seems too good to be true. And most of the time it is too good to be true.
Dan memang sebagai salah satu penyakit yang disebut paling mengerikan di dunia, paling mahal, serem, mematikan, dan lain-lain yang jelek-jelek, maka kanker adalah juga sebuah komoditi yang paling gampang 'dijual' sensasinya.

Artikel yang judulnya ada kanker-nya, akan mudah menarik perhatian, dan menuai share dan like. Apalagi kalau dibumbui dengan kata-kata yang bombastis semacam 'konspirasi dibalik obat kanker' atau 'mengobati kanker itu mudah', atau 'banyak belanja menyebabkan kanker' (iya sih, kanker = kantong kering). Atau ini nih, yang sempat lumayan banyak berseliweran di timeline : "Jengkol, obat kanker yang 1000x lebih kuat dari kemoterapi". Pasti sudah pernah liat kan? Atau malah pernah ikut nge-share, buat lucu2an barangkali?

Well, sebagai seorang yang hobinya surfing internet, dari dulu memang nggak pernah terlalu percaya sama yang begituan. Jadi kalau liat berita2 macam itu di internet, reaksi pertama adalah kroscek lagi ke internet. Atau kalau males (ini sih seringnya, males) ya diabaikan saja. Lagipula kan kanker itu sesuatu yang nggak terlalu urgent buat saya waktu itu, sesuatu yang -meminjam istilah yang lagi beken akhir2 ini- : bukan urusan saya.

Tapi lalu terjadilah yang telah terjadi itu, dan tiba-tiba, mm.. nggak tiba-tiba juga sih, kanker menjadi urusan saya banget. Urusan saya satu-satunya malah waktu itu.
Dan seperti yang pernah saya bilang, mekanisme pertahanan diri saya salah satunya adalah surfing (di internet tentunya), mencari informasi sebanyak yang saya bisa mengenai hal-hal yang saya takuti dan tidak saya fahami.

Reaksi dan pilihan masing-masing orang ketika dihadapkan pada suatu masalah sudah pasti berbeda. Tidak terkecuali untuk urusan penyakit. Ada orang yang justru takut mengetahui terlalu banyak soal penyakitnya, soal obat yang diminum dan efek sampingnya, soal kemungkinan sembuh atau tidaknya.

Dan itu sangat bisa difahami.

Ketika kita sakit, begitu banyak hal yang harus difikirkan, dikhawatirkan, mulai dari keluarga, pekerjaan, kemana harus berobat, pilih dokter yang mana, rumah sakit yang mana, pengobatan cara apa, medis atau alternatif, bahkan sebelum semua itu, menemukan apa penyakitnya pun kadang bukan perkara mudah. Dan itu semua harus dijalani dalam kondisi badan dan pikiran yang nggak jelas bentuknya. 
Jadi informasi tambahan yang macam-macam dan belum tentu sesuai dengan kondisi kita itu bisa jadi malah membuat makin terpuruk karena takut dan pesimis.

Tapi ada juga orang-orang yang justru lebih tenang kalau dibekali dengan banyak informasi. Lebih mantap berobat jika tahu apa sakitnya, apa obat yang dikonsumsi, apa kemungkinan efek sampingnya. Bahkan jika informasi yang didapat itu mungkin menakutkan.

Mungkin ibarat orang yang sendirian di rumah kosong yang gelap, semacam uji nyali gitu, lalu dia dihadapkan pada dua pilihan : cahaya lilin yang remang2, atau tutup mata saja, tanpa cahaya sama sekali.
Ada yang lebih berani dengan cahaya lilin yang remang-remang, tapi juga ada yang justru lebih memilih tutup mata saja, karena cahaya lilin yang remang itu justru memberi kesan yang lebih angker, dengan bayangan yang bergoyang2 seperti kelebatan2 penampakan.

Nah, tadi mau ngomong apa ya, kok jadi ngomongin uji nyali..

Oh iya, pinch of salt.

Jadi, waktu pertama mulai terasa sakit agak berat itu sebenernya sudah mulai browsing gila-gilaan. Setiap dapat hasil lab, hasil rontgen, hasil ct-scan, dapat resep, dapat diagnosis sementara, yang tentunya penuh dengan istilah yang asing dan baru, langsung cari di internet : benda apakah ini?

Dan memang iya sih, browsing2 gaya bebas begitu bisa jadi pengalaman yang mengerikan, apalagi kalau nggak mempersiapkan mental dulu sebelumnya.

Masih inget dulu salah satu istilah yang pertama dicari : Efusi pleura.
Pas baca itu kebetulan sedang di angkot menuju ke kantor, soalnya ambil hasil x-ray pagi-pagi sekalian ke lab yang kedua kalinya waktu itu. Sekitar seabad atau dua abad yang lalu lah.. (hiperbolik)
Trus karena nggak ada kerjaan di angkot itu (iya lah nggak ada kerjaan, wong saya bukan supir dan bukan kenek), dan juga karena penasaran, akhirnya browsing di hp. Langsung deh pengen nangis setelah tau apa itu, apa kemungkinan penyebabnya, dan bagaimana tindakan medisnya.
Segala rancangan data model yang mestinya dipikirin buat ntar di kantor langsung buyar nggak ada bekasnya. Data model? Apaan tuh? Pleural effusion nih.. :((

Oh ya sodara-sodara, sejak 2 bulan sebelum divonis tbc oleh dokter itu saya sempet mendiagnosis diri sendiri dengan bantuan internet, dan hasilnya memang cukup membuat gentar juga.. Dengan berdasarkan gejala-gejala yang dirasakan, dapet lah tuh dua kemungkinan : tbc atau limfoma.

Nah, ini sebenernya contoh yang sama sekali nggak disarankan ya.. istilah bule-nya "Please don't do this at home". Karena mendiagnosis diri sendiri pakai internet (apalagi pakai dukun, a total no no.. musyrik soalnya *heheh*) itu sok tahu dan berbahaya banget, apalagi kalau lalu kita pakai hasil diagnosis itu untuk mengobati diri sendiri. Ya kalo pas, kalo nggak pas kan gawat tuh.

Waktu itu nggak berani terlalu ge-er dan terlalu parno untuk mengira kena limfoma alias kanker walaupun gejalanya persis sama. Karena gejala limfoma, terutama yang menyerang mediastinum, kan mirip juga sama tbc. Dan tbc, walaupun nggak se-seram kanker, tapi menular. Jadi buah simalakama lah, nggak berani milih, dan akhirnya dilupakan saja dan menunggu hasil dari dokter sajalah.

Jadi intinya apa?
Ya nggak apa2. Walaupun berkali-kali kaget dan ngeri dengan hasil browsing, saya toh nggak kapok juga untuk terus nyari2 informasi di internet. Karena buat saya bayangan-bayangan yang seperti penampakan itu lebih mending daripada merem dan nggak liat apa-apa trus tiba-tiba dicolek aja gitu dari belakang.. hiii...
Dan memang saya orangnya hobi browsing sih, jadi yaa.. gitu deh..

Cuma sekarang jadi jauh lebih selektif aja browsingnya. Pilih sumber informasi yang terpercaya, dan yang penting sih seperlunya dan semampunya aja. Sesuai kebutuhan.

I admit, saya nggak selalu se-kritis itu kalau sedang browsing, karena kadang suasana hati memang perlu hiburan, perlu sesuatu yang membuat lebih optimis. Jadi ya, seperti saya bilang tadi, sesuai kebutuhan aja.

Ada waktunya saya browsing karena memang butuh informasi supaya lebih mantap waktu konsultasi ke dokter nantinya, ada juga waktunya saya browsing untuk mencari 'ketenangan batin'.
Kalau sedang cari informasi biasanya saya baca sebanyak-banyaknya, semampunya tentu saja.
Tapi kalau sekedar mencari ketenangan batin, ya saya pilih yang bagus-bagus aja, haha..

Trus batinnya jadi tenang nggak? 
Nggak selalu sih, kadang bisa tenang, tapi kadang malah tambah pusing, hehee..
Lagian sudah dikasih tau juga di Al-Qur'an : Alaa bidzikrillaahi tathma'innul quluub, Ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Jadi udah ngerti ya Fah, lain kali kalo pengen hati tenang baca Qur'an, dzikir, jangan baca internet, huehue *ngomong sama diri sendiri*

Jadi, kembali ke browsing tadi itu, meskipun sekarang banyak sekali informasi yang bisa kita dapatkan di internet, tapi tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Siapapun bisa memposting apapun di internet, jadi kita sebagai pengguna yang harus memasang 'ekstra filter' untuk bisa selamat mengarungi lautan informasi ini.

Aturan utama adalah : Waspadalah, waspadalah!

Informasi di internet bisa datang dari mana saja.
Banyak yang berniat baik dan benar-benar ingin menolong orang lain. Tapi karena siapapun bisa posting apapun, kadang secara nggak sengaja orang bisa menyebarkan informasi yang kurang tepat atau bahkan menyesatkan.
Banyak juga yang niatnya kurang baik, yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak-tidak.
Banyak juga yang niatnya sebetulnya baik tapi kurang tulus, misalnya tujuan utamanya jualan. Nah ini mungkin informasinya bisa bener, bisa juga nggak bener, tapi yang jelas kemungkinan bias atau nggak objektifnya besar. Lhawong niatnya aja jualan. Sebagaimana iklan kecap yang pasti nomer satu, maka sesuatu yang dijual biasanya juga dinomorsatukan.
Informasi dari penjual tentu nggak selalu salah. Kadang bisa juga bermanfaat, tapi mungkin bukan yang kita perlukan ketika mencari informasi mengenai penyakit kita.

Bagaimana memastikan informasi yang kita dapat itu bisa dipertanggungjawabkan?

Berikut ini ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan untuk memastikan keabsahan informasi yang kita dapatkan, khususnya dari internet:
oh ya, aslinya didapat dari sini

Siapa yang  mengelola/memiliki website-nya? Siapa yang mendanai?

Apakah situsnya dikelola oleh individu atau organisasi? organisasi apa? bisnis, lembaga pemerintah, atau organisasi nirlaba (non profit)?
Bagaimana mengetahuinya? Biasanya website yang bertanggungjawab akan mudah diketahui pemilik/pengelolanya. Diantaranya melalui halaman "About us"  atau "Tentang". Cara lainnya dari alamat website-nya. Biasanya di domainnya ada .edu, .com, .org, atau .gov. Bisa juga or.id, go.id, co.id, ac.id, dimana 2 huruf terakhir menunjukkan negaranya (dalam hal ini id = Indonesia).

Apa tujuan atau misi website tersebut?

Biasanya berkaitan dengan poin di atas (siapa yang mengelola dan mendanai situsnya). Website yang disponsori oleh penjual produk/obat tertentu, baik itu medis ataupun alternatif, bisa jadi informasinya akan kurang netral dan lebih mendukung produk yang dijualnya (tentunya).

Siapa audiens yang dituju oleh website tsb?

Apakah informasinya ditujukan untuk pasien/orang awam, atau petugas kesehatan? Ini berkaitan dengan bahasa/cara penyampaian. Biasanya situs yang ditujukan untuk pasien akan lebih mudah difahami daripada situs untuk petugas kesehatan.


Dari mana sumber informasi yang ada di situs itu? 

 - bisakah kita ketahui asal informasinya? berdasar fakta ilmiah atau pengalaman individu?

Pengalaman personal, atau biasa disebut testimonial, mungkin lebih mudah difahami dan lebih 'mengena' di hati, sehingga lebih terasa meyakinkan. Tapi perlu diingat, bahwa tidak selamanya sesuatu yang cocok untuk orang lain itu cocok juga untuk kita.
Terlebih untuk kanker, yang kita tahu bahwa penyakit ini sifatnya sangat individual. Artinya, dua orang dengan jenis kanker yang sama, belum tentu akan sama kondisinya. Apalagi kalau jenis kankernya beda.
Demikian juga reaksi obat/terapi pada satu orang, kemungkinan besar akan berbeda dengan orang yang lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi, diantaranya : jenis kankernya, grade-nya, stadiumnya, kondisi fisik pasiennya, komplikasi atau penyakit lain yang diderita, dan lain sebagainya.
Inilah mengapa konsultasi dengan dokter, berdasar data-data rekam medis yang lengkap, masih tetap diperlukan untuk pengambilan keputusan kita.

 - bisakah kita ketahui riset apa yang mendukung informasi tsb?

Situs yang baik biasanya akan mencantumkan referensi yang lengkap, berdasar jurnal/penelitian ilmiah yang dapat dipercaya.

 - apakah informasinya tampak bias, atau berat sebelah?

Informasi yang baik mestinya berimbang, menyampaikan kelebihan dan kekurangan terapi/obat/produk yang dijelaskan. Apa benefitnya, apa efek sampingnya, dll.

Apakah informasi di situs itu direview? Oleh siapa? Seberapa sering?

siapa yang menulis material di situs tsb, bagaimana kredibilitasnya? berbicara sesuai bidangnya tidak? dst.

Apakah informasinya up-to-date?

Perkembangan informasi di bidang kanker sangat dinamis, setiap hari mungkin ada hal baru yang muncul. Oleh karena itu perlu kita lihat, kapan terakhir informasi di situs tersebut diupdate?
Apakah masih relevan? Adakah informasi yang lebih baru mengenai hal yang sama?  

Bagaimana link-link situs lain yang ditampilkan website itu? 

Situs yang bertanggungjawab biasanya punya aturan mengenai link atau tautan yang ditampilkan. Apakah link-nya menuju ke situs yang terpercaya? Apakah link-nya ke situs sponsor/penjual produk/layanan kesehatan?

Nah, itu tadi beberapa hal yang bisa dijadikan panduan. Repot amat yak?
Yaa.. demikianlah.. namanya juga jaga-jaga, kan demi kebaikan kita sendiri juga. Jadi peselancar internet yang kritis dan smart, supaya kita nggak bingung dan terombang-ambing oleh informasi yang simpang siur. Dan jangan sampai keputusan kita justru merugikan atau malah berbahaya bagi diri kita sendiri.

Di samping hal-hal di atas, ada beberapa "tanda bahaya" atau warning sign, yang perlu diwaspadai (masih dari situs yang tadi) :

  • Klaim "terobosan ilmiah," "penyembuhan ajaib", "ramuan rahasia," atau "ramuan kuno".
    Atau yang sering kita dengar berkaitan dengan obat kanker adalah : 1000 (atau 100, 10.000, pokoknya angka fantastis lah) kali lebih ampuh dari doxorubicin/adriamicin.
    Secara pribadi, reaksi saya membaca kalimat semacam itu biasanya adalah : "are you kidding me?" Doxorubicin atau adriamicin ini adalah obat yang sangat keras dan beracun. Disebut sebagai obat yang bersifat sitotoksik dan kardiotoksik, alias merusak/meracuni sel dan merusak/meracuni jantung.
    Karena efeknya kumulatif, ada batas maksimal seseorang dapat menerima obat ini, dengan dosis yang harus diukur dengan sangat hati-hati, disesuaikan dengan berat badan dan kondisi fisik pasien.
    Akibat obat ini, banyak kasus dimana orang yang sakit kanker akhirnya bisa sembuh, tapi lalu meninggal karena kerusakan jantung.
    Pak dokter AWS dulu pernah bilang, untuk kondisi fisik dan dosis yang saya terima, maksimum adalah 8 kali seumur hidup. Bahkan akhirnya saya tidak jadi menjalani radiasi karena kondisi jantung tidak memungkinkan.
    Jadi, kalau efek samping dikali 1 aja sedemikian kuat, bagaimana lagi 100, 1000, atau 10.000 kali-nya?
     
  • Klaim bahwa sebuah produk dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, semacam produk sapu jagat gitu deh (sejauh ini secara ilmiah belum ditemukan produk semacam ini).
     
  • Cerita orang yang sudah merasakan hasil yang luar biasa, tetapi tidak ada data ilmiah yang jelas
     
  • Klaim bahwa produk tersedia hanya dari satu sumber, terutama jika Anda harus membayar di muka.
     
  • Klaim "jaminan uang kembali" (Meskipun hal ini mungkin membuat produk tampak tidak beresiko, seringkali tidak mungkin untuk benar-benar mendapatkan uang Anda kembali. Belum lagi nanti efek samping yang mungkin kadung kita derita.)
     
  • Website yang tidak mencantumkan nama perusahaan, alamat, nomor telepon, dan informasi lainnya.
Dan sekali lagi yang perlu diingat, yaitu : informasi dari internet tidak boleh dipakai untuk menggantikan konsultasi dengan dokter. Sebagai pelengkap, sarana kroscek, bisa, tapi tetap, berobat ya ke dokter, bukan ke google.


Memutuskan jenis pengobatan kanker memang bukan sesuatu yang mudah. Menjalaninya apalagi. Kadang kita sudah tidak punya tenaga dan energi lagi untuk memikirkan yang aneh-aneh macam begini. Jangankan surfing dan browsing, mikir hari ini bakalan bisa makan atau enggak, hari ini bakalan demam lagi atau enggak, bakalan perlu ke lab lagi atau enggak, bakalan perlu ke UGD atau enggak, dan seterusnya. Itu saja sudah menyita tenaga kita, lahir batin.
Oleh karena itu kalau lagi ada tenaga, dan mungkin pengen cari-cari tambahan info, sebaiknya kita betul-betul hati-hati menyaringnya.
Kalau pusing, mending nggak usah dipikirkan, just stick to the one you most confident about. Bismillah saja, kalau bingung banget ya tanya pak atau bu dokter yang berwenang.
Jalani selangkah demi selangkah aja, nggak usah dipikirkan yang susah-susah. Ingat2 aja kalau setiap hari yang kita jalani, setiap butir obat yang kita minum, setiap terapi yang kita lakukan insyaAllah berarti selangkah lebih dekat kepada kesembuhan.


Dan buat yang sehat, yang mungkin menjenguk kerabat atau teman yang sakit kanker, please be careful and considerate. Sebelum merekomendasikan atau menyarankan produk/terapi tertentu, ada baiknya kita cek dan croscek dulu, supaya niat baik kita itu tidak malah menambah kebingungan si sakit dan pendamping2nya.


Kamis, 29 Januari 2015

Put things into perspective

Hello world!

Laporan lagi kitah. Setelah tertunda 1 bulan akibat batuk dan radang tenggorokan, alhamdulillah terapi ke 16 sudah berhasil dilaksanakan dengan baik.

Hasil lab masih kurang oke, karena lagi-lagi LDH belum mau masuk jangkauan normal, tapi alhamdulillah LED sudah. Akhirnya untuk berjaga-jaga dokter AWS meminta untuk cek darah sebulan sekali, dari jadwal semula yang dua bulan sekali.

Waktu kontrol itu dokter bilang bahwa di luar LDH level yang masih suka ngeyel, secara keseluruhan kondisi pasiennya sudah melampaui perkiraan tim dokter. Wah, pasiennya pun secara refleks bertanya (boong ding, bertanya kan bukan termasuk gerak refleks) "Memangnya perkiraan dokter bagaimana dok?"

Kata pak AWS, dokter memperkirakan limfomanya akan sulit ditaklukkan mengingat letaknya yang ekstranodal alias tidak saja di dalam kelenjar getah bening, tapi juga di luar. Dan kondisi pasiennya waktu itu pun cukup memprihatinkan dengan berbagai macam komplikasi diantaranya pleural dan pericardial effusion atau cairan di selubung paru-paru dan jantung. Belum lagi di tengah proses sempat ada penundaan cukup lama akibat herpes. 
Dengan kata lain, sepertinya para dokter waktu itu tidak memperkirakan pasiennya akan survive.
Waktu itu sih dokter AWS nggak dengan gamblang bilang begitu, tapi secara tersirat saja.
Intinya, meskipun tetap harus terus waspada, tapi tidak boleh lupa bersyukur dan optimis, karena yang dicapai sekarang ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Beberapa waktu lalu kebetulan saya juga kembali diingatkan bahwa saya sangat beruntung bisa melalui krisis kanker dan terapinya itu, setelah mendengar kabar bahwa seorang teman meninggal ketika menjalani kemoterapi untuk limfoma. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun.

Sebetulnya limfoma atau kanker kelenjar getah bening ini termasuk kanker yang tingkat kesembuhannya tinggi. Asalkan ditangani dengan baik dan segera tentunya.
Karena limfoma ini kankernya berupa kanker darah yang sifatnya menyebar ke seluruh tubuh, maka pengobatan utamanya juga sifatnya menyeluruh, yaitu dengan kemoterapi.
Dan setiap pengobatan itu tidak ada yang tidak beresiko, termasuk juga kemoterapi ini. walaupun tingkat keberhasilannya tinggi, tapi tetap saja ada kemungkinan something went wrong.
Ada yang berhasil, ada juga yang tidak.

And I know that I was so lucky that despite all the wrong things that happened to me, in the end everything went right. Atas kehendak Allah tentunya.

Kembali ke laporan kegiatan dua hari ini, Alhamdulillah kali ini prosesnya lancar, dan kali ini ada adik tercinta yang menemani.

Berangkat jam 10 pagi dari rumah, ke YKI untuk beli mabthera,
sampai di rs sekitar jam 12, langsung dapat kamar dengan posisi bed di samping jendela.

Jam 1 sudah rapi di kamar, dan sekitar jam 17.30 sudah mulai.
Oh ya, karena sampai sekarang masih sering sesak nafas dan berdebar2, maka kali ini dijadwalkan juga echo jantung. Dan hasilnya, alhamdulillah baik.

Obat tidak perlu diminum setiap saat, cuma bilamana perlu saja.
I guess I just have to be nice to my body and my heart.

Jam 19.30 pak dokter AWS berkunjung, dan kali ini beliau kembali mengatakan bahwa I've been doing exceptionally fine. Bahwa mengingat kondisi waktu masih jadi penghuni tempat tidur sebelah selama sebulan itu (pak dokter masih ingat rupanya, kalau dulu 'kontrakan' saya di 312 bed 3), pastilah saya mendapatkan bantuan dari Yang di Atas.
Dan setelah selesai memeriksa, beliau mengatakan sesuatu yang membuat saya cukup merinding, yaitu : "Apapun yang terjadi ke depannya, sejauh ini kamu sudah bagus sekali. Di atas kertas, you shouldn't even be here right now .."

Sebetulnya selama ini pikiran seperti itu sering juga terlintas di kepala, dan saya merasa bahwa hidup yang saya miliki kali ini adalah 'bonus' dari Allah. Sebuah perpanjangan waktu.
Tapi mendengar dokter AWS mengatakan hal yang sama seolah menjadi sebuah konfirmasi bahwa memang hal itu yang terjadi. Bahwa apapun yang nantinya terjadi, apakah akan berhasil melalui milestone 5 tahun dengan kesembuhan, atau entah apa, tidak perlu terlalu takut, dan jangan sampai lupa kalau yang didapat saat ini sebetulnya adalah sebuah hadiah dari Allah.
 
Dan tugas saya sebagai pihak yang diberi hadiah, ya berusaha selalu ingat untuk berterima kasih. Be brave and be thankful, karena Allah Maha Baik. He helped you through it, jadi yakin saja kalau insyaAllah pertolongan Allah itu dekat..

Terimakasih pak dokter, karena sudah  mengingatkan kembali..

I really need that, because with all the pain, worry, loneliness, and even with the excitement, boredom and disappointment in the everyday life, it's so easy to lose that perspective

Kamis, 01 Januari 2015

Late post di awal tahun

Desember udah habis, berarti waktunya ganti kalender.
Berarti sudah dua tahun lebih sejak pertama kali mulai sakit dan mengejar-ngejar diagnosis dulu.
Dua tahun yang seperti masih kemarin.

Tapi kalau dibayangkan, rasanya seperti masih nggak percaya.
Seperti mimpi.
Seperti baca cerpen atau novel yang formulanya standar, di mana tokoh utamanya biasanya kena kanker, lalu dia berjuang dan nggak nangis, sementara orang-orang yang melihat justru nggak tega, lalu dia kemo, lalu dia sembuh.
Cuma bedanya di cerita yang ini tokohnya nggak se-heroik itu, karena sempat pada suatu masa dia tiap hari kerjanya mewek di kamar mandi.

I got cancer.
Rasanya masih seperti kalimat yang mengada-ada, lhawong biasanya saya ini sagitarius kok, bukan cancer.
Tapi sayangnya.. ini memang kenyataan, bukan novel dan nggak mengada-ada. Seperti yang mbak desy ratnasari bilang :
"Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Airmata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini
"
Eh, sori.. kepanjangan quote-nya. Tolong 3 baris terakhir abaikan saja *lhaa.. banyakan yang diabaikan yak*

Itu kalau cuma dibayangkan.
Kalau cuma dibayangkan, rasa-rasanya juga gak percaya bisa menjalani dan melewati masa-masa yang seperti mimpi buruk itu, dan masih bisa ngeblog sampai saat ini.
Itu kalau cuma dibayangkan.
Tapi kalau kita terlanjur 'kecebur' di dalamnya, maka nggak ada waktu lagi untuk membayang-bayangkan.
Dan memang betul yang orang bilang, bahwa manusia itu kalau kepepet bisa melakukan hal-hal yang dia nggak nyangka bisa dilakukan. Seperti misalnya cerita orang yang dikejar anjing, tiba-tiba bisa lompat pagar atau manjat pohon, padahal dalam kondisi nggak kepepet, jangankan manjat pohon, pakai sepatu hak tinggi aja mungkin dia udah ngerasa pusing karena ketinggian *halah berlebihan*

Karena pada dasarnya Allah itu memberikan ujian pasti lengkap dengan kunci jawabannya. Kalau kita diberi cobaan, insyaAllah sebetulnya kita sudah dibekali dengan senjatanya. Cuma kadang kita yang nggak sadar kalau kita punya senjata itu.
Baru sadar begitu kepepet situasi dan harus bertindak tanpa ada pilihan lain, seperti cerita superhero yang tadinya nggak tau kekuatannya, dan tiba-tiba di saat genting.. jejeng! Tau-tau bisa keluar jaring laba2 dari tangannya.

Ya kira-kira begitulah.
Intinya sih, alhamdulillah hasil pet-scan bulan lalu itu tidak menunjukkan aktifitas limfoma, alias kankernya tidak lagi terdeteksi dengan pet-scan.
Nah, sembuh dong?
Kalau bahasa awamnya mungkin begitu.
Lho, terus, kok adem2 aja?
Oh jangan khawatir, I've been dancing in my mind and celebrating. Dan tentunya rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah yang memberikan kesempatan untuk terus menghirup udara di  bumi ini dan berusaha memperbaiki diri. And thank you everybody, for your support and well wishes. Sepertinya doa-doa yang kalian panjatkan diijabah Allah. Jazaakumullah khair..

Tapi pas kontrol kemarin pak dokter nggak mau bilang begitu.
Soalnya kebetulan (nggak betul juga sih sebenernya), sudah hampir lima minggu terakhir ini batuk berat. Waktu kontrol itu bahkan sampai berhari-hari nggak bisa tidur.
Sering sesak napas, demam, dan setiap malam berkeringat banyak.
Dulu waktu mulai sakit salah empat gejalanya seperti itu.
And on top of that, my LED and LDH level was elevated, setelah 2 bulan sebelumnya masuk range normal. Ini juga salah dua gejala lainnya waktu sakit yang dulu itu.
Wah, lampu kuning nih.

Pak dokter sering bilang, yang namanya kanker itu kan sel yang bermutasi, jadi kalau sekarang nggak keliatan di scan, belum tentu sudah nggak ada sama sekali. Bisa jadi di tingkat sel masih ada tapi nggak aktif.
Dan kalaupun sudah tidak ada, seseorang biasanya baru dinyatakan sembuh kalau selama 5 tahun sudah tidak ada tanda-tanda aktifitas kanker atau istilahnya remisi, atau NED (no evidence of disease).

Jadi kesimpulannya apa?
Kesimpulannya immunotherapy mabthera-nya ditunda dulu 1 bulan.
Karena mabthera ini salah satu efeknya menurunkan kekebalan tubuh, sehingga kalau kondisinya nggak bagus begini ya jangan dulu.

Lho, kan sudah bagus hasil pet-scannya, kok masih mabthera?
Kata si bapak, SOP atau prosedur standar internasional untuk pengobatan limfoma yang model ini sekarang memang imunokemoterapi ditambah 2 tahun terapi lanjutan dengan rituximab a.k.a mabthera.

Sementara ini, minum antibiotik dulu, ditambah fluimucil dan teosal untuk sesak nafasnya.
Dan pak dokter wanti-wanti untuk memantau gejala2 yang mencurigakan, baik itu mengarah ke kanker atau masalah jantung, dan jangan ragu-ragu untuk sms kalau ada apa-apa. Satu bulan lagi, semoga sudah sehat, cek darah untuk melihat kawan2 kita om Led dan tante Ldh, apakah sudah baik lagi atau belum.
Oh baiklah. Mari kita lanjutkan ikhtiar dan doa-nya.

Eh tapi tetep kok, di akhir perjumpaan itu, pas pak dokter mengantar sampai ke pintu (kebiasaan si bapak yang saya perhatiin adalah selalu mengantar pasiennya sampai ke pintu dan membukakan pintunya untuk kita, such a gentleman) beliau bilang bahwa menggembirakan sekali melihat hasil pet-scan yang sudah bersih itu.
Alhamdulillah..

So that's my good news to start the year, tetep mohon doanya supaya tetap baik dan selalu semangat. Sekali lagi, Alhamdulillah, it's been an extraordinary year, thank you everybody, for being part of it..