Setelah hari Ahad sukses melakukan penampilan perdana di muka khalayak ramai, dua hari berikutnya malah tumbang dengan sukses.
Mungkin karena memang sisa capek hari minggu, dan bertepatan juga dengan tanggal nadir + waktunya steroid withdrawal. Rasanya? Hmm... lezat.. Alhamdulillah..
Terus terang sempet agak kecewa juga sih kemarin, kok cuma segitu doang udah gak kuat. Belum lagi juga sempet khawatir, jangan-jangan karena memaksakan diri jadi kenapa-kenapa.
Tapi dengan dua hari downtime, alhamdulillah level energi pelan-pelan bisa balik lagi. Tapi level konsentrasi enggak, alias mau nulis nggak jadi-jadi.
Memang kalau lagi sakit yang rada ruwet kayak begini ini, salah satu hal yang agak tricky adalah bagaimana memanage rasa khawatir, dan bagaimana untuk tetep optimis dengan segala perkembangan dan penurunan kondisi. Apalagi memang sudah diperkirakan kalau efek terapi obat itu pasti sedikit banyak akan ada akumulasinya. Tapi tetep aja ya.. namanya manusia, emosinya naik turun, optimismenya juga naik turun.
Oh ya, sebelum dimulai lagi lanjutan ceritanya, dikasih latar belakang dulu (ehehe.. kebiasaan, kapan mulainya kalo flashback dan latar belakang mulu :P)
Jadiii... cerita ini kejadiannya dimulai sekitar 5 bulan yang lalu, waktu masih proses kejar-kejaran diagnosis. Alhamdulillah sekitar akhir maret yang lalu akhirnya ketemu juga culprit-nya, yaitu si penyakit yang bikin tebak-tebakan ala Hamlet : tb or not tb : that is the question itu. Dan alhamdulillah sejak itu resmi memasuki tahap pengobatan. Doakan ya teman-teman, mudah-mudahan pengobatannya lancar tidak ada kendala yang berarti, dan tentunya semoga terapinya berhasil dan oknum penyakit itu bisa dihilangkan dari muka bumi ini untuk tak kembali lagi.
Okedeh kakak, mari dilanjutkan ya..
Dua hari setelah 2nd opinion itu ternyata kondisi makin memburuk, akhirnya ke dokter lagi. Kali ini dokter yang biasa lagi gak praktek, daftarlah ke dokter sebelahnya (ruangan prakteknya sebelahan maksudnya), namanya dokter Eva Sridiana. Alhamdulillah dokter yang ini lebih komunikatif dan sabar.
Setelah periksa-periksa rutin, tanya jawab seputar kesehatan (ya iyalah, masa seputar resep masakan), disuruh foto lagi, karena dari terakhir sedot cairan memang belum pernah foto. Hasilnya bikin pengen nangis, karena paru-paru kiri gambar kabutnya makin banyak, yang berarti cairannya balik lagi with a vengeance, gak mau kalah sama John McClane.
Oh ya, saat itu kira-kira 4 minggu sesudah thoracentesis pertama.
Mau nggak mau, suka nggak suka, terpaksa harus menjalani lagi.
Pas awal-awal ke dokter ini, sayangnya, fokus utama tetep alergi obat, karena melihat diagnosis dokter sebelumnya sudah positif TBC, tapi obat nggak bisa masuk. Jadi sambil memperbaiki kondisi, obat2an yang bikin alergi ini harus dicari dulu.
Seperti sudah dibahas di volume sebelumnya, obat TB yang diresepkan adalah rimstar, yang isinya 'oplosan' obat TB yang empat jenis itu. Nah, karena kalau minum yang 4 in 1 itu jadi gak tau mana yang bikin alergi, akhirnya dokter membuat 'program test obat'.
Obat yang 4 itu diberikan dalam bentuk terpisah-pisah. Tapi karena efek alerginya masih berat, terutama gatal dan mual, pasiennya minta waktu untuk menghilangkan efek alergi obat yang kemarin. Maksudnya supaya lebih jelas, reaksi alergi yang dirasa itu sisa minum obat yang kemarin atau karena tes obat yang sekarang.
Sebenernya sih alasan utama karena capek banget yaa..
Berhari-hari nyaris nggak tidur sama sekali, nggak makan sama sekali..
Oh ya, program test obat ini dilakukan dengan cara mengkonsumsi satu demi satu obat yang 4 jenis itu. Urutannya sesuai prioritas : batch 1 isoniazid, batch 2 rifampicin, 3 pyrazinamid, terakhir ethambutol.
- Start batch 1 : kalau hari pertama alergi, hari berikutnya dosis diturunkan sampai reaksi alerginya bisa ditolerir.
- Kalau hari berikutnya masih alergi, diturunkan lagi dosisinya.
- Kalau sudah turun minimal tapi tetap nggak kuat, stop dan beralih ke batch selanjutnya. Berarti obatnya nggak bisa diminum.
- Kalau nggak ada reaksi alergi atau setelah diturunkan alerginya hilang, stop juga dan beralih ke batch selanjutnya, berarti obat ini bisa diminum dengan dosis terakhir.
Singkat kata singkat cerita, test alergi obat berjalan dengan tidak sukses. Ternyata yang membuat alergi paling berat adalah Isoniazid. Alergi terberat kedua, Rifampicin. Padahal kedua obat itu bisa dibilang obat utamanya. Dokternya pusing, pasiennya apalagi.
Tapi menurut bu dokter, akhir-akhir ini memang entah kenapa (maksudnya belum diketahui sebab persisnya gitu) makin banyak orang yang alergi terhadap obat-obatan TB, adahal dulu tidak terlalu sering ditemui kasus alergi seperti ini.
Karena INH sudah tidak mungkin dikonsumsi, maka dokter meresepkan obat lini kedua sebagai pelengkap, yaitu streptomicyn, yang sialnya harus diberikan dengan cara injeksi di pantat setiap hari sekali. Ouch!
Tapi ya itu tadi, test obat tetap tidak sukses, karena tampaknya pasien yang malang ini alergi juga sama streptomycin. Hiks..
Akhirnya streptomycin distop juga setelah satu minggu.
Waktu dilakukan thoracentesis kedua, bu dokter menemukan ada keanehan. Ketika pasiennya lapor bahwa hasil MCU terakhir masih 'bagus', Bu dokter minta foto hasil mcu dibawa karena beliau curiga sesuatu.
Sementara urusan alergi ini belum tuntas, dokter mereview juga foto ronsen terakhir dibanding foto yang masih 'sehat'. Oh ya, mungkin ini salah satu kesalahan pasiennya juga pas pertama foto di RSUD dulu, yaitu nggak menyertakan foto ronsen terakhir dari manapun itu dapatnya. Sebetulnya foto terakhir itu penting banget untuk dokter radiologi melakukan analisa dan perbandingan dengan foto yang akan dibuat.
So lain kali kalau mau ronsen, jangan lupa bawa hasil foto sebelumnya.
Dari hasil review, dokter bilang begini : 'Maaf ya mbak, tapi sepertinya ini ada sesuatu'
Haduh, mendengar dokter minta maaf begitu langsung hati mencelos.
This can't be good.
Ada dua kemungkinan kata bu dokter, yaitu kelainan jantung atau massa di paru-paru.
Dokter merekomendasikan untuk CT-Scan, dan selanjutnya konsul ke spesialis jantung kalau memang kelainannya di jantung.
Alhamdulillah beliau tidak cuma merekomendasikan untuk ct scan, tapi juga dimana dan siapa dokternya. Walaupun beliau praktk di rsud pasar rebo, beliau justru tidak menyarankan untuk ct scan di sana, mengingat (menurut bu dokter nih ya) analisis radiologinya kurang oke, tapi beliau menyarankan ke RSU Persahabatan, dan memberikan nama dokter radiologi yang menurut beliau bagus.
Bismillah, kali ini kembali ke RSP dengan arahan yang lebih jelas.
Dan mulailah perjalanan panjang tahap kedua dalam rangka si unyil mengejar diagnosis..