Seperti rencana di entry sebelumnya, I'll try to list what I'm grateful for.
Yea.. I know, “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya,” (QS. Ibrahim:34) Tapi setidaknya saya coba deh, untuk mengingatkan diri sendiri saja setidaknya.
Meskipun saya termasuk orang yang betah menyendiri, tapi tidak bisa dipungkiri, one of my biggest blessings are people. Orang-orang baik, yang hadir di saat yang dibutuhkan. Nikmat dan kemudahan yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan.
Salah satu, atau salah beberapa-nya adalah my caregivers. Orang-orang yang mendampingi dan merawat selama saya sakit.
Betapa Allah mengatur dengan indahnya, ketika saya mulai tidak bisa ngapa-ngapain sendiri, kebetulan adik bungsu baru lulus dari kuliahnya di jurusan kebidanan. Dengan titah dari kanjeng mamih dan papih, dan kesepakatan khalayak ramai, yaitu kakak2nya (kakaknya adik saya maksudnya) dan tante2 saya, dan tentunya keikhlasan dari ybs, akhirnya saya mendapatkan perawat pribadi yang bertugas secara full time.
Tidak cukup satu, tapi satu lagi adik saya yang tadinya tinggal di bekasi, merelakan diri untuk bolak-balik, bekasi-jakarta-cikarang selama hampir setahun itu, untuk mensupport kami berdua, bahkan seringkali merelakan diri untuk menginap di RS untuk menemani atau menggantikan si bungsu.
Penting banget lho ini, sebab bagaimanapun adik saya itu kan anak bungsu yang belum pernah jauh dari orang tua. Tiba-tiba harus mengurus orang sakit di antah berantah ibu kota, pasti butuh support dan teman seperjuangan. Belum lagi urusan baju, urusan makan, dan lain-lain. Singkatnya, i was so lucky i had both of them with me.
Didampingi oleh orang yang mengerti soal kesehatan itu betul-betul sebuah 'kemewahan' dan kemudahan yang tiada taranya. Apalagi mengingat perjalanan mengejar diagnosis yang rumit dan nggak sampai-sampai itu.
Yang pertama terasa sekali adalah ketika masih didiagnosis TBC dan kemudian alergi rifampicin dan isoniazid, sehingga dokter terpaksa meresepkan obat lini ke dua, yaitu streptomicyn, yang harus disuntikkan tiap hari. Iya betul, tiap hari.
Waktu itu dokter kasih pengantar untuk mencari bidan atau mantri terdekat, supaya lebih mudah. Tapi itupun nggak kebayang ya, tiap sore harus mondar mandir ke tempat bidan atau dokter buat minta suntik. Lhawong jalan aja sudah hampir nggak sanggup.
Oh ya, waktu itu ternyata kondisi paru-paru sudah tinggal 1 saja yang berfungsi, paru sebelah kiri kolaps atau kempes total, sedangkan sebelah kanan terdesak jantung, makanya perasaan nggak karuan deh.
Nah, urusan suntik menyuntik ini akhirnya nggak jadi masalah karena saya nggak perlu jalan ke mana-mana untuk mencari bidan, kan bidannya sudah in the house. Waktu itu dokter paru saya yang lembut hati itu pun sampai ikut bahagia banget gitu waktu saya bilang bidannya sudah ada, tinggal kerja, kerja.. #eh
Yang berikutnya tentunya selama sebulan di RS. Bisa dibilang saya pasien yang mandiri banget dan jarang merepotkan suster yang sudah cukup repot merawat pasien yang kebanyakan sakit berat di ruangan berisi 5 orang itu. Bukan karena saya bisa ngapa-ngapain sendiri, tapi karena kalau mau ngapa-ngapain sudah ada yang membantu, yang sudah cekatan dan akrab dengan segala perlengkapan dan peralatan RS.
Punya pendamping yang lumayan aware soal kesehatan, membuat saya jadi lebih PD untuk ikut membuat keputusan dalam pengobatan. Misalnya ketika jadwal kemo yang tidak kunjung tiba, sedangkan paru-paru saya cepat sekali penuh terisi cairan. Waktu itu dokter paru menginstruksikan kepada perawat untuk mengeluarkan cairan paru sehari 1 liter. Awalnya 1 liter sehari itu nggak masalah buat saya, bahkan pernah lebih dari itu. Tapi lama-lama belum 1 liter dada saya sudah terasa seperti digencet gajah. Tulang punggung dan tulang rusuk nyerinya minta maaf.
Setelah 'protes' ke perawat, dan dijawab dengan 'perintah dokter 1 liter', akhirnya saya sendiri berinisiatif untuk menutup 'kran' pigtail (selang yang dipasang di punggung untuk mengeluarkan cairan paru), kalau sakitnya mulai nggak ketahan lagi. Dan ketika dokter paru berkunjung, saya pun protes lagi, yang akhirnya dikabulkan oleh Pak Dokter.
Satu lagi kejadian yang penting, yaitu ketika setelah mini kemo yang pertama, tanpa diketahui, paru-paru saya terkena infeksi. Awalnya kran pigtail yang setiap harinya mengeluarkan cairan tiba-tiba macet, malah cairannya bocor melalui jahitan (maap lho kalau TMI alias too much info, ini agak ngilu juga nulisnya sebetulnya).
Tadinya suspectnya adalah jahitan kendor, sehingga perlu dijahit ulang #ouch!. Tapi setelah dijahit ulang pun ternyata masih bocor. Tadinya dokter paru merencanakan untuk mengganti pigtail dengan selang yang lebih besar, dan tanpa kran. Maksudnya supaya meminimalisir kebocoran.
Tapi untungnya beliau membicarakan dulu dengan kami (saya dan adik), ditambah suster yang nantinya akan membantu proses penggantian selang. Beliau bahkan sudah bawa itu contoh selang dan kantongnya.
Saya waktu itu sudah pasrah aja, yang penting bagaimana bisa bernafas dan berjalan lagi dengan baik. Alhamdulillah adik saya masih berkepala dingin dan cukup cermat, sehingga mengingatkan dokter tentang kesakitan yang saya alami kalau cairannya dikeluarkan terlalu banyak. Dokter Paru
yang berdedikasi tinggi itu (sampai-sampai long weekend pun beliau tetep visit lho, keren kan.. ) terdiam sejenak, dan setelah mempertimbangkan, akhirnya setuju kalau keran tetap dibutuhkan.
Langkah yang diambil akhirnya, dari pigtail yang existing itu di-flush dengan bantuan spuit besar. Dari situ ketahuan kalau kebocoran adalah karena cairan yang tadinya bening berubah menjadi keruh dan kental, alias tanda-tanda infeksi. Dan sejak itu mulailah petualangan bersama Tripenem, antibiotik spektrum luas yang sehari bisa mencapai jutaan rupiah itu (huehue.. tetep ya.. itungannya rupiah).
Masih banyak sebetulnya kejadian yang mungkin bakalan rumit kalau saja caregiver saya nggak terlalu faham soal kesehatan. Yang jelas, dengan didampingi orang yang bisa diajak diskusi, saya sendiri juga jadi lebih PD dan lebih nyaman untuk menjalani, dan ikut memutuskan jalannya pengobatan.
Memang betul janji Allah, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.
Alhamdulillah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar