Kamis, 26 Februari 2015

Ketika "Bagaimana" mengalahkan "Kenapa"


Untuk orang yang tiba-tiba didiagnosis kanker (nggak tiba-tiba juga sih, wong nyarinya aja sampe berbulan2), mungkin pertanyaan yang paling menggoda untuk diajukan adalah kenapa, why, mengapa oh mengapa?
Bukan why me, tapi lebih ke kenapa bisa sampai kena kanker?
Apa penyebabnya?

Dan memang, itulah pada akhirnya salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang ketika menjenguk. (disamping kenapa kemo, kenapa operasi, kenapa nggak kesini, kenapa nggak ke situ, dan kenapa-kenapa yang lainnya).

Tapi ketahuilah sodara-sodaraku yang tercinta, bahwa sampai sekarang pun belum ada penelitian yang menemukan dan membuktikan dengan sohih, apa sebenarnya penyebab kanker ini.

Ada sih, beberapa kanker yang kemungkinan penyebabnya sudah diyakini, dan ditunjukkan juga dengan hasil penelitian, seperti misalnya hubungan erat kanker paru-paru dan rokok. Atau salah satu jenis lymphoma, yaitu Burkitt's Lymphoma versi endemik yang diduga kuat berhubungan dengan infeksi virus Epstein Barr (nah lho, keren kan, udah kayak omongannya Dr House belum nih, haha).

Akan tetapi kebanyakan jenis kanker (dan jenis kanker itu ada buanyaak.. bingits), belum diketahui penyebabnya sampai sekarang.

For me, alhamdulillah dari awal bu dokter onkologi paru yang pertama kali mendiagnosis kanker sudah menekankan bahwa : ini bukan karena gaya hidup.
Mungkin karena beliau ngeliat saya hidupnya nggak ada gaya-gayanya sama sekali waktu itu ya, huehue..

Tapi bener lho, kalau dipikir-pikir lagi, alangkah bijaksananya bu dokter ketika itu, yang pesan pertamanya setelah diagnosis awal itu adalah, bahwa kanker atau tumor yang di mediastinum ini (waktu itu masih belum jelas antara limfoma, tymoma atau jenis tumor lain), bukanlah karena gaya hidup.
Karena pesan bu dokter menjadi bekal saya di hari-hari selanjutnya yang makin berat dan menghimpit itu *taelah*

Kalau tidak karena pesan bu dokter, mungkin akan kumat narsis dan masochist saya, dan dengan ge-er-nya akan merasa bahwa saya sendirilah yang telah menyebabkan timbulnya kanker ini.
Oh, that thought crossed my mind sometimes, terlebih di saat lagi lelah-lelahnya kemo dan perasaan down, tapi kalau dokter aja udah bilang begitu, kenapa saya harus sok ge er?

Toh menurut para ahli pun, penyebab DLBCL alias diffuse large b cell lymphoma belum diketahui.

Lho tapi itu katanya junk food, begadang, polusi, alkohol, gaya hidup nggak sehat, itu menyebabkan kanker?

Lebih tepatnya sih bukan penyebab, tapi meningkatkan resiko terkena kanker.

Ibaratnya begini, orang yang naik kendaraan di jalan raya, memiliki resiko ketabrak motor/mobil/bus/truk lebih besar dibanding yang tinggal di rumah saja. Tapi apa pasti semua yang naik kendaraan akan kecelakaan?
Ya belum tentu.
Lalu kalau di rumah, apa ya mungkin ketabrak bus/truk/motor/mobil?
Bisa saja, kalo bisnya nyelonong nabrak rumah.

Dan bagi pengguna jalan, orang yang nyupirnya ugal-ugalan, suka ngebut, tentunya resiko kecelakaannya akan lebih besar dibanding yang enggak. Tapi apa semua yang suka ngebut akan kecelakaan? Tentu tidak.

Dan apakah yang tertib dan mengendara dengan baik sudah pasti nggak kecelakaan? Belum tentu juga.
Ada faktor lain di luar itu, seperti pengendara lain, jalan rusak, cuaca buruk, lampu jalan kurang terang, dan lain-lain. Faktor x, y, z, dan seterusnya.

Jadi, kalo dibalik, apakah semua orang yang kecelakaan lalu lintas itu pasti nyetirnya sembarangan? Belum tentu.

Demikian juga dengan kanker. Ada yang gaya hidupnya acak-acakan, tapi toh sampai tua nggak pernah kena kanker. Ada juga yang sehat, macam atlet dan orang-orang yang menjaga makannya dan hobi olahraga, toh kena kanker juga.
Pada akhirnya, yang menentukan kita kena atau tidak kena kanker itu adalah sesuatu yang kita nggak tau. It just happened.

Yang bisa dilakukan orang yang belum kena kanker, ya meminimalisir faktor resiko.
Yang bisa dilakukan orang yang sudah kena kanker, ya berobat.

Intinya, nggak ada gunanya pertanyaan "kenapa bisa kena" itu.
Karena ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu : bagaimana.
Bagaimana cara untuk melawannya. Meminimalisir, bahkan jika memungkinkan, tentunya menghilangkan sama sekali kanker yang kadung datang dan bercokol itu.

So please teman-teman yang sudah kadung sakit, stop blaming yourself for it. Let's just say we're the unlucky ones, and let's get on with the how.
This is a disease that we don't need to look back to find the reason.
Just look forward and be hopeful, that what we do today will bring us back to health.

And for everyone else, please, stop ask us why.
Because we don't have the answer.

3 komentar:

  1. Urfah semangat ya....engkau selalu berusaha menularkan semangat......GBU Urfah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mbak widi, mudah-mudahan tetep semangat juga ya, sehat ataupun sakit, insyaAllah selalu ada kemudahan dalam setiap kesulitan. GBU mbak Widi.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus