Dulu waktu masih awal-awal kemo, banyak yang bertanya (atau mempertanyakan?) kenapa memutuskan kemoterapi? Apa nggak kuatir efeknya? Kenapa nggak coba alternatif?
Jawaban sok cerdasnya sih mestinya, ada kanker yang memang harus segera ditangani secara medis, ada yang tidak perlu segera atau malah tidak perlu sama sekali. Untuk yang perlu segera, menurut pendapat saya yang dhoif ini (atau bahasa jawanya IMHO), ya harus segera, entah itu operasi, kemoterapi, radiasi, atau apalah sesuai arahan dokter.. Su'alnya pengobatan alternatif itu pada umumnya efeknya tidak seketika, jadi menurut saya lebih cocok untuk jangka panjang atau yang nafasnya masih panjang
Untuk kanker yang masih boleh ditunda penanganannya (emang ada?), misalnya yang grade-nya atau keagresifannya nggak tinggi dan stadiumnya masih awal, jika memang dokternya memberi lampu hijau dan pasiennya lebih mantap dengan pengobatan alternatif, ya silakan saja.
Karena pada dasarnya kan yang namanya pengobatan itu hak asasi masing-masing pasien. Lagipula toh kanker ini bukan penyakit menular, jadi ya penundaan pengobatan tidak akan membahayakan orang lain, hanya pasiennya saja.
Cuma menurut saya, walaupun mengambil jalur alternatif (kok kesannya jadi kayak arus mudik ya), tetap harus dievaluasi secara medis. Artinya tetap waspada, kontrol ke dokter, periksa yang bener misalnya ke lab, scan atau mri atau rontgen atau apalah. Karena walaupun pengobatan alternatif itu sudah maju, tapi untuk tahu persis kondisi penyakit, untuk bisa tahu apakah penyakitnya sembuh, berkurang, atau malah bertambah, tetap yang paling bener ya dengan teknologi medis.
Be very-very alert. Periksa secara berkala. Better save than sorry, right?
Dan kebetulan (nggak kebetulan juga sih sebenernya) kanker yang dateng ke saya itu termasuk yang perlu segera dilakukan tindakan medis.
Itu jawaban rada pintarnya. Kalau jawaban jujurnya sih, terus terang karena memang sudah kepepet. Waktu dokter bilang harus kemo kondisi pasiennya udah payah betul, jadi ketika dokter mengajukan solusi itu, pasiennya nggak cuma setuju tapi bisa dibilang malah 'mengejar2' dokternya. Nggak sempat mempertimbangkan lagi.
Seperti pernah diceritakan di sini, pas awal dulu sempat salah diagnosis, dikira TBC dan sudah sempat minum obat selama hampir sebulan. Sesudah itu malah kena alergi obat dan kondisi yang terus menurun, akhirnya ketika mulai diketahui kalau penyebabnya ternyata bukan bakteri tapi sesuatu yang lain, sudah hampir nggak kuat jalan. Paracenthesis alias sedot cairan di paru-paru sudah harus dilakukan per dua minggu karena sesak napas yang makin lama makin hebat.
Ketika hasil biopsi yang pertama keluar menyatakan kalau oknumnya ternyata kanker kelenjar getah bening alias LMNH (limphoma maligna non hodgkin) alias BCL yang sayangnya bukan Bunga Citra Lestari, tapi B Cell Lymphoma, sedot cairan sudah tidak dua minggu sekali tapi dua kali seminggu.
Posisi tiduran sudah nggak kuat, sehingga tiap kali berusaha tidur posisinya adalah duduk memeluk kursi. Nah lho, gimana coba itu? Ya pokoknya yang penting posisi kepala lebih tinggi dari dada, posisi kiri lebih rendah dari kanan.
Hehe.. tambah gak jelas ya?
Gini aja deh, kalau ada yang bener-bener pengen tau, boleh deh ketemuan, trus nanti saya demo-kan posisinya aja gimana, hihi *pede banget*
Yang tadinya habis disedot cairan agak terasa lega, kali ini rasanya justru sakit dan seperti orang tercekik. Segala cara mulai dari di-uap pakai nebulizer, pakai air panas campur V*cks, campur minyak kayu putih, hisap inhaler, dan lain-lain dicoba teteep aja rasanya nggak karuan.
Waktu itu rasanya jadi orang yang punya satu keinginan 'sederhana' banget, yaitu : bisa bernafas, bisa tidur, bisa makan.
Oh ya satu lagi, bisa sujud kalo sholat.
Bener deh, buat yang pernah merasakan yang namanya sesak napas, pasti faham deh perasaan kayak gini. Sesuatu yang tadinya kita anggap biasa aja, bahasa jawanya taken for granted gitu, tiba-tiba jadi sesuatu yang paliiing.. berharga.
Hal lain jadi nggak penting.
Kalau pak ustadz suka ngingetin kita untuk bersyukur dengan kalimat : bayangkan seumpamanya Allah tiba-tiba mengharuskan kita bayar untuk setiap tarikan napas kita.
Nah, kali ini beneran kejadian kayak gini nih.
Dan bener banget memang : maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?
Singkat kata (huee.. gak ngerasa ya kalau dari tadi yang diceritakan udah jauh banget dari singkat?), waktu hasil lab memastikan kalau penyakitnya memang kanker alias limfoma, pasiennya udah cengap-cengap kayak ikan keluar kolam. Akhirnya 3 hari setelah dapat hasil lab menyerah juga, check in ke UGD.
Oh ya, acara check in ini lumayan meriah karena ada panitianya, teman-teman yang selalu setia mensupport dengan tak kenal lelah : Ocus, Cahyono, duo Ade dan Adi, adik2, dan teman-teman lain yang mendukung dari balik layar *kayak pentas tujuhbelasan aja*
Sebenernya dari dulu paling takut sama yang namanya rumah sakit, dokter, jarum suntik, apalagi infus. Paling males deh. Mending disuruh lari keliling lapangan sekali aja (jangan banyak2 lah ya, sekali aja).
Tapi kali ini karena sudah nggak karuan lagi, maka pasrah lah mau diapain aja.
Pokoknya gimana caranya supaya bisa bernapas lagi.
Masuk UGD langsung di-nebu, nggak mempan.
Setelah CT-Scan lagi untuk melihat kondisi terakhir, masuklah ke kamar rawat.
Sebelum ketemu dokter onkologi, ternyata ada 'kunjungan' dari dokter spesialis paru. Setelah melihat hasil CT-Scan, dokternya minta USG paru. Waktu itu rekomendasinya cuma satu : pasang selang untuk mengeluarkan cairan paru sewaktu-waktu.
Sebabnya paru-parunya sudah tinggal satu yang berfungsi, itupun nggak penuh. Dan cairannya cepat sekali munculnya, jadi nggak cukup lagi kalo cuma di-punksi atau sedot sekali-sekali.
Uhuhuuu... Nggak mau banget.
Waktu itu mungkin masih belum mau menerima kenyataan kalau sakitnya itu memang beneran parah.
Masih gengsi kalau ketauan sakit beneran.
Menurut saya waktu itu, dipasang benda2 asing secara semi permanen di badan itu tanda kalau sakitnya memang berat dan bakalan lama.
Belum lagi selama ini lihat di RSPP, orang-orang yang dipasang selang pleura itu selangnya gede bangeet.. dan disambung ke benda semacam jerigen gitu. Mereka kalau kemana2 harus pakai kursi roda karena mungkin disamping sudah nggak kuat jalan, juga repot bawa peralatannya.
Nggak mau. Pengen tetep bisa ke kamar mandi sendiri (waktu itu masih gak nyangka kalau bakalan tergantung pipa oksigen 24 jam, jadi ke kamar mandi bakalan mustahil juga).
Lagipula dalam hati masih berharap kalau sehari dua hari, maksimal seminggu ini
lah.. bakalan ketemu sakitnya, ketemu obatnya, dan bisa pulang dengan
segar bugar lagi.
Denial banget yaa..
Dokternya terus berusaha meyakinkan kalau prosedur pasang pipa itu memang perlu, dan nggak perlu kuatir bakalan nggak bisa ngapa2in. Soalnya selang alias pipa yang dipasang itu kecil kok. Kalau mau ke kamar mandi bisa dibawa2.
Dan yang paling penting, mau bisa bernapas lagi nggak?
Karena memang sudah nggak bisa melarikan diri dari kenyataan, akhirnya setuju juga. Operasi dijadwalkan besok siangnya jam 10. Nggak perlu bius total, cukup anestesi lokal saja.
Entah kenapa, hal itu nggak bikin tenang malah jadi takut. I will be awake when they put that thing and sew it on my back.
Tapi bagaimana lagi. Di titik itu nggak ada lagi alternatif lain. Nggak mengambil tindakan bukan lagi pilihan, karena semakin lama dibiarkan napas semakin berat. I need my breath. I need my life.
Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar. Eh, lancar nggak ya?
Kayaknya sih lancar, nggak terlalu ingat persisnya soalnya pas operasinya selesai pasiennya malah semaput. Heheh.. rugi banget ya.. telat pingsannya. Sakitnya udah lewat.
Oh ya, operasinya dilakukan dengan posisi seperti punksi atau thoracentesis gitu, yaitu pasien duduk sambil pelukan bantal.
Awalnya sih peluk bantal, akhirnya meluk atau lebih tepatnya dipegangin suster karena udah mulai semaput.
Alatnya namanya pigtail catheter, bentuknya begini ini lho kira-kira :
Nggak persis begitu sih, tapi kurang lebih lah. Selang kecil diameternya nggak sampai setengah cm, ada katupnya. Yang waktu itu dipakai kerannya 2, jadi 3 way gitu. Lebih mirip gambar di sini nih.
Kalau mau mengeluarkan cairan tinggal buka kerannya. Pembuangannya bukan botol atau jerigen, tapi urine bag, yang bisa diganti secara berkala.
Perkakas ini akhirnya terpasang selama hampir 2 bulan. 1 bulan di rumah sakit, sekitar 2 atau 3 minggu di rumah.
Sayangnya selama pakai alat itu nggak sempat fotoin, jadi nggak bisa nunjukin bentuknya kayak apa persisnya. Soalnya waktu itu lagi nggak punya gadget yang memadai, yang dipegang cuma sepotong hp candybar yang bisanya buat telpon dan sms aja.
Nah soal gadget ini cerita lain lagi, kapan-kapan deh diceritain kalau nggak lupa.
Setelah pasang pigtail itu berarti bisa nafas lega dong?
Sayangnya nggak sesederhana itu.
Akibat tumor mediastinum yang sudah kelewat besar, ternyata jalan nafasnya kegencet. Jadi ketika dikeluarkan cairannya, udara tetep nggak bisa masuk ke paru-paru. Ibaratnya seperti balon yang disedot, bukan ditiup. Airnya dikeluarkan malah tambah kempes.
Akibatnya setiap kali cairan dikeluarkan pasiennya malah kesakitan.
Tapi perintah dokter kran harus tetap dibuka dan cairan dikeluarkan sehari dua kali, jumlahnya sekitar satu liter sehari. Sebagai pendukungnya pasien diuap dengan nebulizer sehari 3 kali.
Waktu pasiennya mogok karena nggak tahan sakitnya, dokter mengambil kompromi, keran dibuka sampai pasien nggak kuat aja, nggak harus satu liter sehari. Hiks..
Lalu nafasnya lega nggak?
Sayangnya enggak.
Padahal cairan sudah dikeluarkan. Nebulizer 3 kali sehari. Selang oksigen 24 jam. Awalnya diset di 2 liter cukup, lama-lama naik jadi 3, 4, dan akhirnya 5 bahkan kadang 6. Lubang hidung sampai lecet berdarah2 karena semburan oksigen 5 liter itu cukup kuat juga ternyata.
Dokter paru angkat tangan, katanya jalan keluar satu-satunya ya kemoterapi. Soalnya penyebab munculnya cairan dan penyebab tertutupnya jalan nafas itu memang kankernya.
Lalu kenapa nggak dimulai2 kemo-nya?
Inilah kekurangberuntungan saya waktu itu.
Hasil ihk alias immunohistochemistry dari RSP yang mestinya menentukan dengan detail jenis kanker apa yang harus dibasmi, ternyata nggak lengkap. Akhirnya jaringan hasil biopsi harus dimasukkan ke lab lagi untuk dites ulang sampai diketahui subtype-nya.
Karena tidak semua rumahsakit bisa melakukan ihk, maka jaringan itu dikirim ke RSCM untuk diperiksa disana. Butuh waktu sekitar 2 minggu sampai keluar hasilnya.
Kekurangberuntungan saya yang berikutnya adalah pas waktu 2 minggu habis, pas jatuh di harpitnas. Karena mungkin lab-nya punya pemerintah, maka entah bagaimana mereka buka tapi nggak buka, alias hasilnya nggak keluar-keluar. Sementara itu pasiennya makin payah karena makin susah bernafas, bahkan sudah mulai susah menelan.
That was a scary time for me.
Tidak bisa bernafas, tidak bisa menelan. Menelan ludah sendiri pun sudah tersedak-sedak. Terus terang ada juga kekhawatiran, kalau tiba2 berhenti bernafas sama sekali.
Kalau dipikir-pikir, waktu itu Allah betul-betul melindungi saya, karena dalam kondisi seperti itu pun alhamdulillah saya masih yakin kalau saya akan sembuh. Selama nggak bisa ngapa2in itu kebetulan saya sempat browsing dan secara selektif memilih informasi yang favorable soal penyakit saya, hehe.. Agak nggak objektif mungkin, tapi saya tahu bahwa saya butuh itu. Saya butuh harapan, seberat apapun kondisi waktu itu.
Makanya yang saya baca yang bagus-bagus aja :P
Oh ya, waktu itu sempat tanya ke dokternya, stadium berapa, dan dijawab 3B.
Alasannya? Karena untuk memastikan stadium 4 atau bukan harus dilakukan test sumsum tulang.
Kenapa tidak dilakukan? Hmm.. nggak tau ya, saya juga nggak nanya karena nggak berani.
Mungkin memang tidak perlu? Mudah2an sih.
Tapi stadium 3B itu nggak terlalu menyurutkan semangat. Takut sih, tapi harapan tetap lah.
Karena berbeda dengan kanker yang lain, untuk limfoma, stadium tidak terlalu mempengaruhi tingkat kesembuhan. Setidaknya itu yang saya baca di internet.
Satu kata kunci yang membuat sedikit besar hati : limfoma itu (setidaknya jenis yang ini) mestinya curable, alias bisa disembuhkan.
I know you shouldn't believe internet too much when it comes to medical decision. Lagipula hasil penelitian itu kan dasarnya kebanyakan statistik, dan kita adalah individual yang unik, bukan statistik.
I know. Tapi saya sih percaya aja kalo kabarnya bagus. I need the hope.
Lagipula ketidakpastian itu kan bisa diartikan dua hal : kalau kita pesimis, kita bisa melihatnya sebagai "tidak ada jaminan kalau bisa sembuh", tapi kalau optimis artinya bisa juga "selalu ada kemungkinan untuk sembuh"
Jadi tugas kita ya menjalani pengobatan, berusaha dan berdoa saja. Hasilnya diserahkan sama Sang Pemilik Kesembuhan.
Dan satu hal yang saya pegang kuat-kuat waktu itu adalah keyakinan bahwa apapun yang saya hadapi, InsyaAllah akan ada jalan keluarnya, dengan seizin Allah. Nggak ada yang mustahil deh.
Kayaknya hebat bener ya? Hehe..
Sebenernya sih nggak gitu2 amat juga. Sedih dan nangis mah jangan ditanya lagi, makanan tiap hari itu.
Untungnya (nah lho, masih untung) waktu itu sempat kena flu berat dan gak bisa tidur, jadi kalo mata sembab, hidung meler dan suara bindeng karena kebanyakan nangis, ada alasan untuk ngeles :P.
Setelah hampir 3 minggu menunggu hasil ihk, pak dokter onkologi akhirnya mengambil keputusan darurat untuk melakukan mini-chemo, alias kemoterapi dengan komposisi obat dan dosis yang diturunkan. Keputusan ini diambil setelah pasiennya mengibarkan bendera putih alias menyatakan diri hampir tidak sanggup lagi. Waktu itu untuk pertama kalinya melihat pak dokter gusar berat, yaitu pas beliau mendengar kabar kalau hasil lab ihk belum juga keluar setelah 2 minggu lebih.
Pak dokter langsung memutuskan kalau mini-chemo akan dilakukan keesokan harinya.
Akhirnya pada tanggal 26 april kalo gak salah, dengan mengucap bismillaahirrahmaanirrahiim.. resmilah memasuki status sebagai pasien kemoterapi.
Waktu itu regimennya belum R-CHOP, tapi hanya Oncovin alias vincristin dan solumedrol. Dosisnya juga setengah dosis yang semestinya.
Wah, sudah panjang juga ya ternyata..
Volume 7 kita tutup dulu, lain kali insyaAllah berjumpa lagi di volume berikutnya yaa..

Mkasih informasinya dan tulisanya sudah sharing ....
BalasHapusoya untuk referensi tambahan mungkin bisa juga baca2 disini http://www.tanyadok.com/kesehatan/jangan-takut-dengan-kemoterapi