Kamis, 30 Mei 2013

TB or not TB, vol 4

Niatnya update blog dari kemarin, apa daya situasi dan kondisi tiada memungkinkan.
Setelah hari Ahad sukses melakukan penampilan perdana di muka khalayak ramai, dua hari berikutnya malah tumbang dengan sukses.
Mungkin karena memang sisa capek hari minggu, dan bertepatan juga dengan tanggal nadir + waktunya steroid withdrawal. Rasanya? Hmm... lezat.. Alhamdulillah..

Terus terang sempet agak kecewa juga sih kemarin, kok cuma segitu doang udah gak kuat. Belum lagi juga sempet khawatir, jangan-jangan karena memaksakan diri jadi kenapa-kenapa.
Tapi dengan dua hari downtime, alhamdulillah level energi pelan-pelan bisa balik lagi. Tapi level konsentrasi enggak, alias mau nulis nggak jadi-jadi. 

Memang kalau lagi sakit yang rada ruwet kayak begini ini, salah satu hal yang agak tricky adalah bagaimana memanage rasa khawatir, dan bagaimana untuk tetep optimis dengan segala perkembangan dan penurunan kondisi. Apalagi memang sudah diperkirakan kalau efek terapi obat itu pasti sedikit banyak akan ada akumulasinya. Tapi tetep aja ya.. namanya manusia, emosinya naik turun, optimismenya juga naik turun.

Oh ya, sebelum dimulai lagi lanjutan ceritanya, dikasih latar belakang dulu (ehehe.. kebiasaan, kapan mulainya kalo flashback dan latar belakang mulu :P)

Jadiii...  cerita ini kejadiannya dimulai sekitar 5 bulan yang lalu, waktu masih proses kejar-kejaran diagnosis. Alhamdulillah sekitar akhir maret yang lalu akhirnya ketemu juga culprit-nya, yaitu si penyakit yang bikin tebak-tebakan ala Hamlet : tb or not tb : that is the question itu. Dan alhamdulillah sejak itu resmi memasuki tahap pengobatan. Doakan ya teman-teman, mudah-mudahan pengobatannya lancar tidak ada kendala yang berarti, dan tentunya semoga terapinya berhasil dan oknum penyakit itu bisa dihilangkan dari muka bumi ini untuk tak kembali lagi.

Okedeh kakak, mari dilanjutkan ya..

Dua hari setelah 2nd opinion itu ternyata kondisi makin memburuk, akhirnya ke dokter lagi. Kali ini dokter yang biasa lagi gak praktek, daftarlah ke dokter sebelahnya (ruangan prakteknya sebelahan maksudnya), namanya dokter Eva Sridiana. Alhamdulillah dokter yang ini lebih komunikatif dan sabar.

Setelah periksa-periksa rutin, tanya jawab seputar kesehatan (ya iyalah, masa seputar resep masakan), disuruh foto lagi, karena dari terakhir sedot cairan memang belum pernah foto. Hasilnya bikin pengen nangis, karena paru-paru kiri gambar kabutnya makin banyak, yang berarti cairannya balik lagi with a vengeance, gak mau kalah sama John McClane.

Oh ya, saat itu kira-kira 4 minggu sesudah thoracentesis pertama.
Mau nggak mau, suka nggak suka, terpaksa harus menjalani lagi.

Pas awal-awal ke dokter ini, sayangnya, fokus utama tetep alergi obat, karena melihat diagnosis dokter sebelumnya sudah positif TBC, tapi obat nggak bisa masuk. Jadi sambil memperbaiki kondisi, obat2an yang bikin alergi ini harus dicari dulu.

Seperti sudah dibahas di volume sebelumnya, obat TB yang diresepkan adalah rimstar, yang isinya 'oplosan' obat TB yang empat jenis itu. Nah, karena kalau minum yang 4 in 1 itu jadi gak tau mana yang bikin alergi, akhirnya dokter membuat 'program test obat'.

Obat yang 4 itu diberikan dalam bentuk terpisah-pisah. Tapi karena efek alerginya masih berat, terutama gatal dan mual, pasiennya minta waktu untuk menghilangkan efek alergi obat yang kemarin. Maksudnya supaya lebih jelas, reaksi alergi yang dirasa itu sisa minum obat yang kemarin atau karena tes obat yang sekarang.

Sebenernya sih alasan utama karena capek banget yaa..
Berhari-hari nyaris nggak tidur sama sekali, nggak makan sama sekali..

Oh ya, program test obat ini dilakukan dengan cara mengkonsumsi satu demi satu obat yang 4 jenis itu. Urutannya sesuai prioritas : batch 1 isoniazid, batch 2 rifampicin, 3 pyrazinamid, terakhir ethambutol.
  • Start batch 1 : kalau hari pertama alergi, hari berikutnya dosis diturunkan sampai reaksi alerginya bisa ditolerir. 
  • Kalau hari berikutnya masih alergi, diturunkan lagi dosisinya. 
    • Kalau sudah turun minimal tapi tetap nggak kuat, stop dan beralih ke batch selanjutnya. Berarti obatnya nggak bisa diminum.
    • Kalau nggak ada reaksi alergi atau setelah diturunkan alerginya hilang, stop juga dan beralih ke batch selanjutnya, berarti obat ini bisa diminum dengan dosis terakhir. 
Begitu terus sampai 4 obat itu dites semua.

Singkat kata singkat cerita, test alergi obat berjalan dengan tidak sukses. Ternyata yang membuat alergi paling berat adalah Isoniazid. Alergi terberat kedua, Rifampicin. Padahal kedua obat itu bisa dibilang obat utamanya. Dokternya pusing, pasiennya apalagi.
Tapi menurut bu dokter, akhir-akhir ini memang entah kenapa (maksudnya belum diketahui sebab persisnya gitu) makin banyak orang yang alergi terhadap obat-obatan TB, adahal dulu tidak terlalu sering ditemui kasus alergi seperti ini.

Karena INH sudah tidak mungkin dikonsumsi, maka dokter meresepkan obat lini kedua sebagai pelengkap, yaitu streptomicyn, yang sialnya harus diberikan dengan cara injeksi di pantat setiap hari sekali. Ouch!
Tapi ya itu tadi, test obat tetap tidak sukses, karena tampaknya pasien yang malang ini alergi juga sama streptomycin. Hiks..
Akhirnya streptomycin distop juga setelah satu minggu.

Waktu dilakukan thoracentesis kedua, bu dokter menemukan ada keanehan. Ketika pasiennya lapor bahwa hasil MCU terakhir masih 'bagus', Bu dokter minta foto hasil mcu dibawa karena beliau curiga sesuatu.

Sementara urusan alergi ini belum tuntas, dokter mereview juga foto ronsen terakhir dibanding foto yang masih 'sehat'. Oh ya, mungkin ini salah satu kesalahan pasiennya juga pas pertama foto di RSUD dulu, yaitu nggak menyertakan foto ronsen terakhir dari manapun itu dapatnya. Sebetulnya foto terakhir itu penting banget untuk dokter radiologi melakukan analisa dan perbandingan dengan foto yang akan dibuat.
So lain kali kalau mau ronsen, jangan lupa bawa hasil foto sebelumnya.


Dari hasil review, dokter bilang begini : 'Maaf ya mbak, tapi sepertinya ini ada sesuatu'
Haduh, mendengar dokter minta maaf begitu langsung hati mencelos.
This can't be good.
Ada dua kemungkinan kata bu dokter, yaitu kelainan jantung atau massa di paru-paru.
Dokter merekomendasikan untuk CT-Scan, dan selanjutnya konsul ke spesialis jantung kalau memang kelainannya di jantung.

Alhamdulillah beliau tidak cuma merekomendasikan untuk ct scan, tapi juga dimana dan siapa dokternya. Walaupun beliau praktk di rsud pasar rebo, beliau justru tidak menyarankan untuk ct scan di sana, mengingat (menurut bu dokter nih ya) analisis radiologinya kurang oke, tapi beliau menyarankan ke RSU Persahabatan, dan memberikan nama dokter radiologi yang menurut beliau bagus.


Bismillah, kali ini kembali ke RSP dengan arahan yang lebih jelas.
Dan mulailah perjalanan panjang tahap kedua dalam rangka si unyil mengejar diagnosis..

Jumat, 24 Mei 2013

Sejenak melihat ke dalam

Sebetulnya selama ini sedang bergelut dengan sebuah pertimbangan. Hayah, kesannya kok serius amat yak..
Tapi serius kok, sambil ngeblog gak jelas kesana kemari kayak gini, ada sebuah keputusan yang sedang dipertimbangkan, yaitu : to disclose or to hide.

Maknyutnyaa ituuu... (bacanya pake intonasi mendiang asmuni) adalah : seberapa banyak dari perjalanan dan perjuangan menuju kesehatan ini yang mau diceritakan?
Seberapa detail?
Am I disclosing so much?
Will I regret it later?

Kok aneh. Telat banget.
Udah ngeblog panjang-panjang kok masih bingung mau cerita apa enggak.

Begitulah.
I'm a weirdo and can't do much about it.
And like I always say to people around me, I'm also a private person. I tend to keep things to myself as long as i can.
(Dan hebatnya, salah satu dokter yang pernah ditemui dulu pun bilang gitu. Tau aja si ibu ih)

Itu satu sisi.

Di sisi lain, being in all of this I really need to vent my feeling. And being too private is getting so lonely lately. Setelah nggak beredar selama 5 bulan, mungkin ada juga perasaan kangen untuk gaul lagi di masyarakat (halah istilahnya).

Di sisi yang lain lagi, trial and error, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan, dan setelah segala jatuh bangun yang dirasakan selama beberapa bulan ini, rasanya kok mubadzir banget kalau nggak di-share. Walaupun ilmu masih cetek, setidaknya dari yang ditulis ini mudah-mudahan orang lain bisa belajar sedikit lah. Supaya kalau misalnya harus menghadapi hal serupa (mudah2an sih jangan sampe lah ya) nggak culun2 amat dan nggak sesat2 amat.

Tapi kembali lagi. Apa iya bakal bermanfaat?
Atau jangan-jangan nanti pada akhirnya cuma akan ngotor-ngotorin cyberspace aja (maap nih lagi suka berlebihan) dan membuat diri sendiri keliatan tambah aneh (as if it's possible).
Tapi itu pun masih mending sebenernya. Lha kalau nggak manfaat tapi malah tambah menyesatkan?

So it's past midnight, suppose to be sleeping but typing nonsense instead.
That's the weirdo acting i guess
And the weirdo saying good night to you all.. hoping that tomorrow she'll be able to decide

Kamis, 23 Mei 2013

Here we go, TB or not TB, vol. 3

Hari kedua setelah terapi ke 3.
Alhamdulillah terapi-nya lancar, efek samping minimal, mudah2an efek positifnya maksimal.

Ada waktu beberapa hari sebelum leukosit terjun bebas lagi akibat efek immunosuppresan si obat-obatan terapi. Sebetulnya prosesnya udah mulai sih sejak obatnya masuk, tapi seperti yang disebut di entry kemarin, titik nadir adanya di 7-10 hari.

Btw, mumpung masih semangat di-boosting sama steroid, lanjutin cerbungnya dulu. Bentar.. sampai mana ya kemarin? Oh ya, sampai mulai berobat deh.

Karena ceritanya puanjang, kita bikin sesingkat mungkin aja, supaya gak sampai bervolume-volume kek kaset si unyil ratapan anak tiri.

Flesbek sedikit ya..

Nah lo, begimana mau singkat inihh, belum apa2 udah ada flashbacknya.. haha.. sorry guys, sepertinya ini akan jadi cerita yang berlarut-larut, so bear with me or you're welcome to click another link when you feel like it :)

Seperti lirik lagu jaman 80-an (lupa sapa yang nyanyi) : Mulanya biasa saja..

Awalnya batuk-batuk berulang sampai 2 bulan lebih. Nggak terus-menerus sih. Sakit, sembuh, ketemu orang sakit, ketularan, sembuh lagi, ketularan lagi.. dst. Cuma lama kelamaan berasa kalau sakit yang ke n terasa lebih berat daripada sakit ke n-1, dan sakit ke n+1 lebih berat daripada sakit ke n. Halah, maksudnya setiap kali kambuh sakitnya terasa lebih berat gitu.

Masuk ke bulan kedua nggak tahan, akhirnya yang selama ini nggak pernah mau kalau disuruh ke dokter, berangkat lah sendiri ke dokter. Kali ini dokter umum dekat rumah aja, wong sakitnya juga 'cuma' batuk pilek. Dokter bilang asma bronkhitis. Setelah satu putaran minum obat, alhamdulillah sembuh.

Tapi nggak bertahan lama, seminggu kemudian setelah ketemu orang yang sakit flu, langsung besoknya demam. Demamnya nggak cuma panas dingin tapi juga tulang ngilu semua dari ujung rambut ke ujung kaki. Bohong ding, mana ada rambut bisa ngerasa. Tapi tau lah apa yang dimaksud..
Oh ya, waktu itu mulai terasa ada benjolan di leher. Tepatnya di atas tulang belikat.

Wah, rada panik juga.

Akhirnya balik ke dokter umum yang kemarin, laporan segala keluhan :
  • sesak napas -> oh, ini karena dahaknya nggak mau keluar nih
  • saya asma dok -> tapi nggak bunyi ini napasnya, berarti ringan ya
  • ini ada benjolan di leher dok -> ah, biasa itu kan karena lagi infeksi
Karena dokternya santey kek di pantey begitu, yaudin dibiarin aja. Dokternya kembali ngasih obat yang sama dengan dua minggu yang lalu.

Masuk bulan ke 3, demam makin sering, dan sesak napas makin menjadi. Biasanya istirahat, minum parasetamol, banyak2 minum dan makan, maksimal 2 hari dah ilang panasnya. Tapi yang ini enggak. Malah ditambah sesak napas yang makin menjadi, sampai-sampai jalan kaki sebentar aja ulu hati sakit kayak kita habis lari keliling lapangan bola. Oh ya, tidur juga udah mulai gak bisa miring, karena dada sebelah kiri sakit kayak keseleo, kadang tangan kiri sampai nggak kuat dipakai kerja keras (halah, kayak yang biasa kerja keras aja, hehe). Tanya sana sini, katanya nyeri dada itu biasa kalo kita sesak napas karena asma, mestinya kalau sesak napasnya ilang, nyerinya ilang juga.

Karena makin lama kok makin berasa kayak nenek-nenek, jalan dikit aja langsung kehabisan napas, akhirnya memutuskan untuk periksa ke spesialis paru di RSUD pasar rebo.

Pertama kali nih, periksa ke RS sendiri seumur-umur, sempet bingung juga. Apalagi kebetulan KJS lagi hot-hotnya, belum lagi perbedaan praktek dokter pagi dan sore yang musti pake ktp dki, pengantar puskesmas, dsb.
Tapi soal ini nanti dibahas di lain entry aja deh.

Intinya, periksa ke dokter paru langsung diomelin:
  • Ini asmanya udah parah nih, kenapa nggak kesini dari dulu? Lha, kirain spesialis paru cuma buat yang udah cengap2 (istilah kak sena nih) atau yang paru2nya kenapa2. 
  • Ini benjolannya udah agak besar nih, kenapa dibiarin aja? Lha, lagi2 karena dokter umum yang didatengin bilang gak pa2, jadi ya santey aja. Eh, dokternya tambah protes : itu dokter apa yang bilang gak pa2 begitu? Hadeeh…
Sesudah itu disuruh tes spirometri. Biasanya setiap tengah tahun MCU rutin dari kantor ada juga tes beginian, dan sukses dengan skor 80%-90%. Kali ini skornya dibawah sekitar 42-43%.
Dokternya kasih wejangan2 lagi.. katanya asma mestinya bisa di-manage, supaya kualitas hidup baik dan nggak sampai ada kerusakan permanen. Weh iya sih, secara teori emang begitu, tapi kirain itu untuk yang udah berat aja. Baiklah, lain kali akan diperhatikan..

Dari hasil periksa yang pertama itu, dikasih obat untuk infeksi dan asma, dan disuruh periksa lab (darah dan sputum, untuk mendeteksi tbc) dan ronsen.

Besoknya ambil hasil ronsen dan menyerahkan sampel ke lab. Pas di jalan iseng-iseng baca, langsung shock berat : pleural effusion di paru kiri. Langsung seharian gak konsen kerja. Sehari sesudahnya ambil hasil lab, ternyata tes darah dan tes sputum negatif TBC.

Oh ya, waktu itu deket-deket ulangtahun kalau gak salah, awal desember gitu. Catet yaaa, siapin kado buat awal desember ntar, hehe..
Eniweiii... Kebayang kan ngenesnya? Orang lain ulang tahun dapet kado bagus-bagus, I got myself a pleural effusion.

Sesudah hasil lab keluar, dilakukan biopsi kelenjar dengan cara FNAB alias fine needle aspiration biopsy, atau biopsi jarum halus (BJH) untuk me-rule out keganasan alias tumor dan cek TB lagi.
Proses biopsi dengan cara FNAB ini biasanya dilakukan untuk benjolan yang dekat dengan permukaan kulit. Sebagaimana tercermin dari namanya, dokter akan menggunakan jarum halus untuk mengambil/menyedot sedikit jaringan yang dicurigai abnormalitasnya, lalu jaringannya dikirim ke lab untuk diperiksa (tentunya). Oh ya, biaya BJH atau biopsi jarum di RSUD pasar rebo waktu itu kalo gak salah sekitar 300 ribu, mungkin karena periksa sore ya.

Sebetulnya efektifitas metode ini untuk deteksi tumor jauh dibawah biopsi dengan bedah terbuka, karena mungkin saja jaringan yang abnormal gak keambil alias kelewat, karena yang diambil memang cuma sedikit. Tapi karena resikonya yang bisa dibilang hampir tidak ada alias aman dan prosedurnya yang praktis, maka metode ini tetap banyak digunakan untuk deteksi awal kanker.

Hasil lab menunjukkan nggak ada keganasan, dan negatif dari sisi kuman TB. Alhamdulillah..
Tapi ini berarti proses mengejar diagnosis masih belum selesai.

Sementara itu untuk mengatasi pleural effusion yang makin berat, dilakukan punksi pleura atau thorachenthesis yaitu menyedot cairan pleura yang berlebih itu. Biayanya di RSUD pasar rebo sekitar 500 ribu untuk umum, nggak pake kjs maksudnya.

image courtesy of www.hopkinsmedicine.org
Caranya? Pasien duduk sambil mengangkat satu tangan di bagian yang akan di-punksi itu ke atas kepala. Jadi kalau yang disedot sebelah kiri, tangan kiri diangkat melingkari kepala memegang telinga kanan. Sedangkan tangan kanan biasanya dikasih pegangan bantal buat dikruwes-kruwes, mana tau nanti berasa nyeri pas ditusuknya. Oh ya, cairannya dikeluarkan dengan membuat 'lubang' di punggung, lalu dipasang selang dan.. voila! cairannya keluar dan ditampung di botol deh tuh..

 
Ngeri gak sih ? Iya dong..
Sakit? Iya lah..
Sesudah mengalami thoracentesis yang pertama itu rencananya nggak akan ngulang lagi. Kapok. Little did I know what was in store for me then. Sesudah yang itu masih harus mengalami setidaknya 6 kali lagi prosedur yang sama, dan diakhiri dengan pasang selang yang nggak dilepas sampai satu setengah bulan. But I digress..

Kembali ke diagnosis, cairan pleura itu sebagian juga dikirim ke lab patologi dan sitologi, untuk (lagi-lagi) mendeteksi tb dan abnormalitas.

Hasil lab (lagi-lagi) negatif, jadi sampai sejauh ini (kurang lebih hampir 4 minggu sejak periksa pertama), masih belum ada kesimpulan pasti. Lega karena sejauh ini nggak ketemu penyakit aneh-aneh, nggak lega karena penyakitnya nggak ketemu-ketemu *nah loh apasih maunya?*

Ketemu dokternya lagi, dokter langsung meresepkan obat TB.
Hah? Kok bisa? Kan hasil lab-nya negatif terus?
Kata dokternya waktu itu, karena walaupun hasil lab negatif tb, tapi dari gejala-gejalanya dokter menyimpulkan bahwa pasiennya positif kena TB. Dan memang banyak kasus yang begitu. Kayak bukan TB tapi iya.
Oh ya?
Haduh, pasiennya sebenernya masih gak rela didiagnosis TB, karena nggak ada bukti hitam di atas putih (padahal kalo di foto ronsen indikasi tb malah putih di atas hitam yak, hehe..)

Tapi karena dokternya bilang begitu, yasudahlah.. kita minum obatnya deh. Oh ya, obatnya waktu itu adalah Rimstar yang ternyata isinya adalah 4 obat lini pertama untuk TBC, yaitu (urutan menunjukkan prioritas) :
Biasanya penderita TB diberikan 4 obat itu selama 2 bulan pertama, lalu dilanjutkan dengan INH + RMP untuk 4 bulan berikutnya, atau sampai 7 bulan untuk TB kelenjar dengan pertimbangan tb kelenjar lebih sulit dites kesembuhannya.

Obat ini diberikan ke penderita sesuai dengan berat badannya. Waktu itu kebagian minum 3 kali sehari 4 kaplet yang gede2 itu. Karena obatnya lumayan gede, jadi minumnya butuh banyak air. Kebayang deh kembungnya.


Oh ya, obat TB dibagi menjadi 2 jenis (atau 3 kalau lini ketiga dimasukkan), yaitu lini pertama dan kedua. Yang pertama untuk kasus biasa, yang kedua untuk kasus TB yang bakterinya resistan. Biasanya akibat pasiennya bandel dan tidak menuntaskan pengobatan ketika pertama kali didiagnosis TB.
Begitu dah ngerasa enak langsung setop minum obat, soalnya obat-obatan TB ini memang efek sampingnya nggak enak sih. Mual, muntah, sering buang air kecil, dsb.
Mana minumnya harus rutin, obatnya banyak, dan jangka panjang lagi. Jadi pantas kalau banyak yang putus di jalan.

Sebetulnya sebuah obat dimasukkan ke lini kedua alasannya ada beberapa, yaitu : karena kurang efektif dibanding obat lini 1, efek sampingnya lebih beracun, atau karena sulit didapat di banyak negara sehingga harganya jadi mahal. Makanya sebisa mungkin obat lini pertama yang digunakan lebih dulu.

Kembali lagi ke pasien yang gak rela tadi, setelah doi minum obatnya selama dua minggu.. eh lha kok ndilalahnya.. muncul reaksi-reaksi yang tidak diharapkan alias alergi. Mulai gatal-gatal hebat, mual muntah nggak berhenti-berhenti, berdebar-debar, dan macam-macam yang nggak jelas.

Langsung balik lagi ke dokter. Kata dokter stop dulu minum obatnya.

Pasien yang gak rela ini berdasarkan saran dari sana sini lalu mencari 2nd opinion ke RS Persahabatan yang notabene rumah sakit pusat respirasi nasional. Betul sih, kalau liat di website-nya aja, dokter spesialis paru di RSP sampai ada 28 orang. Permasalahannya, nggak tau dokter mana yang musti dituju karena nggak punya rekomendasi, jadi cap cip cup aja, alias mana aja yang lagi praktek waktu itu.

Ketemulah dengan seorang dokter senior citizen alias sudah agak lanjut usia. Pak dokter yang profesor ini sebenernya sempat curiga sama bejolan di leher yang nggak mengecil-mengecil walaupun dah dikasih obat, dan kenapa diraba terasa keras.
Tapi setelah melihat hasil lab dari FNAB di RSUD, dokternya cenderung mengikuti hasil diagnosis dokter pertama. Intinya sarannya adalah gimana caranya obat TB itu harus bisa dikonsumsi dengan meminimalisir efek sampingnya. Akhirnya pulanglah pasien yang gak rela ini dengan hati yang tetep nggak rela.

Sudah menjelang maghrib, kita break dulu.. nanti insya Allah dilanjutkan dengan volume ke 4 kisah si unyil mengejar diagnosis..

Jumat, 17 Mei 2013

Kesan pertama begitu menggoda.. selanjutnya..?

Seminggu terakhir ini susah banget menyetel pikiran dan hati buat ngeblog. Padahal sesudah kontrol ke dokter hematologi yang ternyata gak hemat-hemat amat itu rencananya pengen cerita banyak. Apa daya, steroid boost-nya udah mulai habis dan sisanya adalah seonggok orang loyo yang gak boleh kemana-mana sama dokternya.
Sebenernya sih itu alasan aja sih. Intinya orangnya emang lagi gak konsen ngeblog, hiks..

Oh ya, kontrol minggu lalu itu adalah yang pertama sebagai pasien rawat jalan. Sebelumnya ketemu Pak Dokter AWS ini selalu pas rawat inap. Pertemuan pertama dulu itu kesannya udah agak remang-remang, disamping karena waktu itu lampu kamar udah pada dimatiin, juga karena pasien dan yang nunggu udah tidur kecapekan setelah seharian banyak acara. Sebagai inpo, waktu pak dokter beserta dayangnya dateng ke kamar itu jam henpon menunjukkan jam 3 dinihari. Gak inget lagi apa yang waktu itu si bapak bilang, soalnya bener-bener teler abis. Yang jelas penampakannya cukup mengejutkan mengingat postur yang tinggi besar dan kepala botak.

Kontrol kemarin daftar 10 hari sebelumnya, dapat antrian ke 8. Petugas bagian pendaftaran wanti2 supaya hari H-nya nanti konfirm dulu jam berapa kira2 antrian ke 8 itu, mengingat biasanya pasien konsultasinya cukup lama. Makanya selesai praktek bisa sampe pagi kayak pengalaman rawat inap waktu itu. Singkat cerita, pas hari H ada tamu tak diundang tapi diharapkan, yaitu Nyah Juragan Kepiting, yang disertai dengan mobil kantor lengkap dengan Om Reri. Rencananya mau ngedrop rempeyek dan kawan2, lalu sekalian jemput kalau jadwalnya agak sorean.
Everybody, makasih yaaa...

Sorenya abis maghrib tilpun ke RS buat konfirm, kata mbak2nya 'sekitar jam 8'. Wah, langsung cabut aja lah, takut macet, mengingat lalu lintas Jakarta yang nggak bisa diprediksi kapan nggak macetnya. Kalau macetnya sih udah hampir pasti ya.

Sampai di tkp, jam setengah 8 malam, dokternya belum tampak. Yaudin makan dulu di kape depan ruang pak dokter, sambil ngeledekin mas-mas waiternya, karena kita orangnya emang begitu, haha..
Jam 20.30 pak dokter mulai eksyen, hitung2 durasi pasien-pasien yang duluan masuk, wah.. lama juga ya. Masing-masing berkisar 15-40 menit. Ya, secara kasarnya aja, karena kita mahluk kasar dan bukan mahluk halus, per pasien 20 menit lah.
Jadi kurleb kita akan masuk jam 11-an malem. Fiuh.
Tapi nunggu 3.5 jam jadi berasa gak gitu lama setelah ngobrol sama pasien sebelah, karena doi kebagian antrian nomer 20an. Wuidih..

Sesuai perkiraan, jam 23 dapet panggilan. The good news is, setelah tanya jawab dan periksa sana sini, pak dokter bilang kalo doi sebenernya lumayan surprise karena efek terapi yang dirasain gak gitu parah. Awalnya pak dokter sempet ragu2 ngasih obat secara lengkap karena waktu itu kesannya ringkih banget, terutama masalah paru2 yang kolaps total dan jantung yang sempet mau jebol dua kali gara2 aminophillin.
Istilah dokter, ternyata cabe rawit juga, kecil2 kuat.
Nah, beberapa bulan yang lalu, sebelum terjadi defisit 17 kilo ini, kayaknya nggak mungkin deh ada yang bakalan ngasih julukan 'cabe rawit', lebih mungkin sih cabe ijo atau cabe merah besar :P
Dengan melihat dua sesi terapi yang udah dijalani ini, dan efek yang cukup positif, pak dokter optimis kalau ke depannya mudah2an lancar juga.

The not so good news, entah karena pasiennya ngaku mendeteksi abnormalitas di tempat yang dulu gak terdeteksi atau memang dari awalnya udah direncanakan begitu, terapi yang tadinya dijadwalkan sekitar 6-8 putaran, jadinya dijatah 8-9 sesi. Waktu liat pasiennya rada kaget dan agak kecewa denger angkanya, pak dokter langsung tanya 'Masih semangat kan?'
Wah, kalo ditanya masih semangat pengen sembuh, ya masih lah dok. Cemungudh!

The next not so good news adalah, hasil cek darah menunjukkan leukosit ngedrop. Yang mestinya antara 3600 - 11000, cuma dapet 1200. Pak dokter sempet hampir meresepkan obat suntik buat meningkatkan leukosit, tapi sebelumnya pernah browsing2 dan nemu kalo obat ini nyuntiknya dengan cara subcutaneous alias di bawah kulit. Huaa... perih aja ngebayanginnyaaa
Obat ini masuk golongan G-CSF alias granulocyte colony stimulating factor, atawa obat yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah putih.
Sebelumnya udah sempet browsing2 juga dan nemu kalau memang di hari ke 7 sampai 10 sesudah terapi, pasien memang mungkin akan mengalami yang namanya titik nadir. Yaitu titik dimana blood count akan drop di titik terendah. Ada kalanya nanti akan bisa naik sendiri kalau kondisi pasien bagus, gak ada infeksi dan asupan energinya bagus.
Cuma yang dikhawatirkan memang selama drop itu kena infeksi, bakalan gawat karena tubuh gak punya cukup amunisi untuk melawannya.

Berbekal pengetahuan yang alakadarnya, dan rasa takut disuntik yang gak alakadarnya, hehe.. langsung nawar deh : kalau dibiarin aja bisa gak dok nanti naik sendiri gitu?
Alhamdulillah kata pak dokter, dulu sebelum adanya obat gcsf itu, biasanya pasiennya juga disuruh banyak istirahat dan makan yang bergizi aja. Cuma syaratnya harus bisa mengisolasi diri dengan baik. Bukan dengan selotip, lakban dan sebangsanya, tapi dengan cara jangan pergi2 dulu, kalau terima tamu pakailah masker, dan rajinlah menjaga kebersihan, termasuk cuci tangan setiap habis ngapa2in dan sebelum makan.

Keluar dari ruang dokter jam 23.30, berarti konsultasinya 30 menit. Standar lah. Secara keseluruhan pak dokternya cukup hepi melihat progres dua kali terapi ini, dan berharap supaya ke depannya akan lancar dan progresnya tetep baik. Dari situ gak ada jadwal kontrol dan tes lagi, tapi langsung dikasih resep dan pengantar untuk terapi yang ketiga nanti. Yaitu senin tanggal 20 ini, hiks.. cepet aja yaa..
Memang benar kata orang, time flies when we're having fun, heheh.. yeah right..

Intinya, perjalanan masih jauh, masih mungkin ada naik turun.. tapi jangan khawatir, tetep semangat dan berdoa, semoga tetep lancar, gak ada hambatan yang berarti, dan berakhir dengan bahagia yaitu 'sembuh' selamanya. Sementara itu dalam perjalanannya, tetap bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan, semoga makin banyak lagi kemudahan yang kita terima ke depannya.

Loh, tapi kok.. mana part 3 TB or not TB-nya? Ah, itu.. hehe.. nanti2 deh ya.. ini ngeblognya aja udah 3 hari gak selesai-selesai gara-gara ngetik beberapa kalimat terus ketiduran mulu :D

Kamis, 09 Mei 2013

TB or not TB, part deux

Mungkin akibat efek steroid yang masih beredar di metabolisme, jadinya terpaksa kembali ke kodrat semula jadi manusia kalong, alias kalau malam melek dan siangnya ngantuk terus.

Eh iya, steroid disini bukan anabolic steroid yang dipakai buat bikin badan ala ade rai gitu yaa..

Jadi jangan dibayangkan kalao ntar masuk kantor penampilan bakalan kekar membahana dengan sepir yang menonjol kesana kemari, badan bak segitiga kebalik dan perut enam kotak pas.

Yang dipake ini jenis cortico steroid, lebih spesifiknya prednisone, yang salah satu efeknya justru bikin muka bulet, kaki dan tangan geda2 kek ibu hamil, dan muscle tone alias otot ngilang semua, ganti jadi air gak jelas gitu.

Tapi nda apa2, orang bilang, steroid yang cortico ini adalah 'unsung hero' dari rangkaian terapi obat, karena doi tugasnya adalah mendukung obat2an utama yang bertugas membunuh penyakitnya, dan meminimalisir efek samping dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh obat2an utama itu.
Jadi, lepas dari segala efek negatipnya itu, i embrace you gladly.. my beautiful steroid.. *sok dramatis*

Baiklah, kembali ke topik yang ditinggal ngantuk kemarin, yaitu diagnosis TB yang ternyata bukan TB itu, setelah banyak ngobrol sama orang (iyalah masa sama tiang listrik), ternyata kasus 'dikira TB tapi bukan' ini lumayan banyak kejadian. Mungkin tetep nggak sebanyak kasus 'TB tapi dikira bukan'sih *haha.. mulai deh*

Gejala TB, yang diantaranya :
  • Batuk berkepanjangan, seberapa panjang? kalo menurut mayoclinic.com, batuk 3 minggu, apalagi lebih, sudah harus waspada
  • Demam berulang, kadang2 nggak terlalu tinggi, jadi kayak meriang2 gitu deh
  • Kelelahan
  • Penurunan berat badan yang lumayan drastis
  • Keringat malam, bukan cuma gerah2 gitu, tapi biasanya sampai harus ganti baju karena basah kuyup
  • Menggigil atau panas dingin
  • Hilang nafsu makan

ternyata bisa juga jadi gejala penyakit lain.
(Penyakit apa ajakah ituu? Hmm.. kasi tau gak yaaaa... :D )

Cuma, karena memang penyakit yang umum adanya di negara kita tercinta ini adalah TB, maka kebanyakan dokter akan lebih cenderung mendiagnosis sebagai TB. Until proven otherwise.

Sayangnya, until proven otherwise-nya itu kadang2 nggak kejadian, atau kejadian tapi sudah terlambat.

Oh ya, biasanya untuk mendeteksi TB or not TB itu dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

Periksa napas pake stetoskop, raba kelenjar getah bening, terutama yang di sekitar leher, kalau2 ada pembengkakan akibat infeksi

Soal pembengkakan kelenjar ini sebenernya sebabnya juga macem2, tapi yang perlu diinget adalah, pembengkakan kelenjar karena infeksi biasanya ada rasa nyeri kalau ditekan, dan kelenjar yang bengkak itu cenderung lunak. Kalau enggak, maka ada kemungkinan bukan infeksi, dan tentunya perlu diperiksa lebih lanjut. Indikasi lain, biasanya kalau bengkak karena infeksi, setelah diberikan obat (biasanya antibiotik), benjolannya akan mengecil dan bahkan hilang. Kalau enggak, maka ada kemungkinan bukan infeksi, dan tentunya perlu diperiksa lebih lanjut *kopipes yang di atas*

Tes kulit atau biasa disebut tes mantoux
Tes ini menyuntikkan sedikit protein tuberculin ke kulit. Setelah 48-72 jam bekasnya dilihat apakah ada benjolan kecil berwarna merah atau enggak. Sayangnya hasil tes ini nggak selalu bisa mengindikasikan orang kena TB atau bukan. Untuk orang yang udah pernah divaksin BCG, testnya bisa positif, dan untuk orang yang kena infeksi TB tapi antibodinya belum kebentuk, hasilnya malah bisa negatip (pake pe).

X-rays atawa poto rongsen
Biasanya kalau dokter curiga tbc-nya tbc paru (soalnya tbc kan bisa dimana aja yak, ga cuman di paru doangan), maka dokter akan menyuruh kita untuk foto paru2, untuk melihat apakah ada kelainan di paru akibat kuman TB itu. Biasanya ada bercak-bercak atau malah ada kabut putih.

Tes darah dan dahak/sputum
Tes dahak biasanya dilakukan dengan ambil sample 3 kali.
Kalau tes darah hasilnya bisa cepet, tes sputum keluarnya biasanya beberapa hari baru keluar. Untuk hasil tes sputum ini, kalau hasilnya positif biasanya artinya si kuman tbc itu lagi aktif di badan penderita, dan kemungkinan menularnya agak besar. Kalau hasilnya negatif, lagi-lagi, sialnya, belum tentu orangnya gak menderita tbc. Bisa jadi menderita tapi kumannya tidak aktif alias tidak menular. Biasanya kalau positif di hasil lab-nya ada tulisan BTA +. kalo negatif tentunya BTA -.

Pemeriksaan cairan pleura
Ini khusus untuk yang menderita efusi pleura. Apakah itu?
Efusi pleura adalah paru2 kita kerendem air, atau orang biasa sebut paru-paru basah.

Sebetulnya yang namanya pleura itu adalah kantong yang membungkus paru2 kita, dan di dalamnya memang ada sedikit cairan 'pelumas', untuk melindungi paru dari gesekan dan benturan, terutama dengan tulang iga kita.

Kalau kita menderita efusi pleura atawa cara inggrisnya pleural effusion, cairan yang terbentuk di pleura itu berlebihan, jadinya malah menuh2in bungkusnya dan mendesak paru2. Akibatnya paru2 jadi gak bisa mengembang alias kempes.
Akibatnya napas jadi terbatas.
Biasanya gejalanya adalah sesak napas tapi nggak ada suara wheezing atau kalo orang jawa suka bilang 'mengi'. Itu lhoo.. suara kayak siulan yang biasanya kedengeran di napas orang yang kena asma.
Karena pembentukan cairannya di awal2 sakit biasanya rada bertahap, jadi yang dirasakan juga secara bertahap makin lama makin mudah ngos2an kalau jalan. Bahkan kalau sudah berat, jalan biasa aja bisa berasanya kayak habis lari maraton. Ini terjadi karena paru2 makin mengecil akibat cairan yang makin banyak.
Kalau di hasil foto ronsen, penampakan pleural effusion adalah seperti kabut putih di salah satu atau salah dua paru2.



In my case, mungkin karena pas ke dokter paru kondisi sudah lumayan payah, maka nggak semua tes dilakukan. Waktu itu dokter langsung nyuruh foto ronsen, cek darah dan dahak.

Oh ya, disamping batuk kebetulan (gak betul juga sih sebenernya) punya bakat asma. Nah, gak asik kan.. mestinya bakat itu menyanyi, main musik, atau menggambar gitu. Lha ini bakat kok bengek.
Eniwei.. gara2 punya kecenderungan asma, awalnya sesak2 itu jadi dianggap karena batuk dan bengeknya berulah aja.

Waktu itu sempet hampir dua bulan bolak balik kena flu dan batuk2, dan bolak balik juga berobat ke dokter umum deket rumah. Pengobatan pertama sukses, yaitu batuknya sembuh, tapi cuma bertahan seminggu. Seminggu kemudian tewas lagi kena batuk, malah sesak napasnya nambah. Dan mulai teraba ada benjolan di leher, di atas tulang belikat.

Entah kenapa, si dokter umum ini kok ya cuma bolak balik ngeresepin antibiotik sama obat sesak napas aja, padahal tiap kali balik kesana sakitnya nambah payah. Kalau menurut angan-angan orang yang gak pernah ke dokter ini, dan mendambakan dokter yang kayak di film2 gitu, pengennya sang dokter merekomendasikan untuk periksa ke spesialis atau gimana gitu.
Tapi karena angan2 orang ini enggak terwujud, akhirnya sempet ngikutin aja apa kata dokter, sampai akhirnya pada suatu hari yang cerah, didorong oleh kondisi yang ndak juga membaik, memutuskan sendiri untuk periksa ke spesialis paru di RSUD.

Dan dimulailah perjalanan panjang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang mengawali tulisan ini, yaitu : TB or not TB?

Jawabannya?
Nanti deh ya.. sekarang kita ngantuk lagi dulu, ehehe

Senin, 06 Mei 2013

TB or not TB


Dulu, waktu serial House MD masih ada, serial ini jadi salah satu yang hampir gak pernah kelewat untuk ditonton. Sampai bela-belain beli dvdnya di ambasador, atau donlot dari internet kalau dah gak sabar nunggu yang baru.

Kalau liat team-nya dokter House ini, kayaknya yang namanya proses diagnosis itu keren banget. Penyakitnya yang gejalanya aneh-aneh gitu. Istilahnya juga keren2. Dokternya juga cakep2 *loh*

Biasanya prosesnya juga gak sekali jadi. Dari satu diagnosis ke yang berikutnya bakalan ada kejutan2, ada proses diskusi, ada trial dan error, pokoknya dinamis banget deh..

Dan setelah menjalani sendiri yang namanya proses diagnosis, baru berasa kalau emang nyari penyakit itu gak gampang. Kalo nyari penyakit dalam arti nyari gara2 sih.. lain soal yaa..

I probably shouldn't say this, but.. betapa beruntungnya orang yang sakit, yang penyakitnya bisa segera diketemukan jenisnya. Dan diobati sampai sembuh tentunyaa..

Jadi ternyata, buat orang yang sakit itu sebenernya ada dua permasalahan besar, yaitu dia sakit apa dan gimana mengobatinya. Kalau yang pertama nggak terjawab, yang kedua juga bakalan susah. Granted, sekarang banyak orang yang bisa sembuh dengan obat-obatan herbal, kembali ke gaya hidup sehat, bahkan ketika penyakitnya nggak terjawab apa jenisnya. Tapi itu kan pasti kasus khusus.
Pada umumnya orang mesti ngikut tahapan umum, apa lalu bagaimana.

Dan balik lagi ke serial House yang keren itu, ternyata kenyataan dunia ini nggak sekeren asistennya dr House. Dan bagi kebanyakan orang, diagnosis is a long and exhausting process.

And that was what happened to me.

Karena gejala yang bisa dibilang persis dengan penyakit yang (ternyata) banyak diderita orang Indonesia, akibatnya jadi harus 'tersesat' dalam pengobatan yang gak tepat selama hampir dua bulan.

Sebenernya pengen nulis banyak soal ini, tapi kok eike mengantuk sangat..
Nanti kapan2 dilanjutin lagi deh, sementara kita dadah dulu..

Rabu, 01 Mei 2013

On a high


Beberapa bulan terakhir ini nggak pernah bisa lagi bilang "hari ini seperti biasanya.."

Sejak pertama kali memutuskan untuk mulai berobat, my days were never the same.
Setiap hari adaaa.. aja hal-hal baru, yang sayangnya bukan hal baik, yang bikin hari-hari jadi 'berwarna'.

Tapi dari begitu banyak hal yang gak enak, termasuk one of those near death experience yang gak pernah kebayang bakalan dialami *lebay*, ada satu hal yang dipelajari, yaitu bersyukur dan bergembira dengan hal-hal kecil.


Hari ini misalnya, untuk pertama kalinya setelah adik  bungsu diimport ke jakarta, i'm on my own. Cuma siang ini sih, tapi tetep ini pengalaman pertama sejak hampir 4 bulan terakhir.
Tadinya sempat agak cemas, tapi ternyata gak apa2 kok.. alhamdulillah sejauh ini lancar dan senang-senang saja.

Ada juga yang agak lain hari ini, yaitu alhamdulillah i feel better. Selera makan lumayan. Napas oke lah. Dari pagi pengennya pecicilan terus. Thanks to those steroids, meskipun kaki tangan jadi bengkak-bengkak, tapi for the first time in 5 months i feel.. hmm.. apa ya.. berdaya barangkali.

Dulu mana terfikir kalau makan nggak pake muntah itu nikmat banget, kalau nafas gak pake selang itu surga banget.

Walaupun nggak bohong juga kalau kadang suka sedih kalau inget hal-hal yang gak boleh lagi dilakuin, but for now.. let's just be grateful for these small things..
.. and of course, for the big one called life..