Halo apa kabar?
Saya alhamdulillah baik :)
Akhir tahun ini Alhamdulillah akan 5 tahun sejak selesai kemoterapi di tahun 2013 lalu. InsyaAllah sebentar lagi waktunya kontrol rutin, dan insyaAllah kalau hasilnya baik (kayaknya sih baik ya.. Aamiiin.. ) maka kontrol selanjutnya mungkin 5 tahun lagi.
Selain daripada itu, everything's fine, alhamdulillah :)
Semoga teman2 juga yaa.. :-*
#edisi ngabsen biar blognya gak lumutan#
Jumat, 09 November 2018
Jumat, 08 Desember 2017
...
Hmm.. cepet banget ya tau2 udah mau habis tahun 2017 ini.
Oh iya, Alhamdulillah.. ternyata gajlukan yang beberapa bulan lalu itu nggak seperti yang ditakutkan.
Nanti kapan-kapan diceritain detailnya deh, tapi intinya, Alhamdulillah setelah dikasih antibiotik benjolan yang ternyata ada sampai 8 buah itu berangsur2 melunak dan mengecil.
Legaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa............................. banget. Alhamdulillaah..
Dan akhirnya sekarang sudah mau waktunya evaluasi akhir tahun lagi.
Mohon doa semoga hasilnya tetep bagus yaa..
Beberapa bulan terakhir ini alhamdulillah akhirnya efek samping imunoterapi sudah mulai hilang. Tandanya apa? Yang paling jelas, sudah 2 bulan lebih nggak kena flu. Padahal sebelumnya, ibarat kata denger orang bersin aja bisa langsung ketularan.
Seneng banget ya ternyata bisa merasakan badan sehat lagi. Mudah2an bisa sehat dalam waktu yang lamaaa...
Oh iya, Alhamdulillah.. ternyata gajlukan yang beberapa bulan lalu itu nggak seperti yang ditakutkan.
Nanti kapan-kapan diceritain detailnya deh, tapi intinya, Alhamdulillah setelah dikasih antibiotik benjolan yang ternyata ada sampai 8 buah itu berangsur2 melunak dan mengecil.
Legaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa............................. banget. Alhamdulillaah..
Dan akhirnya sekarang sudah mau waktunya evaluasi akhir tahun lagi.
Mohon doa semoga hasilnya tetep bagus yaa..
Beberapa bulan terakhir ini alhamdulillah akhirnya efek samping imunoterapi sudah mulai hilang. Tandanya apa? Yang paling jelas, sudah 2 bulan lebih nggak kena flu. Padahal sebelumnya, ibarat kata denger orang bersin aja bisa langsung ketularan.
Seneng banget ya ternyata bisa merasakan badan sehat lagi. Mudah2an bisa sehat dalam waktu yang lamaaa...
Senin, 31 Juli 2017
Gajlukan lain di tengah perjalanan
Bulan Februari lalu adalah jadwal periksa rutin ke my beloved oncologist *halah*, dan seperti sudah dilaporkan pada entry terdahulu, hasilnya oke punya.
Pas beliau bukain pintu setelah selesai periksa, kata-kata perpisahannya adalah "Sampai jumpa bulan September ya, tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu untuk datang sebelum itu."
Waktu itu sih (berusaha) yakin banget bakalan ketemu di bulan September.
Akan tetapi qadarullah.. Beberapa minggu terakhir ini entah kenapa kok terus dilanda rasa lelah yang seperti nggak mau hilang-hilang. Padahal alhamdulillah flu justru sudah mulai mereda. Tadinya sih kirain karena terlalu all-out dalam keriaan dan hiruk pikuk lebaran, tapi..
.. pada suatu hari yang cerah, pas gegoleran di kasur sambil ngobrol sama adik yang baru datang dari Jogja, sambil garuk-garuk leher yang kegelitik anak rambut, tiba-tiba teraba sebuah benjolan di leher sekitar bawah telinga.
Oh my.. Whaatt... ??? Whatiziittt.. ???
.. dan kemudian berjuta-juta hal langsung terlintas di pikiran *halah lebay*
Yang jelas kepikiran sih, langsung cari hp dan dompet, lalu telpon ke RS untuk daftar periksa ke Prof Aru.
Ah, nggak tercapai ternyata cita-cita sampai jumpa September itu..
Walaupun sebetulnya pengen sok cuek gimana gitu, tapi yang namanya trauma ternyata bukan sesuatu hal yang mudah untuk dihilangkan begitu saja. Pengalaman diagnosis dan kemoterapi yang 4 tahun lalu itu rasanya masih belum lama selesainya. Kayak baru kemarin gitudeh.
Akibatnya malamnya jadi nggak bisa tidur, dan besoknya kok ya ndilalah eh qadarullah salah satu teman satu gang meriang, bersin-bersin dan batuk-batuk dahsyat, dan seperti biasa, dilakukannya dengan gaya bebas alias tanpa masker. Oh man, just my luck i guess.
Akhirnya malamnya ikut meriang dan sukses kena bapil. Which didn't help my lymph node.
Entah karena bapil yang sampai bikin bengek dan budeg sebelah itu atau bukan, si benjolan terasa makin jelas dan teraba dua ekor eh butir eh buah, eh apa sih satuannya :P
Oh ya, walaupun hari kamis itu udah nyari dompet dan hp, tapi jadinya daftar periksanya baru hari senin (yeah.. procrastination is *still* my middle name :P). Daftar untuk kamis depannya lagi, dapatlah nomer 11. Oh baiklah..
Sempat agak nyesel kenapa nggak daftar untuk minggu itu aja, soalnya nunggu 10 hari itu kan lama yaa.. tapi mengingat bapil masih ngetril banget, dan perlu ke lab, jadi kayaknya enakan tunggu minggu depan deh biar bisa memastikan sebenarnya karena bapil atau karena bukan *apasih*
Well.. sebenernya sih itu alasan aja, karena yang sejujurnya adalah agak takut (banget), jadi perlu waktu gitu untuk menguatkan tekad.
Saking nggak tenangnya, seminggu itu sempat cerita sama beberapa teman, dan mereka menjawab dengan penuh itikad baik : "Jangan kuatir dulu, siapa tau itu cuma kelenjar.."
Nah, sayangnya justru itulah permasalahannya dari dulu. Kelenjar itu justru yang bikin kuatir...
Akhirnya setelah seminggu yang terasa puanjaang itu.. tibalah saat yang dinantikan (oleh saya), yaitu hari ketemu omProf.
Alhamdulillah hari itu omProf datangnya cepat, dan alhamdulillah pasien nomer kecil kok ya kebetulan pada nggak datang, dan alhamdulillah jalanan dari kantor ke medistra laancar jaya sejahtera.
Sampai rs jam 20:30, dipanggil masuk sekitar jam 21:30. Not bad.
Komentar pertama, eh nggak pertama sih, ke dua atau ke tiga gitu deh, adalah "Kamu batuk pilek melulu ya?"
Nah itu dia Prof, saya juga heran nih, makanya resep untuk vaksin nggak kepakai2, karena nggak sembuh-sembuh.
Kata omProp, "Oh, itu hasil penelitian lama tuh, sekarang vaksin nggak usah nunggu sembuh dulu."
Oh begitu ya? Hmm.. baiklah.. nanti dijadwalkan..
Lalu pertanyaan rutin, apa yang dirasakan?
Macet dok, udah gitu harga2 pada naik, eh.. nggak ding.. bukan gitu kok saya jawabnya..
Saya langsung tunjepoin aja, bahwa saya nemu dua butir benjolan yang mencurigakan.
Setelah memeriksa, Omprop sekali lagi mengatakan bahwa saya benar, yaitu bahwa itu adalah kelenjar getah bening.
Lalu bagaimana?
Seperti biasa, Omprop mengatakan dengan biasa-biasa aja, bahwa kita akan mengambil langkah untuk berhati-hati banget. Saya (omprop maksudnya) akan memberi pengantar untuk USG leher (leher saya -penulis blog- tentunya) dulu, soalnya kalaupun yang teraba dua buah eh butir eh apalah itu, bisa jadi sebenarnya ada empat, atau enam, atau berapa gitu.
Lalu?
Lalu kalau ternyata cuma 2, saya disuruh tunggu aja, maksudnya watch and wait, alias dipantau saja apakah bertambah besar atau bertambah banyak, atau malah berkurang.
Kalau enggak cuma 2?
"Nanti kita PET-scan, tapi itu juga kalau kamu mau. Kalau enggak ya nggak usah."
Hue..
Sebetulnya sih saya tahu maksudnya, yaitu kalau ternyata banyak, atau ada yang mencurigakan, kita lihat apakah itu ganas, dengan cara PET-CT.
Dari situ baru bisa diputuskan langkah selanjutnya.
Dan maksudnya lagi adalah, yang penting sekarang USG dulu, karena tidak ada gunanya menyangka-nyangka ini itu tanpa data yang mencukupi.
Makanya saya juga nggak tanya, apakah kalau hasil USG jelek, yang berarti harus PET, dan lalu hasil PET juga jelek, berarti relapse dan saya harus kemo lagi? I know he won't answer it, dan saya tahu kalau dijawab pun nggak ada gunanya.
It's early days yet, masih panjang waktu untuk berharap dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Oh ya, untuk memastikan tidak ada infeksi bakteri, omprop membekali saya dengan 3 butir antibiotik untuk diminum sehari sekali.
Sebelum pulang, saya pastikan sekali lagi, jadi bagaimana urutannya ini Prof?
Minum antibiotik dulu, baru setelah itu USG, dan setelah itu hasilnya difoto dan dikirim saja lewat whatsapp, karena "Bukannya saya nggak pengen kamu ke sini-sini terus ya, tapi siapa tahu kamu bosen disuruh duduk2 di depan situ nunggu giliran."
Oh baiklah..
Akhirnya sekitar jam setengah 11 malam saya keluar dari halaman RS dan meluncur ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Oh, ketakutan-ketakutan sebelum ketemu omprop itu masih ada, banyak malah. Tapi setidaknya I'm doing something about it, and I'm doing it with one of the best in this country.
Rasanya agak aneh, seperti agak mimpi gitu (hayo agak mimpi itu gimana coba? :P) karena rasanya seperti kembali ke empat setengah tahun yang lalu, sewaktu mengejar-ngejar diagnosis yang nggak jelas itu. Tapi Alhamdulillah kali ini jalannya sudah jauh lebih terarah, jadi mudah-mudahan akan lebih cepat ketemu dan tuntas.
Dan (sekali lagi, supaya saya nggak lupa), jalan masih panjang, masih banyak waktu untuk berharap dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Jadi, doakan aku yaa..
Pas beliau bukain pintu setelah selesai periksa, kata-kata perpisahannya adalah "Sampai jumpa bulan September ya, tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu untuk datang sebelum itu."
Waktu itu sih (berusaha) yakin banget bakalan ketemu di bulan September.
Akan tetapi qadarullah.. Beberapa minggu terakhir ini entah kenapa kok terus dilanda rasa lelah yang seperti nggak mau hilang-hilang. Padahal alhamdulillah flu justru sudah mulai mereda. Tadinya sih kirain karena terlalu all-out dalam keriaan dan hiruk pikuk lebaran, tapi..
.. pada suatu hari yang cerah, pas gegoleran di kasur sambil ngobrol sama adik yang baru datang dari Jogja, sambil garuk-garuk leher yang kegelitik anak rambut, tiba-tiba teraba sebuah benjolan di leher sekitar bawah telinga.
Oh my.. Whaatt... ??? Whatiziittt.. ???
.. dan kemudian berjuta-juta hal langsung terlintas di pikiran *halah lebay*
Yang jelas kepikiran sih, langsung cari hp dan dompet, lalu telpon ke RS untuk daftar periksa ke Prof Aru.
| The Hitchhiker's Guide to The Galaxy |
Ah, nggak tercapai ternyata cita-cita sampai jumpa September itu..
Walaupun sebetulnya pengen sok cuek gimana gitu, tapi yang namanya trauma ternyata bukan sesuatu hal yang mudah untuk dihilangkan begitu saja. Pengalaman diagnosis dan kemoterapi yang 4 tahun lalu itu rasanya masih belum lama selesainya. Kayak baru kemarin gitudeh.
Akibatnya malamnya jadi nggak bisa tidur, dan besoknya kok ya ndilalah eh qadarullah salah satu teman satu gang meriang, bersin-bersin dan batuk-batuk dahsyat, dan seperti biasa, dilakukannya dengan gaya bebas alias tanpa masker. Oh man, just my luck i guess.
Akhirnya malamnya ikut meriang dan sukses kena bapil. Which didn't help my lymph node.
Entah karena bapil yang sampai bikin bengek dan budeg sebelah itu atau bukan, si benjolan terasa makin jelas dan teraba dua ekor eh butir eh buah, eh apa sih satuannya :P
Oh ya, walaupun hari kamis itu udah nyari dompet dan hp, tapi jadinya daftar periksanya baru hari senin (yeah.. procrastination is *still* my middle name :P). Daftar untuk kamis depannya lagi, dapatlah nomer 11. Oh baiklah..
Sempat agak nyesel kenapa nggak daftar untuk minggu itu aja, soalnya nunggu 10 hari itu kan lama yaa.. tapi mengingat bapil masih ngetril banget, dan perlu ke lab, jadi kayaknya enakan tunggu minggu depan deh biar bisa memastikan sebenarnya karena bapil atau karena bukan *apasih*
Well.. sebenernya sih itu alasan aja, karena yang sejujurnya adalah agak takut (banget), jadi perlu waktu gitu untuk menguatkan tekad.
Saking nggak tenangnya, seminggu itu sempat cerita sama beberapa teman, dan mereka menjawab dengan penuh itikad baik : "Jangan kuatir dulu, siapa tau itu cuma kelenjar.."
Nah, sayangnya justru itulah permasalahannya dari dulu. Kelenjar itu justru yang bikin kuatir...
Akhirnya setelah seminggu yang terasa puanjaang itu.. tibalah saat yang dinantikan (oleh saya), yaitu hari ketemu omProf.
Alhamdulillah hari itu omProf datangnya cepat, dan alhamdulillah pasien nomer kecil kok ya kebetulan pada nggak datang, dan alhamdulillah jalanan dari kantor ke medistra laancar jaya sejahtera.
Sampai rs jam 20:30, dipanggil masuk sekitar jam 21:30. Not bad.
Komentar pertama, eh nggak pertama sih, ke dua atau ke tiga gitu deh, adalah "Kamu batuk pilek melulu ya?"
Nah itu dia Prof, saya juga heran nih, makanya resep untuk vaksin nggak kepakai2, karena nggak sembuh-sembuh.
Kata omProp, "Oh, itu hasil penelitian lama tuh, sekarang vaksin nggak usah nunggu sembuh dulu."
Oh begitu ya? Hmm.. baiklah.. nanti dijadwalkan..
Lalu pertanyaan rutin, apa yang dirasakan?
Macet dok, udah gitu harga2 pada naik, eh.. nggak ding.. bukan gitu kok saya jawabnya..
Saya langsung tunjepoin aja, bahwa saya nemu dua butir benjolan yang mencurigakan.
Setelah memeriksa, Omprop sekali lagi mengatakan bahwa saya benar, yaitu bahwa itu adalah kelenjar getah bening.
Lalu bagaimana?
Seperti biasa, Omprop mengatakan dengan biasa-biasa aja, bahwa kita akan mengambil langkah untuk berhati-hati banget. Saya (omprop maksudnya) akan memberi pengantar untuk USG leher (leher saya -penulis blog- tentunya) dulu, soalnya kalaupun yang teraba dua buah eh butir eh apalah itu, bisa jadi sebenarnya ada empat, atau enam, atau berapa gitu.
Lalu?
Lalu kalau ternyata cuma 2, saya disuruh tunggu aja, maksudnya watch and wait, alias dipantau saja apakah bertambah besar atau bertambah banyak, atau malah berkurang.
Kalau enggak cuma 2?
"Nanti kita PET-scan, tapi itu juga kalau kamu mau. Kalau enggak ya nggak usah."
Hue..
Sebetulnya sih saya tahu maksudnya, yaitu kalau ternyata banyak, atau ada yang mencurigakan, kita lihat apakah itu ganas, dengan cara PET-CT.
Dari situ baru bisa diputuskan langkah selanjutnya.
Dan maksudnya lagi adalah, yang penting sekarang USG dulu, karena tidak ada gunanya menyangka-nyangka ini itu tanpa data yang mencukupi.
Makanya saya juga nggak tanya, apakah kalau hasil USG jelek, yang berarti harus PET, dan lalu hasil PET juga jelek, berarti relapse dan saya harus kemo lagi? I know he won't answer it, dan saya tahu kalau dijawab pun nggak ada gunanya.
It's early days yet, masih panjang waktu untuk berharap dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Oh ya, untuk memastikan tidak ada infeksi bakteri, omprop membekali saya dengan 3 butir antibiotik untuk diminum sehari sekali.
Sebelum pulang, saya pastikan sekali lagi, jadi bagaimana urutannya ini Prof?
Minum antibiotik dulu, baru setelah itu USG, dan setelah itu hasilnya difoto dan dikirim saja lewat whatsapp, karena "Bukannya saya nggak pengen kamu ke sini-sini terus ya, tapi siapa tahu kamu bosen disuruh duduk2 di depan situ nunggu giliran."
Oh baiklah..
Akhirnya sekitar jam setengah 11 malam saya keluar dari halaman RS dan meluncur ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Oh, ketakutan-ketakutan sebelum ketemu omprop itu masih ada, banyak malah. Tapi setidaknya I'm doing something about it, and I'm doing it with one of the best in this country.
Rasanya agak aneh, seperti agak mimpi gitu (hayo agak mimpi itu gimana coba? :P) karena rasanya seperti kembali ke empat setengah tahun yang lalu, sewaktu mengejar-ngejar diagnosis yang nggak jelas itu. Tapi Alhamdulillah kali ini jalannya sudah jauh lebih terarah, jadi mudah-mudahan akan lebih cepat ketemu dan tuntas.
Dan (sekali lagi, supaya saya nggak lupa), jalan masih panjang, masih banyak waktu untuk berharap dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Jadi, doakan aku yaa..
Senin, 20 Maret 2017
Mencatat Rekapan Riwayat Medis Setelah Selesai Kemoterapi
Untuk orang yang sakit dan berobat dalam waktu yang lama, setidaknya ada 2 tumpukan yang akan semakin menggunung, yaitu : tumpukan kuitansi alias riwayat pembayaran dan tumpukan hasil pemeriksaan alias riwayat medis.
Untuk yang pertama tidak usah dibahas ya, pedih soalnya *hehe
Nah, untuk yang kedua, ini penting banget. Setidaknya kita bakalan punya hasil lab, hasil scan, hasil x-ray, hasil usg, eeg/ekg, dan lain sebagainya.
Oh ya, ada juga rekapan dari RS setiap kita pulang 'menginap', yang isinya diagnosis, daftar obat, terapi dan tindakan apa yang kita dapatkan selama piknik di RS. Itu baru yang kita pegang sendiri.
Ada lagi yang dibuat dan dicatat di rumah sakit sebagai rekam medis kita.
Untuk 'pelanggan' yang sudah beberapa tahun seperti saya, rekam medis di RS tentunya bisa mencapai beberapa belas atau bahkan puluh sentimeter tebalnya. Dan setiap kali kita kontrol di RS yang sama, dokter akan mereview secara singkat 'biografi' kita itu.
Tentu dokter tidak akan membaca catatan yang sebegitu tebalnya, melainkan membaca rangkuman dan bagian-bagian pentingnya saja. Kalau dokternya sibuk, atau mengantuk, atau lelah atau khilaf, akan banyak bagian yang terlewat, yang sebagai gantinya akan ditanyakan kepada pasien yang bersangkutan.
Yang lebih 'sulit' lagi adalah jika kita berobat atau menjalani pemeriksaan di rumah sakit lain. Dokter yang kita temui pasti tidak punya catatan medis kita yang panjang itu.
Padahal untuk penyintas (masih agak canggung nih menyebut diri sendiri pake istilah ini) seperti kita ini, apalagi jika kita punya banyak riwayat alergi, dokter yang akan mendiagnosis dan meresepkan obat maupun tindakan sangat perlu mengetahui dan mempertimbangkan masa lalu kita.. eh, riwayat medis kita maksudnya.
Terutama jika misalnya kita akan menjalani evaluasi terapi, seperti misalnya CT scan atau PET-CT. Gambaran yang komprehensif *halah* mengenai perjalanan penyakit dan terapi yang sudah dilakukan sangat perlu sebagai dasar mengambil kesimpulan bagi dokter yang akan membaca dan menerjemahkan hasil scan.
Kalau om dokprof onkologi tercinta yang rutin saya sambangi, setidaknya beliau akan menanyakan hasil lab terakhir dan 2 sebelumnya, hasil scan/x-ray terakhir, keluhan yang dirasakan dan obat apa yang sedang diminum. Oh ya, dan berat badan.
Biasanya saya berada di ruang om dokprof setidaknya 30-45 menit. Sepertinya lama ya? Tapi nggak terasa lho itu, malah pernah beberapa kali sampai 1 jam pun rasanya masih kurang lama. Dan dari waktu yang lumayan lama itu, setidaknya 5 menit di antaranya digunakan om dokprof untuk membaca dan membolak-balik rekam medis yang super tebal itu.
Oleh karena itu, untuk memudahkan semua proses itu, dan untuk memastikan bahwa setiap proses anamnesis atau 'interview' kita dengan dokter berjalan lancar dan memberi gambaran yang lengkap dan benar, alangkah baiknya jika kita menyiapkan rangkuman riwayat medis kita sendiri.
Di samping mempersingkat waktu konsultasi dan memberi gambaran yang lengkap, juga untuk keperluan kita sendiri, supaya kalau ada yang abnormal nggak cepat panik dan nggak terlalu nyantai.
Note : setelah dibaca ulang, bagian ini sepertinya nggak jelas deh. (meskipun bagian lain juga belum tentu jelas, huehue). Ditambahin dikit deh ya..
Maksudnya begini, hasil pemeriksaan medis, khususnya hasil lab, khususnya untuk para mutant seperti kita (kita? elu aja kali) biasanya banyak nggak normalnya. Maksudnya nggak normal ini adalah, nilainya di luar range normal yang menjadi nilai acuan.
Lalu apakah nilai nggak normal ini otomatis menjadi 'lampu merah' ?
Belum tentu. Kadang yang lebih penting daripada normal atau nggak normalnya adalah, bagaimana kecenderungannya alias perubahannya dibanding hasil-hasil sebelumnya?
Terutama kalau kita masih dalam tahap pengobatan, atau pemulihan.
Misalnya untuk kasus saya, semenjak kemoterapi selesai sampai sekarang, ada satu nilai yang selalu di atas range normal, yaitu LDH. Padahal ini merupakan salah satu parameter yang perlu diwaspadai dalam limfoma.
Tapi jika dilihat dari nilai selama ini, ternyata walaupun di atas nilai normal, kecenderungannya masih turun. Sehingga, berkaitan dengan ini om dokprof menyarankan untuk tidak terlalu khawatir, selama parameter lain, yaitu LED, Hb, Limfosit, dan berat badan masih ok, dan tidak ada gejala fisik yang lain yang mengarah kepada kecurigaan.
Nah, karena yang kita perlu pantau bukan cuma nilai terakhir, melainkan juga perubahannya (kenaikan/penurunan), maka untuk pemeriksaan rutin lab ini sebaiknya dilakukan di lab yang sama. Kenapa sampai di-bold? karena penting, hehe..
Sebab, masing-masing lab punya prosedur sendiri yang mungkin sedikit berbeda, dan nilai acuan normalnya pun biasanya berbeda-beda. Kalau kita periksanya pindah-pindah lab, akan sulit bagi kita untuk memantau naik/turunnya nanti. Begitu kira-kira.
Seperti apa bentuk dokumen rekapannya itu? Sebenernya untuk masing-masing orang bisa beda-beda ya, karena beda penyakit pasti beda juga cara dan parameter kontrolnya.
Tapi kurang lebih sih, untuk saya sendiri, poin yang saya catat adalah :
Nanti saya upload contoh file excel yang saya buat deh, supaya ada gambaran. Nggak bagus2 amat sih, tapi cukupan lah buat contoh.
Nah, untuk dapat menyusun daftar di atas, hal yang perlu dilakukan selama berobat dan kontrol adalah :
Rekapannya itu juga sebetulnya dibikin menjelang PET-CT, gara2 nervous dan nggak bisa tidur, dan deg2an. Jadi bikin kesibukan biar seolah2 sibuk *apasih*
Tapi insyaAllah bermanfaat banget kok ternyata, dan waktu saya mau PET-CT, dokter radiologi nuklir yang mewawancara waktu itu sampai terkesan dan bertanya, "Mbaknya orang medis ya?", yang waktu itu dijawab dengan : "Bukan dok, saya orang sakit" :P
Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. Nanti kalau dah sempat ngerapiin, contoh file-nya diupload deh.
Untuk yang pertama tidak usah dibahas ya, pedih soalnya *hehe
Nah, untuk yang kedua, ini penting banget. Setidaknya kita bakalan punya hasil lab, hasil scan, hasil x-ray, hasil usg, eeg/ekg, dan lain sebagainya.
Oh ya, ada juga rekapan dari RS setiap kita pulang 'menginap', yang isinya diagnosis, daftar obat, terapi dan tindakan apa yang kita dapatkan selama piknik di RS. Itu baru yang kita pegang sendiri.
Ada lagi yang dibuat dan dicatat di rumah sakit sebagai rekam medis kita.
Untuk 'pelanggan' yang sudah beberapa tahun seperti saya, rekam medis di RS tentunya bisa mencapai beberapa belas atau bahkan puluh sentimeter tebalnya. Dan setiap kali kita kontrol di RS yang sama, dokter akan mereview secara singkat 'biografi' kita itu.
Tentu dokter tidak akan membaca catatan yang sebegitu tebalnya, melainkan membaca rangkuman dan bagian-bagian pentingnya saja. Kalau dokternya sibuk, atau mengantuk, atau lelah atau khilaf, akan banyak bagian yang terlewat, yang sebagai gantinya akan ditanyakan kepada pasien yang bersangkutan.
Yang lebih 'sulit' lagi adalah jika kita berobat atau menjalani pemeriksaan di rumah sakit lain. Dokter yang kita temui pasti tidak punya catatan medis kita yang panjang itu.
Padahal untuk penyintas (masih agak canggung nih menyebut diri sendiri pake istilah ini) seperti kita ini, apalagi jika kita punya banyak riwayat alergi, dokter yang akan mendiagnosis dan meresepkan obat maupun tindakan sangat perlu mengetahui dan mempertimbangkan masa lalu kita.. eh, riwayat medis kita maksudnya.
Terutama jika misalnya kita akan menjalani evaluasi terapi, seperti misalnya CT scan atau PET-CT. Gambaran yang komprehensif *halah* mengenai perjalanan penyakit dan terapi yang sudah dilakukan sangat perlu sebagai dasar mengambil kesimpulan bagi dokter yang akan membaca dan menerjemahkan hasil scan.
Kalau om dokprof onkologi tercinta yang rutin saya sambangi, setidaknya beliau akan menanyakan hasil lab terakhir dan 2 sebelumnya, hasil scan/x-ray terakhir, keluhan yang dirasakan dan obat apa yang sedang diminum. Oh ya, dan berat badan.
Biasanya saya berada di ruang om dokprof setidaknya 30-45 menit. Sepertinya lama ya? Tapi nggak terasa lho itu, malah pernah beberapa kali sampai 1 jam pun rasanya masih kurang lama. Dan dari waktu yang lumayan lama itu, setidaknya 5 menit di antaranya digunakan om dokprof untuk membaca dan membolak-balik rekam medis yang super tebal itu.
Oleh karena itu, untuk memudahkan semua proses itu, dan untuk memastikan bahwa setiap proses anamnesis atau 'interview' kita dengan dokter berjalan lancar dan memberi gambaran yang lengkap dan benar, alangkah baiknya jika kita menyiapkan rangkuman riwayat medis kita sendiri.
Di samping mempersingkat waktu konsultasi dan memberi gambaran yang lengkap, juga untuk keperluan kita sendiri, supaya kalau ada yang abnormal nggak cepat panik dan nggak terlalu nyantai.
Note : setelah dibaca ulang, bagian ini sepertinya nggak jelas deh. (meskipun bagian lain juga belum tentu jelas, huehue). Ditambahin dikit deh ya..
Maksudnya begini, hasil pemeriksaan medis, khususnya hasil lab, khususnya untuk para mutant seperti kita (kita? elu aja kali) biasanya banyak nggak normalnya. Maksudnya nggak normal ini adalah, nilainya di luar range normal yang menjadi nilai acuan.
Lalu apakah nilai nggak normal ini otomatis menjadi 'lampu merah' ?
Belum tentu. Kadang yang lebih penting daripada normal atau nggak normalnya adalah, bagaimana kecenderungannya alias perubahannya dibanding hasil-hasil sebelumnya?
Terutama kalau kita masih dalam tahap pengobatan, atau pemulihan.
Misalnya untuk kasus saya, semenjak kemoterapi selesai sampai sekarang, ada satu nilai yang selalu di atas range normal, yaitu LDH. Padahal ini merupakan salah satu parameter yang perlu diwaspadai dalam limfoma.
Tapi jika dilihat dari nilai selama ini, ternyata walaupun di atas nilai normal, kecenderungannya masih turun. Sehingga, berkaitan dengan ini om dokprof menyarankan untuk tidak terlalu khawatir, selama parameter lain, yaitu LED, Hb, Limfosit, dan berat badan masih ok, dan tidak ada gejala fisik yang lain yang mengarah kepada kecurigaan.
Nah, karena yang kita perlu pantau bukan cuma nilai terakhir, melainkan juga perubahannya (kenaikan/penurunan), maka untuk pemeriksaan rutin lab ini sebaiknya dilakukan di lab yang sama. Kenapa sampai di-bold? karena penting, hehe..
Sebab, masing-masing lab punya prosedur sendiri yang mungkin sedikit berbeda, dan nilai acuan normalnya pun biasanya berbeda-beda. Kalau kita periksanya pindah-pindah lab, akan sulit bagi kita untuk memantau naik/turunnya nanti. Begitu kira-kira.
Seperti apa bentuk dokumen rekapannya itu? Sebenernya untuk masing-masing orang bisa beda-beda ya, karena beda penyakit pasti beda juga cara dan parameter kontrolnya.
Tapi kurang lebih sih, untuk saya sendiri, poin yang saya catat adalah :
- Diagnosis penyakit secara lengkap. Saya ambilnya dari hasil patologi dan IHK
- Daftar terapi yang dijalani, tanggal berapa saja, obat apa saja yang dipakai, ada catatan khusus apa waktu terapi, misalnya ada komplikasi apa, ada penundaan apa, ada obat tambahan apa selain obat kemo. Oh ya, ini rekapan aja ya, untuk setelah selesai kemoterapi. Untuk catatan selama kemo, bisa lebih detail, karena digunakan untuk monitor kondisi selama kemo. (Kapan-kapan pengen nulis ini juga kalo gak males. Tapi contoh yang udah ada sih banyak, seperti misalnya ini, atau ini. malah ada appsnya juga kayak gini)
- Daftar scan yang dilakukan : tanggal, tempat, jenis scan, nama dokter yang menerjemahkan hasil scan, apa hasil yang penting dari setiap scan tersebut.
- Ini yang paling penting, karena akan terus dilihat : rekapan hasil lab. Nggak usah semuanya karena biasanya banyak banget, yang penting2 aja. Untuk kasus saya, saya catat Hb, Leukosit, Trombosit, Limfosit, LED, LDH. Satu tambahan yang tidak termasuk hasil lab, tapi saya catat juga setiap nge-lab, yaitu berat badan. Oh ya, tanggal dan nilai-nilai rujukannya juga dicantumkan supaya langsung kelihatan normal/tidaknya dan berapa jauh menyimpangnya.
- Oh ya, ini juga penting dan jangan sampai lupa : daftar alergi yang diketahui, terutama obat-obatan apa yang kita nggak bisa mengkonsumsinya.
Nanti saya upload contoh file excel yang saya buat deh, supaya ada gambaran. Nggak bagus2 amat sih, tapi cukupan lah buat contoh.
Nah, untuk dapat menyusun daftar di atas, hal yang perlu dilakukan selama berobat dan kontrol adalah :
- Setiap kali periksa ke lab, simpan 1 copy hasil lab untuk arsip kita. Kalau lupa atau nggak sempat ngopi, sekarang hp sudah cakep2, difoto aja dulu pake hp terus fotonya diprint atau disimpan.
- Setiap kali diresepkan obat, catat obat apa saja, untuk sakit apa, dosisnya berapa. Kalau bingung bisa ditanya ke apoteker waktu menebus obatnya.
- Setiap pulang dari rawat inap atau tindakan (kemo/radiasi), biasanya dikasih surat pengantar yang isinya catatan selama kita rawat inap dan tindak lanjutnya. Simpan surat pengantar tersebut. Kalau tidak diberi, mungkin bisa minta ke perawat atau kalau nggak disediakan ya kita catat sendiri.
- Simpan hasil foto/scan/usg baik2, lengkap dengan catatannya.
Rekapannya itu juga sebetulnya dibikin menjelang PET-CT, gara2 nervous dan nggak bisa tidur, dan deg2an. Jadi bikin kesibukan biar seolah2 sibuk *apasih*
Tapi insyaAllah bermanfaat banget kok ternyata, dan waktu saya mau PET-CT, dokter radiologi nuklir yang mewawancara waktu itu sampai terkesan dan bertanya, "Mbaknya orang medis ya?", yang waktu itu dijawab dengan : "Bukan dok, saya orang sakit" :P
Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. Nanti kalau dah sempat ngerapiin, contoh file-nya diupload deh.
Jumat, 24 Februari 2017
Perpanjangan waktu :)
Alhamdulillah menjelang pergantian hari kemarin sudah ketemu lagi sama om dokter propesor, dan sejauh ini masih survive. Kata beliau, dengan milestone 3 tahun ini harapan beliau bahwa saya akan jadi 'pemenang' semakin besar.
Seperti biasa, beliau mengingatkan bahwa berdasar kacau-balaunya kondisi sewaktu mulai terapi dulu, status remisi yang sekarang dinikmati ini termasuk di luar dugaan, alias harus banyak-banyak-banyak-banyaaak.. disyukuri.
Karena sejauh ini nggak ada indikasi yang mencurigakan, maka om dokprof mengusulkan bagaimana kalau jadwal PET-CT dipending dulu, tapi tetap dengan disertai kewaspadaan dan pengawasan melekat serta kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat *apasih* Oh saya sih senang2 aja.
Om dokprof sempat tanya, sekarang minum apa? suplemen atau apa yang tradisional gitu, misalnya buntut cicek atau apa? *ih*
Yang saya jawab, enggak ada sih dok, saya tunggu kabar gembira aja deh, kalau buntut cicek sudah ada ekstraknya :P
Akhirnya, dengan dibekali selembar kertas yang harus dibawa ke lab, dengan ditulisi "setiap 3 bulan sekali", om dokter propesor mengucapkan, sampai jumpa 6 bulan mendatang. Kalau sebelum itu ada aktifitas yang mencurigakan dan mengarah kepada tindakan makar, jangan sungkan datang.
Meskipun sebetulnya saya sih seneng2 aja ngobrol sama om dokprof, semoga nggak perlu ketemu sebelum 6 bulan deh.
Demikianlah sekilas info. Tetap saling mendoakan supaya tetap sehat lahir batin yaa..
Senin, 13 Februari 2017
Kemudahan yang Tak Terhingga
Seperti rencana di entry sebelumnya, I'll try to list what I'm grateful for.
Yea.. I know, “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya,” (QS. Ibrahim:34) Tapi setidaknya saya coba deh, untuk mengingatkan diri sendiri saja setidaknya.
Meskipun saya termasuk orang yang betah menyendiri, tapi tidak bisa dipungkiri, one of my biggest blessings are people. Orang-orang baik, yang hadir di saat yang dibutuhkan. Nikmat dan kemudahan yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan.
Salah satu, atau salah beberapa-nya adalah my caregivers. Orang-orang yang mendampingi dan merawat selama saya sakit.
Betapa Allah mengatur dengan indahnya, ketika saya mulai tidak bisa ngapa-ngapain sendiri, kebetulan adik bungsu baru lulus dari kuliahnya di jurusan kebidanan. Dengan titah dari kanjeng mamih dan papih, dan kesepakatan khalayak ramai, yaitu kakak2nya (kakaknya adik saya maksudnya) dan tante2 saya, dan tentunya keikhlasan dari ybs, akhirnya saya mendapatkan perawat pribadi yang bertugas secara full time.
Tidak cukup satu, tapi satu lagi adik saya yang tadinya tinggal di bekasi, merelakan diri untuk bolak-balik, bekasi-jakarta-cikarang selama hampir setahun itu, untuk mensupport kami berdua, bahkan seringkali merelakan diri untuk menginap di RS untuk menemani atau menggantikan si bungsu.
Penting banget lho ini, sebab bagaimanapun adik saya itu kan anak bungsu yang belum pernah jauh dari orang tua. Tiba-tiba harus mengurus orang sakit di antah berantah ibu kota, pasti butuh support dan teman seperjuangan. Belum lagi urusan baju, urusan makan, dan lain-lain. Singkatnya, i was so lucky i had both of them with me.
Didampingi oleh orang yang mengerti soal kesehatan itu betul-betul sebuah 'kemewahan' dan kemudahan yang tiada taranya. Apalagi mengingat perjalanan mengejar diagnosis yang rumit dan nggak sampai-sampai itu.
Yang pertama terasa sekali adalah ketika masih didiagnosis TBC dan kemudian alergi rifampicin dan isoniazid, sehingga dokter terpaksa meresepkan obat lini ke dua, yaitu streptomicyn, yang harus disuntikkan tiap hari. Iya betul, tiap hari.
Waktu itu dokter kasih pengantar untuk mencari bidan atau mantri terdekat, supaya lebih mudah. Tapi itupun nggak kebayang ya, tiap sore harus mondar mandir ke tempat bidan atau dokter buat minta suntik. Lhawong jalan aja sudah hampir nggak sanggup.
Oh ya, waktu itu ternyata kondisi paru-paru sudah tinggal 1 saja yang berfungsi, paru sebelah kiri kolaps atau kempes total, sedangkan sebelah kanan terdesak jantung, makanya perasaan nggak karuan deh.
Nah, urusan suntik menyuntik ini akhirnya nggak jadi masalah karena saya nggak perlu jalan ke mana-mana untuk mencari bidan, kan bidannya sudah in the house. Waktu itu dokter paru saya yang lembut hati itu pun sampai ikut bahagia banget gitu waktu saya bilang bidannya sudah ada, tinggal kerja, kerja.. #eh
Yang berikutnya tentunya selama sebulan di RS. Bisa dibilang saya pasien yang mandiri banget dan jarang merepotkan suster yang sudah cukup repot merawat pasien yang kebanyakan sakit berat di ruangan berisi 5 orang itu. Bukan karena saya bisa ngapa-ngapain sendiri, tapi karena kalau mau ngapa-ngapain sudah ada yang membantu, yang sudah cekatan dan akrab dengan segala perlengkapan dan peralatan RS.
Punya pendamping yang lumayan aware soal kesehatan, membuat saya jadi lebih PD untuk ikut membuat keputusan dalam pengobatan. Misalnya ketika jadwal kemo yang tidak kunjung tiba, sedangkan paru-paru saya cepat sekali penuh terisi cairan. Waktu itu dokter paru menginstruksikan kepada perawat untuk mengeluarkan cairan paru sehari 1 liter. Awalnya 1 liter sehari itu nggak masalah buat saya, bahkan pernah lebih dari itu. Tapi lama-lama belum 1 liter dada saya sudah terasa seperti digencet gajah. Tulang punggung dan tulang rusuk nyerinya minta maaf.
Setelah 'protes' ke perawat, dan dijawab dengan 'perintah dokter 1 liter', akhirnya saya sendiri berinisiatif untuk menutup 'kran' pigtail (selang yang dipasang di punggung untuk mengeluarkan cairan paru), kalau sakitnya mulai nggak ketahan lagi. Dan ketika dokter paru berkunjung, saya pun protes lagi, yang akhirnya dikabulkan oleh Pak Dokter.
Satu lagi kejadian yang penting, yaitu ketika setelah mini kemo yang pertama, tanpa diketahui, paru-paru saya terkena infeksi. Awalnya kran pigtail yang setiap harinya mengeluarkan cairan tiba-tiba macet, malah cairannya bocor melalui jahitan (maap lho kalau TMI alias too much info, ini agak ngilu juga nulisnya sebetulnya).
Tadinya suspectnya adalah jahitan kendor, sehingga perlu dijahit ulang #ouch!. Tapi setelah dijahit ulang pun ternyata masih bocor. Tadinya dokter paru merencanakan untuk mengganti pigtail dengan selang yang lebih besar, dan tanpa kran. Maksudnya supaya meminimalisir kebocoran.
Tapi untungnya beliau membicarakan dulu dengan kami (saya dan adik), ditambah suster yang nantinya akan membantu proses penggantian selang. Beliau bahkan sudah bawa itu contoh selang dan kantongnya.
Saya waktu itu sudah pasrah aja, yang penting bagaimana bisa bernafas dan berjalan lagi dengan baik. Alhamdulillah adik saya masih berkepala dingin dan cukup cermat, sehingga mengingatkan dokter tentang kesakitan yang saya alami kalau cairannya dikeluarkan terlalu banyak. Dokter Paru
yang berdedikasi tinggi itu (sampai-sampai long weekend pun beliau tetep visit lho, keren kan.. ) terdiam sejenak, dan setelah mempertimbangkan, akhirnya setuju kalau keran tetap dibutuhkan.
Langkah yang diambil akhirnya, dari pigtail yang existing itu di-flush dengan bantuan spuit besar. Dari situ ketahuan kalau kebocoran adalah karena cairan yang tadinya bening berubah menjadi keruh dan kental, alias tanda-tanda infeksi. Dan sejak itu mulailah petualangan bersama Tripenem, antibiotik spektrum luas yang sehari bisa mencapai jutaan rupiah itu (huehue.. tetep ya.. itungannya rupiah).
Masih banyak sebetulnya kejadian yang mungkin bakalan rumit kalau saja caregiver saya nggak terlalu faham soal kesehatan. Yang jelas, dengan didampingi orang yang bisa diajak diskusi, saya sendiri juga jadi lebih PD dan lebih nyaman untuk menjalani, dan ikut memutuskan jalannya pengobatan.
Memang betul janji Allah, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.
Alhamdulillah..
Yea.. I know, “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya,” (QS. Ibrahim:34) Tapi setidaknya saya coba deh, untuk mengingatkan diri sendiri saja setidaknya.
Meskipun saya termasuk orang yang betah menyendiri, tapi tidak bisa dipungkiri, one of my biggest blessings are people. Orang-orang baik, yang hadir di saat yang dibutuhkan. Nikmat dan kemudahan yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan.
Salah satu, atau salah beberapa-nya adalah my caregivers. Orang-orang yang mendampingi dan merawat selama saya sakit.
Betapa Allah mengatur dengan indahnya, ketika saya mulai tidak bisa ngapa-ngapain sendiri, kebetulan adik bungsu baru lulus dari kuliahnya di jurusan kebidanan. Dengan titah dari kanjeng mamih dan papih, dan kesepakatan khalayak ramai, yaitu kakak2nya (kakaknya adik saya maksudnya) dan tante2 saya, dan tentunya keikhlasan dari ybs, akhirnya saya mendapatkan perawat pribadi yang bertugas secara full time.
Tidak cukup satu, tapi satu lagi adik saya yang tadinya tinggal di bekasi, merelakan diri untuk bolak-balik, bekasi-jakarta-cikarang selama hampir setahun itu, untuk mensupport kami berdua, bahkan seringkali merelakan diri untuk menginap di RS untuk menemani atau menggantikan si bungsu.
Penting banget lho ini, sebab bagaimanapun adik saya itu kan anak bungsu yang belum pernah jauh dari orang tua. Tiba-tiba harus mengurus orang sakit di antah berantah ibu kota, pasti butuh support dan teman seperjuangan. Belum lagi urusan baju, urusan makan, dan lain-lain. Singkatnya, i was so lucky i had both of them with me.
Didampingi oleh orang yang mengerti soal kesehatan itu betul-betul sebuah 'kemewahan' dan kemudahan yang tiada taranya. Apalagi mengingat perjalanan mengejar diagnosis yang rumit dan nggak sampai-sampai itu.
Yang pertama terasa sekali adalah ketika masih didiagnosis TBC dan kemudian alergi rifampicin dan isoniazid, sehingga dokter terpaksa meresepkan obat lini ke dua, yaitu streptomicyn, yang harus disuntikkan tiap hari. Iya betul, tiap hari.
Waktu itu dokter kasih pengantar untuk mencari bidan atau mantri terdekat, supaya lebih mudah. Tapi itupun nggak kebayang ya, tiap sore harus mondar mandir ke tempat bidan atau dokter buat minta suntik. Lhawong jalan aja sudah hampir nggak sanggup.
Oh ya, waktu itu ternyata kondisi paru-paru sudah tinggal 1 saja yang berfungsi, paru sebelah kiri kolaps atau kempes total, sedangkan sebelah kanan terdesak jantung, makanya perasaan nggak karuan deh.
Nah, urusan suntik menyuntik ini akhirnya nggak jadi masalah karena saya nggak perlu jalan ke mana-mana untuk mencari bidan, kan bidannya sudah in the house. Waktu itu dokter paru saya yang lembut hati itu pun sampai ikut bahagia banget gitu waktu saya bilang bidannya sudah ada, tinggal kerja, kerja.. #eh
Yang berikutnya tentunya selama sebulan di RS. Bisa dibilang saya pasien yang mandiri banget dan jarang merepotkan suster yang sudah cukup repot merawat pasien yang kebanyakan sakit berat di ruangan berisi 5 orang itu. Bukan karena saya bisa ngapa-ngapain sendiri, tapi karena kalau mau ngapa-ngapain sudah ada yang membantu, yang sudah cekatan dan akrab dengan segala perlengkapan dan peralatan RS.
Punya pendamping yang lumayan aware soal kesehatan, membuat saya jadi lebih PD untuk ikut membuat keputusan dalam pengobatan. Misalnya ketika jadwal kemo yang tidak kunjung tiba, sedangkan paru-paru saya cepat sekali penuh terisi cairan. Waktu itu dokter paru menginstruksikan kepada perawat untuk mengeluarkan cairan paru sehari 1 liter. Awalnya 1 liter sehari itu nggak masalah buat saya, bahkan pernah lebih dari itu. Tapi lama-lama belum 1 liter dada saya sudah terasa seperti digencet gajah. Tulang punggung dan tulang rusuk nyerinya minta maaf.
Setelah 'protes' ke perawat, dan dijawab dengan 'perintah dokter 1 liter', akhirnya saya sendiri berinisiatif untuk menutup 'kran' pigtail (selang yang dipasang di punggung untuk mengeluarkan cairan paru), kalau sakitnya mulai nggak ketahan lagi. Dan ketika dokter paru berkunjung, saya pun protes lagi, yang akhirnya dikabulkan oleh Pak Dokter.
Satu lagi kejadian yang penting, yaitu ketika setelah mini kemo yang pertama, tanpa diketahui, paru-paru saya terkena infeksi. Awalnya kran pigtail yang setiap harinya mengeluarkan cairan tiba-tiba macet, malah cairannya bocor melalui jahitan (maap lho kalau TMI alias too much info, ini agak ngilu juga nulisnya sebetulnya).
Tadinya suspectnya adalah jahitan kendor, sehingga perlu dijahit ulang #ouch!. Tapi setelah dijahit ulang pun ternyata masih bocor. Tadinya dokter paru merencanakan untuk mengganti pigtail dengan selang yang lebih besar, dan tanpa kran. Maksudnya supaya meminimalisir kebocoran.
Tapi untungnya beliau membicarakan dulu dengan kami (saya dan adik), ditambah suster yang nantinya akan membantu proses penggantian selang. Beliau bahkan sudah bawa itu contoh selang dan kantongnya.
Saya waktu itu sudah pasrah aja, yang penting bagaimana bisa bernafas dan berjalan lagi dengan baik. Alhamdulillah adik saya masih berkepala dingin dan cukup cermat, sehingga mengingatkan dokter tentang kesakitan yang saya alami kalau cairannya dikeluarkan terlalu banyak. Dokter Paru
yang berdedikasi tinggi itu (sampai-sampai long weekend pun beliau tetep visit lho, keren kan.. ) terdiam sejenak, dan setelah mempertimbangkan, akhirnya setuju kalau keran tetap dibutuhkan.
Langkah yang diambil akhirnya, dari pigtail yang existing itu di-flush dengan bantuan spuit besar. Dari situ ketahuan kalau kebocoran adalah karena cairan yang tadinya bening berubah menjadi keruh dan kental, alias tanda-tanda infeksi. Dan sejak itu mulailah petualangan bersama Tripenem, antibiotik spektrum luas yang sehari bisa mencapai jutaan rupiah itu (huehue.. tetep ya.. itungannya rupiah).
Masih banyak sebetulnya kejadian yang mungkin bakalan rumit kalau saja caregiver saya nggak terlalu faham soal kesehatan. Yang jelas, dengan didampingi orang yang bisa diajak diskusi, saya sendiri juga jadi lebih PD dan lebih nyaman untuk menjalani, dan ikut memutuskan jalannya pengobatan.
Memang betul janji Allah, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.
Alhamdulillah..
Senin, 30 Januari 2017
Menjelang setahun
Waktu setahun itu ternyata cepat sekali ya berlalunya. Tahu-tahu sudah mau jadwal kontrol ke Prof Aru lagi.
Alhamdulillah sudah daftar untuk bulan depan, dan alhamdulillah dapat antrian no. 14.
Luar biasa sekali si om ini ya.. seperti antri tiket kereta api saja, masih sebulan sudah berderet.
Setahun ini sebetulnya banyaak.. sekali yang terjadi, tapi karena tidak pernah blogging lagi, sepertinya tidak ada apa-apa. Well.. tidak ada apa-apa yang bombastis sih. Dan seperti biasa, untuk seorang lulusan kemoterapi, no news is good news. Jadi, alhamdulillah..
Sebetulnya (lagi), pengen sering-sering blogging (lah, kenapa enggak?), terutama untuk merefresh rasa syukur yang selama setahun ini tentunya naik turun seiring dengan ingat atau enggaknya dengan hal-hal yang mestinya disyukuri.(note: mohon maaf kalau sesudah setahun ini gaya menulisnya nggak ada perbaikan, tetep ruwet dan nggak tunjepoin, hehe..)
Jadi, mari kita mulai dengan yang paling baru. Iya, sekitar 10 menit yang lalu.
Kejadiannya pas turun dari lantai 5 ke lantai 3. Sebetulnya sudah mau naik lift, tapi melihat lift posisinya masih turun dari lantai 4, akhirnya lewat tangga saja lah. Hitung-hitung olah raga.
Elakok.. di tangga menuju lantai 4, sempat-sempatnya terpeleset dengan manis.
Memang betul ya yang digambarkan di film-film itu, bahwa sepersekian detik kejadian itu rasanya bisa seperti lamaaa... sekali. Seperti slow motion begitu. Sudah pasrah bagaimana tadi akan mendaratnya. Alhamdulillah.. somehow sukses terlewat 4 anak tangga, tapi bisa langsung berdiri lagi dengan agak malu gitu deh *huehue*
Mungkin hasil kejadiannya secara jelas baru akan ketahuan besok, tapi mudah-mudahan sih nggak apa-apa selain agak pegal dan agak malu itu tadi.
Intinya, sebetulnya kalau mau menghitung-hitung nikmat yang diberikan Allah, nggak akan ada habisnya. Karena dihindarkan dari kejadian yang jauh lebih buruk (dan lebih memalukan) itu tadi saja sudah nikmat yang nggak terkira.
Belum lagi waktu yang setahun ini, yang dilalui tanpa harus ketemu Prof Aru, yang berarti masih sukses mempertahankan status sebagai anggota NED alias golongan penerima remisi.
Akhirul kalam, mohon doanya, semoga kontrol bulan depan statusnya tetap NED yaa..
Alhamdulillah sudah daftar untuk bulan depan, dan alhamdulillah dapat antrian no. 14.
Luar biasa sekali si om ini ya.. seperti antri tiket kereta api saja, masih sebulan sudah berderet.
Setahun ini sebetulnya banyaak.. sekali yang terjadi, tapi karena tidak pernah blogging lagi, sepertinya tidak ada apa-apa. Well.. tidak ada apa-apa yang bombastis sih. Dan seperti biasa, untuk seorang lulusan kemoterapi, no news is good news. Jadi, alhamdulillah..
Sebetulnya (lagi), pengen sering-sering blogging (lah, kenapa enggak?), terutama untuk merefresh rasa syukur yang selama setahun ini tentunya naik turun seiring dengan ingat atau enggaknya dengan hal-hal yang mestinya disyukuri.(note: mohon maaf kalau sesudah setahun ini gaya menulisnya nggak ada perbaikan, tetep ruwet dan nggak tunjepoin, hehe..)
Jadi, mari kita mulai dengan yang paling baru. Iya, sekitar 10 menit yang lalu.
Kejadiannya pas turun dari lantai 5 ke lantai 3. Sebetulnya sudah mau naik lift, tapi melihat lift posisinya masih turun dari lantai 4, akhirnya lewat tangga saja lah. Hitung-hitung olah raga.
Elakok.. di tangga menuju lantai 4, sempat-sempatnya terpeleset dengan manis.
Memang betul ya yang digambarkan di film-film itu, bahwa sepersekian detik kejadian itu rasanya bisa seperti lamaaa... sekali. Seperti slow motion begitu. Sudah pasrah bagaimana tadi akan mendaratnya. Alhamdulillah.. somehow sukses terlewat 4 anak tangga, tapi bisa langsung berdiri lagi dengan agak malu gitu deh *huehue*
Mungkin hasil kejadiannya secara jelas baru akan ketahuan besok, tapi mudah-mudahan sih nggak apa-apa selain agak pegal dan agak malu itu tadi.
Intinya, sebetulnya kalau mau menghitung-hitung nikmat yang diberikan Allah, nggak akan ada habisnya. Karena dihindarkan dari kejadian yang jauh lebih buruk (dan lebih memalukan) itu tadi saja sudah nikmat yang nggak terkira.
Belum lagi waktu yang setahun ini, yang dilalui tanpa harus ketemu Prof Aru, yang berarti masih sukses mempertahankan status sebagai anggota NED alias golongan penerima remisi.
Akhirul kalam, mohon doanya, semoga kontrol bulan depan statusnya tetap NED yaa..
Langganan:
Komentar (Atom)

