Jumat, 20 September 2013

Alhamdulillah komplit, selamat tinggal kemoterapi!

Alhamdulillah wa syukurillah.. Ada kabar gembira, kemoterapi yang ke 7 kemarin ini ternyata jadi putaran terakhir. Mudah-mudahan beneran terakhir, nggak akan ada lagi sepanjang hayat dikandung badan. Aaamiiin...

Waktu itu pernah diceritain kan, kalau rencananya kemoterapi ini akan dilakukan 8 kali atau disebut cycle, dengan selang 3 minggu per cycle-nya. Nah, dari rencana 8 putaran kemoterapi, pak dokter akhirnya mencukupkan sampai 7 saja.

Sebetulnya seperti yang ditulis di entry sebelumnya, malah sempat akan dijatah 6 saja, tapi akibat kemo ke 4 sempat mundur sampai 2 minggu gara-gara 'kegajlug' herpes, maka dokter AWS tidak ingin ambil resiko, dan memutuskan 7 atau 8. Alhamdulillah 7 saja cukup.

Setelah ini lalu apa?

Nah, itu die.. waktu kontrol sesudah terapi ke 5, dokter sempat menyinggung radioterapi. Bukan terapi mendengarkan radio ya, tapi terapi dengan radiasi sinar x.

Tapi keputusan sinar atau tidak ini juga dengan catatan kondisi jantung memungkinkan, mengingat letak tumornya di mediastinum kiri dan mengacak-acak penempatan dan fungsi jantung. Dokter bilang, akan dikonsultasikan secara seksama dengan dokter radiologi dan kardiologi.

Tapii.. waktu kontrol sebelum terapi ke 7 ini, dokter AWS nggak lagi menyinggung masalah radioterapi, tapi justru membicarakan kemungkinan kemoterapi dicukupkan sampai 7 saja, tapi dilanjutkan dengan maintenance dengan Rituximab a.k.a mabthera setiap 2 bulan sekali selama 2 tahun.
waktu itu kalkulator di kepala langsung tang ting tung, hitung-hitung 15 kali 12 berapa yaa... sampai-sampai pasiennya lupa nggak nanya lagi soal rencana radioterapi.

Oh ya, belum lagi ternyata leukosit (lagi-lagi) terjun, padahal sepuluh hari sebelumnya pun sudah didoping filgrastim. Mungkin sumsum tulang yang bertugas membuat leukosit akhirnya merasa 'terhina' karena tiap 3 minggu diperlakukan semena-mena sama R-CHOP.

Dokter memberikan pengantar cek darah hematologi lengkap + LED alias laju endap darah untuk mengecek inflamasi + RET untuk mengecek fungsi sumsum tulang + LDH untuk mengecek limfoma-nya. Hmm banyak ya..

Selain itu dokter AWS juga menjadwalkan konsultasi dengan dokter kardiologi di hari rabu, jadi dibuatkan pengantar konsul, dan jadwal kemo di-adjust jadi hari selasa, supaya gak perlu bolak balik.

Karena banyak pe er dan informasi baru, akhirnya melayang semua deh daftar pertanyaan dari kepala. Iya sih, sapa suruh pertanyaannya ngggak dicatet?

Singkat kata singkat cerita, besokannya ke YKI beli mabthera + filgrastim, besokannya filgrastimnya disuntikin, dua hari berikutnya terkapar nggak bisa ngapa2in, besokannya lagi balik ke lab untuk cek darah persiapan kemo, besokannya lagi cek in untuk kemoterapi ke 7.

Oh ya, untuk cek jantung yang ini, pak dokter AWS menjadwalkan ke dokter yang beda dengan yang dulu. Kalau dokter kardiologi yang dulu bisa dibilang agak 'sedapatnya' karena memang kasusnya darurat (jantung hampir jebol gara-gara nggak kuat sama aminophillin). Kali ini pak dokter punya kandidat sendiri. Alhamdulillah, dokter yang baru ini jauh lebih komunikatif, dan sepertinya observasinya lebih terintegrasi sama rencana pengobatan kankernya.

Kalau belum mengalami sendiri, memang nggak kebayang kalau dokter itu bisa juga nggak peduli dengan pengobatan pasien secara keseluruhan.
Dulu waktu periksa sama dokter kardiologi yang lama, pasiennya sempat tanya, jadi gimana kesimpulannya dok, kira-kira kuat nggak ya untuk mulai kemo. Eh dokternya cuma angkat bahu sambil bilang dengan agak jutek, oh saya nggak tau ya soal itu, saya sih liatnya ini denyutnya masih kuat.

Lah?? Apa salah gue kok dijutekin dokter gini. Padahal kan periksa-periksa jantung ini juga dalam rangka persiapan terapi kanker yang benar-benar beresiko 'merusak' jantung.

Mungkin dokternya memang lagi banyak pikiran, tapi kaannn... mengingat biaya echo-cardiogram dan konsultasi dokter juga gak murah, I thought we as patient dan juga konsumen berhak dong mendapatkan pelayanan yang baik. Sempat kecewa berat waktu itu, karena di satu sisi, dokter-dokter onkologi dan dokter paru semua concern  dengan kesiapan jantung untuk kemoterapi, eh ini dokter jantung malah terkesan lepas tangan.

Tapi yasudahlah. Kita lupakan saja yang telah lalu. Alhamdulillah dokter yang baru ini jauh lebih baik, lebih ramah. She asked, she listened, dan jelas ada komunikasi dengan dokter AWS. Jadi lebih mantap.

Biasanya kemo cuma perlu 1 sampai 2 hari, karena kali ini ada jadwal echo-doppler untuk cek jantung, terpaksa nginep semalam lagi, dan karena ada kesalah fahaman soal obat prednison yang harus dibawa pulang, terpaksa nunggu sampai hampir 5 jam lagi.

Alhamdulillah, akhirnya setelah 3 hari yang kali ini cukup terasa panjang, sampai rumah lagi dengan lancar, dan bisa mengucapkan selamat tinggal kemoterapi!

Tapi perjuangan masih puanjaaang.. pengobatan belum selesai, masih perlu banyak persiapan fisik, mental dan finansial untuk menjalaninya.
Oh ya, dan tetep ya temans, mohon doanya supaya pengobatannya lancar, sembuh dengan tuntas.

Kamis, 29 Agustus 2013

Oh rupiah, menguatlah.. terapi R-CHOP masih dua lagi nihh..

Ternyata nggak cuma pengusaha dan ibu-ibu rt aja yang kena imbas melemahnya rupiah, tapi tukang ngobat seperti saya juga gak bisa lepas dari pukulan dolar.

Jumat lalu, sebelum terapi ke 6, seperti biasa ke Roche di SCBD untuk ambil Mabthera alias rituximab.
Ini jatah diskon yang terakhir, sebelum kembali swadaya untuk 2 putaran terakhir.
Obat ini termasuk jenis monoclonal antibody, yang membantu 'mengarahkan' obat-obatan kemoterapi supaya lebih tepat sasaran. Kalau menurut statistik, obat ini meningkatkan keberhasilan pengobatan sampai 20%.
Any positive statistic number is a big number for a cancer patient, so you bet we will go a long way to get it.

Tiga minggu sebelumnya harga obat ini masih relatif tetap sama dari pertama terapi di bulan april kemarin, yaituuuu.... *drum roll pleaseee..* 15.5 juta sekali suntik.
Tapiii... jumat lalu cap di kotak obat mungil itu tau-tau sudah berubah menjadiiii... *jejeng!!* 19.7 juta saja, teman-teman!
Innalillahii! Wow! Huah! @#%&&*&%????? *speechless*
Hhllooo... bukan lagi naik harga, tapi ganti harga ini sih...
Baiklah.. bagaimana lagi.. bismillah saja semoga rupiah tidak terus terpuruk, sukur2 bisa membaik pas nanti waktunya beli obat. Ya sekitar 2 minggu dan 5 minggu ke depan deh *hihi, egois amat ini harapannya*

Oh ya, mumpung dah cerita soal obat, sekalian 'bayar hutang' dulu untuk tulisan soal terapi deh.
Bismillah, mudah-mudahan gak menyesatkan yaa...

Seperti sudah pernah diceritain sebelumnya, diagnosis final adalah Lymphoma, tipe NHL (non hodgkin lymphoma), lebih spesifiknya DLBCL (Diffuse Large B-Cell Lymphoma), lebih spesifiknya lagi Mediastinum DLBCL.
DLBCL ini termasuk high grade NHL, alias NHL yang agresif, alias tumbuhnya cepet.
Sedangkan Mediastinal Lymphoma ini termasuk DLBCL yang agresif. Jadi dobel deh.
Nah, kebayang kan seberapa pecicilan-nya barang ini. Pantesan dalam waktu sebulan aja doi sudah membuat banyak kerusakan di muka bumi.

Jenis agresif kek gini kerugian dan bahayanya udah jelas, yaitu karena tumbuhnya cepet, jadi kemana-mana deh. Dan kalau tidak segera ditangani, bisa menimbulkan kerusakan permanen di organ-organ dalam, misalnya kena SVC syndrome (superior vena cava syndrome), kerusakan jantung, bahkan hati dan ginjal. Hueh, kok serem sih..

Tapi karena kita tetap harus berusaha mencari sisi positif dari segala hal, supaya tetap bisa bersyukur dan optimis, maka keuntungan lymphoma agresif adalah sel-selnya lebih mudah dibedakan dari sel-sel normal, karena saking abnormalnya kelakuan mereka. Akibatnya, sel-sel kanker ini juga lebih mudah ditarget oleh obat-obatan terapi, dan kemungkinan untuk dimusnahkan sampai tuntas juga lebih besar (Aaamiin.. aaamiiin). Yang artinya kemungkinan untuk disembuhkan tuntas juga lebih besar  (aaamiiin.. aaamiiin.. ) dibanding jenis yang indolent alias non-agresif.

Untuk limfoma jenis mediastinal dlbcl ini, terapi yang umumnya diberikan adalah : kemotherapi dengan CHOP, immunotherapy dengan Rituximab atau Mabthera itu tadi, dan sesudahnya dilanjutkan dengan radiasi atau penyinaran setelah semua putaran kemoterapi diselesaikan.

jumlah putaran terapi diberikan berbeda2 untuk tiap pasien, tergantung stadiumnya, biasanya minimal 2 kali, maksimal 8. Jaraknya tiap 3 minggu, makanya suka disebut juga RCHOP-21.

Kemoterapi dan immunoterapi biasanya diberikan sekaligus, dan disebut dengan immuno-chemotherapy. Gabungan obatnya biasa disingkat sebagai R-CHOP (Penjelasan yang lumayan enak ada disini nih):
R : Rituximab alias mabthera, karena jenis limfoma-nya CD-20 positif
C : Cyclophosphamide, i get endoxan
H : Hydoxydaunorubicin (doxorubicin atau adriamicin), biasa dijuluki big-red karena cairannya berwarna merah
O : Oncovin (vincristine)
P : Prednisone, jenis corticosteroid

Urutan pemberiannya yang biasa aku dapat adalah : R, 500 ml diberikan selama kurleb 2 jam, bilasan selama 8 jam,lalu dilanjutkan dengan O selama 15 menit, H selama 30 menit dan terakhir C selama satu jam. Kalau nggak salah ingat ini juga *hehe*
Biasanya nginep semalam di RS sudah cukup, atau kalau nggak mau nginep bisa datang ke poli onkologi, tapi gak kebayang kalau harus duduk terus selama 14 jam terus pulang. Mending nginep sekalian deh biar agak santey.

Selama dan sesudah terapi disarankan banyak makan buah dan sayuran, dan banyak minum air putih untuk membersihkan sisa-sisa obat dari tubuh.

Efek samping? Jangan ditanya deh.. lengkap kalau mau dari yang ringan sampai yang ngeri. Misalnya H alias doxorubicin yang maksimal cuma bisa diberikan 8 kali seumur hidup karena efeknya merusak jantung. Hal ini yang kemungkinan juga terjadi pada the late Hugo Chavez yang meninggal karena serangan jantung setelah menjalani terapi kanker paru-paru. So you might survive cancer but it could be with the cost of your heart. Atau resiko infeksi dan sepsis karena daya tahan tubuh terjun sampai hampir nol misalnya. Atau resiko mendapatkan jenis kanker yang lain di kemudian hari. Nah loh, obat kanker resikonya kanker juga.

Atau yang cukup 'ringan' seperti kulit dan kuku jadi item2 karena hiperpigmentasi, neural neuropathy alias nyeri2 syaraf, kesemutan dan mati rasa di ujung2 jari, mual, diare atau malah konstipasi, luka-luka di mulut dan saluran pencernaan, dan lain-lain.

Tapi begitulah hidup, isinya pilihan, bagaimana kita menimbang resiko dan membuat keputusan. Karena takut terapi karena takut efek samping, padahal terapi itu perlu dan sesuai buat kita, bisa jadi artinya menyerah sebelum bertanding. Jadi, bismillah.. banyak-banyak berdoa.. mari berjuang! (menyemangati diri sendiri)

Wah, seperti biasa.. kalau lagi mengarang indah gini mood suka tiba-tiba ngilang..
Baiklah, kita cukupkan dulu sementara ya, kapan-kapan dilanjutnya lagi, mudah-mudahan lebih semangat jadi nulisnya lebih tertata rapi.
Tetep mohon doanya, supaya lancar berobatnya, dan bisa sembuh dengan sempurna.
Love you all! *hayah*

Kamis, 22 Agustus 2013

Evaluasi tengah musim

Hai temans!
Mohon maaf lama liburnya. Sebetulnya buanyaak yang sudah dilakukan, dan banyak juga yang harusnya sudah dilakukan tapi tidak dilakukan *hayah, mulai deh*
Dan banyak juga 'hutang' kabar yang belum ditunaikan, seperti misalnya soal sebenernya sakit apa sih, kemoterapinya gimana sih, dan yang lumayan baru, gimana hasil review tengah musim-nya *kayak sepakbola aja ada mid-season-nya*

Jadi langsung aja deh kita mulai. Hmm.. mulai dari mana yaa..
Dari yang terakhir aja ya. Review pertengahan terapi.
Seperti yang udah disebutkan sebelumnya, untuk bahan review perlu dilakukan CT-scan dengan posisi dan metode yang sama dengan CT-scan terakhir (pra-terapi) untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dan manfaat terapinya. CTS dilakukan dua minggu setelah terapi ke 4 (dari total 8 kali). Dokternya sempat memberi 'angin surga' bahwa kalau hasil scannya oke, doi akan mencukupkan terapinya menjadi 6 kali saja, dan sejauh ini dari hasil konvensi (apa konferensi? ya kira2 itu deh..) memang disepakati untuk mempertimbangkan 6 kali terapi.

Sehari sebelum CT-scan, seperti biasa cek darah dulu untuk melihat kadar ureum dan kreatinin. Tujuannya adalah memastikan fungsi ginjal baik, karena 'zat kontras' yang diberikan pas scan nanti lumayan membebani kerja ginjal. Seperti biasa ke pasar rebo saja yang deket, datang sore, hasil diambil besok paginya.

Besoknya ambil hasil, trus kabur ke medistra. Sempet ngintip dulu hasil cek darahnya, alhamdulillah tenang.. kadar leukosit bagus banget, 6600.
Sungguh di luar dugaan, mengingat selama hampir 2 minggu terakhir demam naik turun akibat kena campak.
Ya sodara-sodara.. setelah kemarin kena herpes, lalu (most likely) chikungunya, edisi kali ini diramaikan dengan campak. Doain mudah-mudahan ini edisi yang terakhir deh yaa.. selebihnya nanti sehat-sehat selalu.. 

Sampai medistra alhamdulillah nggak ada antrian, tapi karena datangnya pas menjelang jam istirahat, terpaksa harus tunggu sampai jam satu siang. Lumayanlah buat tidur2 ayam.
Jam setengah 1 ternyata sudah dipanggil, selesai scan sekitar jam setengah 2-an karena nunggu infus habis satu botol dulu untuk 'membilas' ginjal. Sebenernya sih bisa dilewatin aja, diganti sama minum banyak2, tapi kata susternya sayang nanti sisa infusnya dibuang :P
Hasil scan-nya nggak usah diambil, tapi langsung dikirim ke poliklinik dokter AWS, karena besok sorenya langsung jadwal kontrol.

Besoknya kontrol, dapet nomer urut 4, tapi sama juga bo'ong karena pak dokter tumben banget mulai prakteknya telat to the max. Biasanya jam 7 atau setengah 8, ini sampai hampir jam 9 baru start.
Pas dipanggil, udah jam setengah sebelas ajaa..

Ternyata proses reviewnya gitu doang, dokternya liat hasil scan, trus bilang.. kalau kayaknya nggak bisa 6 kali terapi saja, alias tetep 8 kali. Hiks, baiklah..
Meskipun mengecewakan, tapi bagaimana lagi..
Kata dokternya kemungkinan besar ini akibat dulu sempat banyak waktu kebuang pas nunggu hasil lab keluar, dan penundaan 2 minggu gara-gara kena herpes kemarin bisa jadi ada pengaruhnya juga.
Hiks.. sedih..
Iya sih, kalau diinget2, dulu itu si tumor di mediastinum itu sampai menuh-menuhin bungkusnya, ukurannya pun sampai hampir 20x13 cm, nempel ke mana-mana. Ini udah bagus banget bisa jalan-jalan cukup pake oksigen alami saja.

Tapi disamping kabar sedih itu, tetep ada good news-nya kok, yaitu jantung sudah kembali ke tempat semula, dan pericardial effusion alias kelebihan cairan di pembungkus jantung sudah menghilang. Alhamdulillah.. setidaknya my heart is in the right place, which is left *apasih*
Dan dokternya tetep bilang, kalau beliau masih optimis kalau kita akan bisa memenangkan pertempuran melawan kanker ini. Aamiin.. InsyaAllah..

Sesudah good news, ada bad news lagi, yaitu hasil lab menunjukkan leukosit cuma 660. HAAh??
You gotta be kidding me!
Ternyata kita kemarin salah baca teman-teman.. yang keliatannya 6600 itu ternyata cuma 660. Bahkan komentar dokter pun gini "Ini kok angka 0-nya kurang satu ya"
Huaaa... iya dok, kok begini amat yak?
Ternyata demam campak kemarin itu menghabiskan jatah leukosit juga ya? Atau ini akibat akumulasi efek kemo? Hiks..

Kali ini nggak bisa tawar menawar lagi, karena sudah 5 hari menjelang jadwal terapi, maka mau gak mau harus suntik G-CSF lagi. Kali ini dokternya meresepkan Neupogen, sama-sama jenis filgrastim seperti Leucogen, cuma beda merk aja.
Hiks, baiklah... beli obat di farmasi, langsung balik lagi ke ruang dokter untuk disuntik.
Dokternya menyarankan untuk suntik setidaknya 2 kali lagi, baru cek darah ke lab supaya nggak bolak-balik diambil darahnya.
Hmm... nanti dulu deh dok, satu dulu, mudah-mudahan cukup satu kali itu aja. Aaamin yaa Allah, Aamiiin...

Sampai rumah dah lewat tengah malem, jadi langsung merem tanpa berprasangka apa-apa.
Ternyata oh ternyata.. besok paginya mulai merasakan efek yang indah permai dari suntikan neupogen semalam, yaitu tulang-tulang ngilu secara berjamaah. Ditambah sakit kepala, demam dan mual-mual. Oke banget deh pokoknya, sampai-sampai seharian cuma bisa gegulingan aja di kasur. Hiks (lagi)..
Langsung tanya mbah gugel deh, apa bener itu efek sampingnya se-meriah itu? Eh, ternyata emang bener. Alhamdulillaah.. mudah-mudahan sakitnya itu tandanya si obat bekerja maksimal deh.
Sampai berapa lama efeknya berasa? Wah.. lupa persisnya, tapi yang paling berat ya hari pertama itu.. hari kedua tinggal sakit kepalanya aja sama tulang belakang cenat-cenut-cenat.. 

Hari jumat sore cek lab, sabtu pagi ambil hasil.
Dengan diiringi doa yang tak putus2, dan perasaan deg2an kayak pas buka koran liat pengumuman UMPTN (wuih, langsung ketauan jadulnya deh :P), dibukalah hasil lab, dan hasilnyaa.. Alhamdulillaah.. 9000 lebih, cukup lah untuk bekal terapi berikutnya.
Lega bangeeet, nggak perlu suntik lagi, yang berarti gak perlu menderitakan diri lagi.. Dan yang paling penting, jadwal kemo tidak perlu ditunda-tunda lagi.. yippiieee!!
(yeah i know.. I can't believe I was actually so happy getting a chemo)

Dan akhirnya alhamdulillah.. terapi ke 5 (dan yang terakhir untuk bulan Ramadhan) berjalan dengan lancar tanpa insiden yang berarti. We even managed to get home before dzuhur on the 2nd day, our best record so far.

Rabu, 17 Juli 2013

Setengah Jalan, Alhamdulillah..

Akhirnya the most coveted setengah jalan terlewati juga dengan lancar, walaupun sempat tertunda 2 minggu dan nyaris tertunda lagi karena dua hari menjelang jadwal terapi tiba-tiba demam tinggi.

Alhamdulillah pas hari H-nya demam berangsur-angsur menghilang, dan terapi bisa dilakukan. Tapi demam yang dua hari itu bukannya tanpa efek samping. Leukosit yang sebelumnya sudah bagus di kisaran 6000-an (angka normal antara 3500-11000) tiba-tiba drop ke 2100.

Akhirnya untuk pertama (dan semoga terakhir) kalinya mencicipi suntikan Leukogen yang 1ml hampir 1 juta rupiah itu.
Suntikan ini termasuk jenis G-CSF alias zat yang menstimulasi sumsum tulang agar memproduksi sel-sel yang diperlukan (dalam hal ini leukosit) untuk direlease ke aliran darah.

Alhamdulillah dosisnya sekali suntik cuma 1ml, karena disamping harganya yang super, cara suntiknya juga subcutaneous alias di bawah kulit. Nggak persis di bawah permukaan seperti tes alergi, tapi agak masuk sedikit di bagian otot. Tapi tetep lumayan deh rasanya.. kalau bisa jangan lagi-lagi ah.. atiit.
Di luar insiden itu, alhamdulillah tidak ada hambatan yang berarti.
Kali ini dokter memutuskan untuk mempersingkat waktu kemoterapi. Yang awalnya perlu waktu setidaknya dua hari, dimampatkan jadi 1 hari.

Tadinya pemberian R alias Rituximab alias Mabhtera dilakukan bertahap sampai memerlukan waktu kurang lebih 15 jam beserta bilasannya, kali ini cukup 10 jam saja.

Tadinya antara pemberian R dan CHO diseling 24 jam, kali ini tidak perlu, jadi total waktu terapinya sekitar 12-13 jam saja dari mulai R sampai selesai CHO.

Oh ya, belum sempet cerita soal R-CHOP yang dipakai untuk terapi ya? Nanti deh diceritain gimana dan apa terapinya.

Keputusan dokter ini didasarkan hasil konsultasi terakhir minggu lalu, dan observasi dokter terhadap 3 putaran terapi yang sudah dilakukan sebelumnya. Ternyata dokter memutuskan untuk memberikan jeda 24 jam karena kondisi pasiennya memang tidak meyakinkan.
Biasanya dokter tidak memberikan jeda, tapi kata dokter "Biasanya pasien-pasien kanker saya relatif oke, baru kali ini dapat pasien yang seru kayak gini, pake pericardial, pleural effusion, dan lain-lain segala"
Hueee... masa saya dibilang seru sih dok. Tapi baru tahu juga ternyata selama ini pak dan bu dokter lumayan pusing juga merencanakan program terapinya gara-gara pasiennya ruwet begini. Pantesan di awal-awal dulu pak dokter cemberut melulu, ternyata nggak cuma pasiennya yang khawatir, dokternya juga. Makasih pak, bu, untuk kehati-hatiannya, semoga nggak ada yang kelewat deh..

Tapi jadi agak faham dan bisa menerima kenyataan juga, kenapa selama ini kok kondisi badan nggak kunjung fit. Kenapa terlepas dari apa yang orang-orang bilang kalau banyak kok yang sambil kemoterapi tetap bisa bekerja dan beraktifitas seperti biasa, banyak kok yang kemoterapi bisa jalan-jalan kemana-mana asalkan pakai masker dan rajin cuci tangan.

Karena memang : a). kondisi masing-masing orang ketika memulai terapi beda-beda. Ada yang memulai dalam kondisi prima, ada juga yang mulainya justru lagi drop habis. kalau prima, insyaAllah kemungkinan selama kemoterapi dropnya nggak akan jauh, tapi kalau mulaipun sudah minus, disamping efek positifnya, efek  negatif kemoterapi pasti juga terasa banget.
b) efek kemoterapi ke masing-masing orang berbeda-beda. ada yang bisa mentolerir dengan baik, sehingga orangnya bisa cukup 'santai' menjalani aktifitasnya (tapi jangan disangka nggak ada efek jangka panjangnya lhoo.. semua orang yang menjalani kemoterapi itu seperti berada dibawah pedang damocles, selalu dihantui efek jangka pendek maupun jangka panjang yang nggak sepele). Ada juga yang nggak kuat ngapa-ngapain, dan justru kolaps gara-gara kemoterapi, bukan kankernya. Ada juga yang sepertinya nggak apa2, tapi nggak bisa beraktifitas karena mual, letih yang amat sangat, atau rentan kena infeksi.

Intinya sih, tidak bisa dipukul rata (soalnya sih biasanya orang itu kalau dipukul memang jadi benjol, bukan rata) antara satu orang dengan orang lain untuk masalah kanker dan kemoterapi ini. Kabar baiknya, kita nggak perlu langsung takut kalau melihat orang lain yang mengalami efek yang parah, karena kita belum tentu akan begitu. Tapi tetap harus berhati-hati dan jangan lena kalau melihat orang lain bisa menjalaninya dengan lancar. Harus baik-baik mengukur diri, karena yang paling tahu badan kita ya diri kita sendiri (lagi berusaha mengingatkan diri sendiri nih).

Jadi sekarang tugas pasiennya adalah menjaga betul-betul supaya jangan kena infeksi apa-apa lagi, supaya jadwal terapi jangan mundur-mundur lagi.
Oh ya, next big event adalah dua minggu dari sekarang, yaitu CT-SCAN untuk mengevaluasi hasil terapi selama ini. Mudah-mudahan hasilnya bagus yaa..

Senin, 08 Juli 2013

A good day to be lazy

Beberapa hari ini langit di-setting mellow. You cannot tell what time it is just by looking out of the window, because it will be cool and dark all day. Not that I'm complaining.
It's a perfect day to take it easy and lay back. Like what i've been doing for the last 6 months or so.

Cuma ada satu eh dua hal yang membuat agak sedih, yaitu I missed my chemo cycle and my back and chest is hurt, both thanks to the zooster virus. Hopefully it;s just a minor setback, and hopefully we can have the chemo as soon as i see my onc next tuesday. I can't believe I will be so sad to miss a chemo, but my onc said that the delay should not be a problem if it;s only a week or so.
But at the end of the consultation he seemed hesitated (or maybe it;s just his style, that seemingly hesitated speech) and said that even if i will still have some of my shingles, but if he think that my body can take it, he will push ahead with the chemo. He also mentioned something about the risk of some of the lumps to comeback if we delay it for too long. So I don't know if i should be worry or not, but I know that I should pray. A lot.

Sebetulnya sebelum huru-hara herpes ini, rencananya mau meneruskan cerita soal diagnosis, pemasangan selang, jantung hampir jebol, kejar-kejaran dengan dokter onkologi, mini-kemo, sampai kemo perdana yang nggak lengkap komponennya itu. But 5 days fever followed by pain and discomfort ruined my mood.
Jadi ceritanya musti nunggu mood kembali dulu deh.




Sabtu, 22 Juni 2013

Gajlukan di tengah jalan

Sebagaimana pengalaman mengarungi jalanan jakarta, sepertinya sudah tak terelakkan lagi kalau di tengah perjalanan kita akan ketemu gajlugan atau istilah rada kerennya bumps on the road.
Sebetulnya lebih tepat kalau disebut bumps on my back, karena ketahuannya memang pas meraba punggung dan menemukan gajlugan yang tidak dikehendaki di situ.

Emang bener kata orang bahwa kita nggak pernah rugi untuk ber-ekstra hati-hati, terutama buat kaum yang sedang mengalami kondisi immunocompromised

Setelah 3.5 putaran kemo dijalani dengan relatif aman dan lancar, dengan indikasi tidak ada pengunduran jadwal kemo dan efek negatif yang masih bisa ditanggung, maka akhirnya ketemu juga dengan satu halangan.

Awalnya sekitar hari ke 5 setelah terapi, tiba-tiba detak jantung menggila selama dua hari. Sampai-sampai sempat kesulitan tidur selama 2 malam itu. Sempat ingat dokter pernah bilang kalau tanda-tanda infeksi salah duanya adalah demam dan detak jantung cepat.
Waduh. Tambah cemas aja. Dan rasa cemas itu betul-betul tidak membantu mengatasi kondisi.
Iyalah, jantung sudah pecicilan ditambah lagi rasa cemas, makin heboh aja kayak lagi aerobik.

Harusnya jangan cemas sih ya, tapi bagaimana lagi, kita kan nggak selalu bisa memilih perasaan kita. Lagipula, hey, i got cancer.. surely i have all the rights to worry, right? 

Waktu itu jadwalnya bertepatan dengan mulai hilangnya pengaruh steroid dosis tinggi yang indah permai itu, jadi pas tulang, daging dan kulit berasa ngilu-ngilu, langsung menimpakan 'kesalahan' pada si steroid withdrawal alias 'sakau steroid' yang memang lumayan cihuy efeknya. Cuma nggak bisa menghindari perasaan kecewa juga karena ternyata kali ini gejalanya jauh lebih berat dari siklus yang lalu.
Lalu mulai terfikir kalau mungkin memang akan begini kondisinya ke depan, bahwa memang ada yang namanya efek akumulatif, yang akan terasa makin berat seiring jumlah terapi yang dijalani. Hmm... gimana ini?

Ternyata eh ternyata.. salah dua perasaan yang paling susah dikendalikan kalau kita sedang berusaha untuk sehat adalah kecemasan dan kekecewaan. Terutama kalau kita tiba-tiba ketemu permasalahan baru, dan perkembangan kita nggak secepat yang diharapkan. Diharapkan siapa?
Nah ini dia yang juga berat.
Tentu saja yang diharapkan oleh kita sendiri, dan orang-orang disekitar kita.

Sebetulnya sadar betul kok, kalau selama sakit kita ini memang lagi dalam kondisi rapuh lahir batin. Oh, ada juga tentunya para juara dan pejuang yang jadi makin kuat secara batin walaupun fisiknya rontok semua, tapi mestinya hampir semua orang sakit melewati masa-masa kritis batin juga sesekali, sekuat apapun usaha mereka untuk nggak jatuh.
Nah, pas lagi down itu apapun yang orang lakukan, sebaik apapun niat mereka, kalau kebetulan perwujudannya nggak pas dengan perasaan si sakit, efeknya pasti akan jadi negatif.

Termasuk misalnya ketika ketemu banyak orang, lalu mereka merasa gembira dan optimis melihat perkembangan kita, trus mereka ramai-ramai bilang (nggak ramai2 juga sih, ngomongnya gantian di kesempatan yang berbeda2, emangnya paduan suara? :P) kalau kita kelihatan sudah sehat, kalau kita pasti bakalan bisa beraktifitas lagi dalam waktu dekat. Ketika kita sendiri merasa optimis, semua hore-hore dan hura-hura itu bisa jadi tambahan energi dan motivasi.

Tapi ketika kita tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa jalannya nggak semulus itu, bahwa ternyata dengan berjalannya waktu ada yang namanya efek yang menumpuk, bahwa ke belakang justru harus lebih hati-hati, dan bahwa masih ada lima putaran lagi yang harus dijalani..

Pikiran yang udah jelas-jelas nggak sehat itu, ditambah nggak bangun-bangun dari tempat tidur karena sedikit aktifitas saja berakibat jantung seperti mau main skipping, kepala seperti mau melayang, mau nggak mau membuat orang yang sedang galau itu jadi kecewa.

Dan juga, nggak bisa dihindari, merasa bersalah karena mengecewakan orang banyak yang sudah terlanjur optimis sama kondisi kita.
Kita merasa cemas kalau-kalau orang lain nanti bosan berharap sama kita karena kita nggak perform.
Lah, nggak penting banget yaa.. ???
Kenapa juga harus merasa begitu??

Itu dia makanya tadi di atas kan udah disebutin, kalau kita kadang nggak bisa milih perasaan kita sendiri. 

Sudah tau perasaan begitu itu tiada berguna.. tapi kan.. hey, i got cancer.. surely i have all the rights to worry, right? (mulai minta dijitak nih :P)

Weh, kok malah bicara masalah perasaan sih.
Kembali ke gajlugan tadi, akhirnya hari ke 8 detak jantung mulai kembali normal, tapi nyeri di tulang-tulang, daging dan kulit, terutama badan bagian kiri, kok nggak berkurang ya.

Oh ya, hari ke 7 kontrol ke dokter, setelah menyampaikan keluhan yang dirasakan, dokter periksa suhu dan lain-lain, dan juga menyimpulkan bahwa mungkin memang itu efek steroid saja. Secara keseluruhan kondisi masih baik.
Resep, pengantar rawat inap untuk terapi ke 4, sudah dikantongi dengan gembira (hiks).

Akhirnya hari ke 8 pas mandi, teraba bentol-bentol aneh di badan sebelah kiri, dari dada sampai punggung. Astaghfirullaah... OPOIKIIII?????

Dari penampakannya langsung curiga kalau kena herpes.. huaaa... hiks hiks hiks... pengen nangis...
Pantesan kok ngilu, pantesan kok nyeri, pantesan kok..
Tapi masih berharap kalau bukan. Jangan dong, herpes kan sembuhnya 3 minggu.

Alhamdulillah deket rumah, sekitar 100 meter deh (deket banget kan), ada dokter spesialis kulit yang lumayan oke. Akhirnya sorenya ke sana, dan sewaktu dokternya diceritakan (eh, diceritakan apa diceritai ya?) kalau sedang menjalani kemo, bu dokter langsung tau cerita selanjutnya.
Dan setelah melihat penampakan oknum bentol-bentol yang makin lama makin banyak itu, mengkonfirmasi dengan tiada keraguan lagi atasnya bahwa itu memang herpes zoster alias cacar ular.

The good news is, biasanya memang cuma separo badan aja yang kena, jadi sebelah kanan insyaAllah aman. Setidaknya selama beberapa minggu ini tidurnya akan sesuai sunnah rosul, yaitu miring ke kanan.
The bad news is, biasanya jadwal kemoterapi akan ditunda sampai herpesnya sembuh dulu. Tapi untuk pastinya harus konsultasi dulu ke dokter hematologi.
Hiks.. hiks.. baiklah..

Karena sedang dalam proses terapi, bu dokter berusaha memberikan obat yang 'sesederhana' mungkin. Supaya tidak terlalu banyak menambahi beban para jeroan yang sudah bekerja keras, seperti misalnya liver dan ginjal.
Setelah menanyakan berat badan (yang mau tau japri aja ya? haha.. ge er amat sih ini), bu dokter memutuskan untuk memberikan acyclovir 400mg, 5 kali sehari, dengan waktu sbb : jam 6, 10, 14, 18, 22.
Pesan tambahannya adalah : diusahakan jangan luka ya, soalnya kalau luka saya terpaksa harus kasih antibiotik.
LAAH? Begimana caranya dok, kan bentolnya itu naudzubillah banyaknya dan akan makin banyak lagi?
Bu dokter nggak menjelaskan dengan jelas, cuma tanya apakah masih beraktifitas, maksudnya ke kantor atau sebangsanya? Kalau iya lebih baik libur dulu karena ini virus dan lumayan menular.
Yah, gagal maning deh cita-cita ke kantor.


Bu dokter juga memberikan selembar kertas berisi informasi mengenai cacar air (varicella) dan cacar ular (herpes zoster). Rupanya bu dokter ini memang oke punya, sudah siap dengan selebaran sederhana yang cukup informatif mengenai kasus-kasus yang umum terjadi.

Isinya begini :
  • Penyakit yang disebabkan virus
  • Dapat menular dengan cara bersentuhan langsung dengan lenting di kulit, dan juga lewat udara/nafas  (makanya bu dokter berpesan supaya penderita bermasker untuk melindungi orang-orang di sekitarnya)
  • Lama penyakit 3 minggu. Minggu 1 lenting2 bertambah banyak, jadi obat tetap diminum karena bertambahnya kelainan kulit bukan karena pengaruh obat. Obat antivirus diperlukan untuk mencegah penjalaran virus ke organ vital, misal : selaput otak.
  • Obat antivirus yang dosisnya 5x/hari diminum tiap 4 jam, misalnya jam 6, 10, 14, 18 dan jam 22
  • Minggu ke 2 lenting-lenting mulai kempes
  • Minggu ke 3 keropeng mulai lepas
  • Jika sudah tidak demam boleh mandi dengan cairan PK yang diencerkan (warna pink saja, jangan sampai berwarna ungu/coklat)
  • Cacar tidak akan meninggalkan bekas jika kelainan kulit tidak diutak atik

Sampai di rumah, sms pak dokter hematologi, beliau langsung mereply : ok, kemo kita tunda sampai herpesnya tenang. Hari kamis depan kontrol dulu, dari situ baru kita tentukan langkah selanjutnya.
Hiks.. hiks..  sedihnya...
Soalnya kemo yang nanti ini adalah yang ke 4, yang artinya akan sampai di setengah jalan. Dan artinya, sesudah kemo akan dilakukan evaluasi hasil kemo dengan cara CT-SCAN ulang.
It's supposed to be a big day for my chemo.. and for me, of course.

Tapi ya sudahlah.. bagaimana lagi..
Kalau kata kakak Alifa : memang begini keadaannya, tante.. 

Sekarang tinggal rajin-rajin minum obat dan berdoa banyak-banyak supaya nggak ada efek negatif dari episode herpes dan penundaan kemo ini.
Soalnya buat orang yang sedang immunocompromised, kemungkinan si herpes ini bakalan muncul dengan lumayan kuat, alias lenting-lentingnya akan banyak dan besar-besar. Dan tentunya, ngilu dan nyerinya pun Subhanallaah..

Doakan aku yaaa...

Rabu, 12 Juni 2013

Not TB, volume 6, dan keputusannya adalah...

Sebenernya pengen posting sesuatu yang lain.
Pengen memberi 'ilusi' pada orang yang baca blog, supaya seolah-olah my life is not just about me and my health, biar kesannya masih exist, dan blognya keliatan agak cerdas-cerdas gimanaa.. gitu, haha..
Tapi sayangnya, kok nggak ada cukup energi untuk mikir yang berat-berat.
Mau nulis yang ringan dan lucu, ternyata kok berat juga yak.
Halah, bilang aja males mikir :P

No, next time maybe.
Sekarang cerita hari ini dulu, yang nggak pakai banyak-banyak mikir dulu.
Alhamdulillah pagi tadi pulang dari terapi ke 4, atau ke 3 dengan full regimen. Wuih, kok kayak pasukan aja pakai regimen segala? Nah, ini ntar aja deh ceritanya, di volume ke 7 atau 8 kayaknya, huehue.. mau sampai seri berapa sih ini sebenernya
Kalau terapinya sih masih 5 seri lagi, semoga lancar lahir batin, luar dalam, spiritual dan finansial, haha..

Sudah 4 kali terapi, akhirnya merasakan juga mual-mual yang legendaris itu. Alhamdulillaah..
Mudah-mudahan nggak berkepanjangan deh, supaya bisa makan-makan enak lagi :D

Untuk yang ke 4 ini dokternya kasih pesan-pesan khusus, yaitu mengingat efek yang kumulatif, maka waktu nadir (masih inget kan? itu lho, waktunya blod count, terutama leukosit, pada terjun bebas) bisa maju. Yang biasanya hari ke 7-10, bisa jadi hari ke 5 sudah mulai.
Jadi kali ini dibekali 2 pengantar lab, untuk hari ke 5 dan hari ke 8 (hitungan hari ke 8 karena dokternya praktek di hari itu, jadi masalah convenience aja, hehe).
Kenapa 2 ? Jadi di hari ke 5 nanti cek lab, kalau hasilnya jelek, sorenya harus langsung kontrol, tapi kalau masih ok nggak perlu kontrol hari itu, tapi hari ke 8 cek lagi dan kontrolnya hari itu aja.

Mengingat pak dokter Aru ini antriannya nggak manusiawi, maka pak dokter menyarankan kontrol ke asistennya aja, dokter Nadia. Iya sih, hari gini daftar untuk senin depan, bisa-bisa kebagian jam 1 pagi. Kemarin pun beliau visit sesudah selesai praktek, eike dicolek-colek jam 3 pagi. Huidiih...

Ok, cerita hari ini udahan, kita masuk ke volume 6 deh. Anyway, I've decided that I'll come clean about this diagnosis. Kupas tuntas lah, kadung udah sampai banyak volume begini.. :P
Tetep dengan harapan, semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari rambling yang kadang gak jelas kemana tujuannya ini ya..

Terakhir sampai mana ya?
Oh ya, dari hasil TTNA yang tidak konklusif, dokter memberi pengantar untuk biopsi terbuka untuk kelenjar getah bening, yaitu mengambil sedikit jaringannya dengan disayat atau dibedah untuk diperiksa keganasannya di lab. Setelah diberi dua pilihan antara bius lokal dan bius total, pasien yang nggak terlalu pemberani ini tentunya memilih bius total dong ah.
Alhamdulillah konsul ke dokter jantung dan dokter anestesi lancar, dan biopsi dijadwalkan keesokan harinya.

Karena sudah agak lama, lupa persisnya, tapi kalau nggak salah, puasa mulai jam 10 malam untuk operasi jam setengah 9 pagi. Paginya langsung ke ruang operasi untuk antri. Jam 8 dah sampai, jam setengah 9 dipanggil. Langsung ganti baju operasi di depan pintu masuk, weleh-weleh...
Oh iya, kalau mau operasi wajib kudu didampingi pengantar ya (tentunya), karena sesudah ganti baju itu langsung baju kita diuwel-uwel dan disuruh dibawa sama pengantar, termasuk sepatu, jilbab dan kawan2.
Ganti bajunya sambil diburu-buru, karena ya itu tadi, di depan pintu, hehe..

Sesudah kegiatan yang terburu-buru itu, kita disuruh tiduran di salah satu bed yang berjajar2 untuk dipasang infus, dan antri lagi untuk masuk kamar operasi. Selama menunggu, untuk pasien dengan kebutuhan khusus, seperti yang mengkonsumsi obat-obatan tertentu, dilakukan 'wawancara' atau tanya jawab untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan nantinya.
Untuk yang nggak perlu khusus-khusus, ya menunggu sambil tidur-tidur ayam saja, karena ruangannya dingin beut.

Waktu itu agak kurang beruntung, karena masuk antrian jam setengah 9, tapi baru dibawa masuk ke ruangan operasi jam 12 siang. Bayangpun itu!
Yang kasihan (disamping pasiennya yang sudah kedinginan dan kelaparan), juga yang mengantar, karena nunggunya lama dan pasti mulai cemas karena nggak tau apa yang sebenernya terjadi, dan pasti menduga2 what took it so long for such a simple procedure.

Singkat kata, hasil biopsi dikirim ke lab (oleh pengantar pasien tentunya), hasilnya baru akan keluar sekitar sepuluh hari kemudian (lupa persisnya berapa hari).

Sebetulnya yang membuat proses diagnosis ini terasa lama dan berlarut-larut adalah karena setiap kali dilakukan tindakan, perlu waktu setidaknya satu minggu untuk menunggu hasilnya. Belum lagi untuk melakukan tindakannya sendiri kadang perlu menunggu 1 sampai 2 hari.
Dan setelah masa tunggu yang nggak sebentar itu, hasilnya belum tentu langsung konklusif.

Where did I go wrong there? Kurang agresif? Kurang beruntung?
Nggak tau deh ya. Kedua-duanya barangkali

Kalau dibuat rekap-nya, maka prosedur yang sudah dilakukan dan kejadian yang dialami selama ini adalah :
  1. Cek darah dan sputum, hasilnya negatif TB
  2. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) alias BJH (biopsi jarum halus) kelenjar getah bening, hasilnya negatif keganasan
  3. Punksi pleura alias thoracentesis, hasil diperiksa di lab, negatif TB maupun keganasan
  4. Diagnosis : TB berdasarkan gejala, mulai pengobatan
  5. Alergi obat, stop sementara
  6. 2nd opinion, diagnosis tetap TB
  7. Ganti dokter, melanjutkan diagnosis sebelumnya, test obat TB untuk menemukan alerginya
  8. CT-Scan, ditemukan massa mediastinum, dirujuk ke dokter onkologi paru di RSPP. Nah, dari langkah pertama sampai di langkah penting yang ke 8 ini waktu yang 'terbuang' sudah 2 bulan. Sayang banget yaa.. 
  9. Cek darah untuk tumor marker dan cairan pleura untuk keganasan dan TB (lagi), hasilnya negatif for both
  10. TTNA (TransThoracic Needle Aspiration) Biopsy, alias biopsi dengan jarum untuk mengambil contoh jaringan mediastinum, hasilnya positif abnormalitas tapi tidak bisa ditentukan jenisnya
  11. Biopsi terbuka, hasilnya?
Di titik ini sebetulnya sudah mulai belajar menerima kalau kemungkinan besar hasilnya adalah tumor atau malah kanker. Takut? Pasti lah..

Pas waktunya hasil keluar, pas jadwal bu dokter praktek, jadi kita langsung daftar sekalian.
Nah, kejadian terakhir ini yang akhirnya membuat kami (pasien dan pengantar pasien yang malang itu) dengan sangat terpaksa tidak melanjutkan berobat di rs rujukan respirasi terbesar di Indonesia.

Jadwal buka lab jam 9 pagi, mestinya kalau hasil dijanjikan hari ini, begitu lab buka hasil sudah siap dong ya. Kami datang sesudah ashar, mengingat praktek dokter mulai jam setengah 5 sore. Pasien menunggu di depan ruang praktek dokter, sementara pengantar mengambil hasil ke lab.
Apa yang terjadi?
Hasil belum siap sodara-sodara.. sampai-sampai pengantar yang malang itu harus menunggu 1.5 jam sementara hasilnya diketik-ketik.

Sementara itu, pasien yang menunggu di depan ruang praktek dokter pun dikejutkan oleh sebuah insiden, yaitu rekam medis yang harusnya ada di tumpukan depan suster petugas admission, tinggal selembar map kosong. Lho kok bisa?
Apa yang dilakukan oleh suster?
Suster menyuruh pasien untuk menyuruh pengantar yang malang itu mencari sendiri rekam medis yang menghilang dengan misterius, dengan mengikuti perjalanan pasien sebelumnya. Dan setelah ketemu pun, ternyata pasien (pengantarnya sih lebih tepatnya) kesulitan meminta rekam medis tersebut, dengan alasan pasien tidak berhak. Pusing gak tuh?

Akhirnya setelah huru-hara hasil lab dan rekam medis itu, ketemulah pasien, pengantar dan dokter yang memeriksa. Hasilnya ?
Large Diffuse Non-Hodgkin Lymphoma.
Karena NHL masuk di bawah teritorial dokter hematologi onkologi yang biasanya dokter penyakit dalam, maka dirujuk ke dokter yang sesuai di rs yang sama.

Tapi karena pasien masih agak shock dengan hasil diagnosis, dan pengantar masih agak shock dengan huru-hara tadi, maka pasien minta waktu untuk berfikir, dan minta dibuatkan pengantar sekiranya akan melanjutkan berobat sambil pulang kampung.

Sebetulnya agak merasa aneh juga dengan hasil lab-nya karena terasa 'nanggung', karena di hasil tersebut tidak disertakan sekaligus subtype-nya. Tapi karena memang masih shock, ya diterima aja apa adanya dulu sambil diinternalisasi (halah bahasanya). Maksudnya pasien perlu tarik nafas dulu, belajar menerima 'vonis' dan merencanakan langkah selanjutnya.

Nah, sambil pasiennya belajar menerima kenyataan.. pembaca juga menerima kenyataan kalau yang nulis sudah mulai kehabisan bahan bakar alias mood-nya mulai hilang.
Sekian dulu lah ya, lain kali kita lanjutkan dengan volume 7

Minggu, 09 Juni 2013

Not TB, vol 5.. kapan ini selesainya yak? :P

Sebelum niat kembali menguap bagai asap, mari kita mulai lagi cerbungnya.
Oh tenang, nggak mulai dari awal kok, dari yang terakhir aja.
Dan kali ini nggak pake flashback, preview atau yang sebangsanya. Langsung tunjepoin (to the point maksudnya) saja kitah.

Dengan mengantongi pengantar siti seken alias ct-scan dari bu dokter Eva,dan nama dokter radiologi yang direkomendasikan, browsing dulu di websitenya untuk cari jadwal bu dokternya. Dua hari kemudian, tanggal 11 Februari kalau nggak salah (hehe.. maap udah lama sih, dan lagi males ngecek amplopnya) kebetulan ada jadwalnya. Datang ke RS jam 9-an, daftar di griya puspa, antrinya ternyata lumayan lama. Dan karena waktu itu IGD RSPP sedang direnovasi, sementara IGD dipindah ke gedung griya puspa. Akibatnya, kasus-kasus gawat darurat pun antriannya masuk di radiologi griya puspa.

Btw, griya puspa ini mestinya adalah 'divisi swasta'-nya dari rspp. Tujuannya mungkin untuk memberikan pelayanan yang lebih nyaman bagi pasien yang berkenan untuk membayar lebih mahal daripada di versi pemerintahnya. Mestinya sih begitu ya, tapi kenyataannya.. yaa.. begitu deh, heheh..

Kembali ke soal seken menyeken, ternyata untuk ct-scan yang pakai kontras ini pasien diharuskan puasa makan dan minum setidaknya 4 jam sebelumnya. Karena terakhir makan jam 8 pagi, maka jadwal ct-scan paling cepat dilakukan jam 12 siang nanti.

Kalau antri di RSUD pasar rebo kadang bareng sama pasien yang dikursi roda, perasaan langsung sehat banget, disini lebih-lebih lagi. Antriannya bareng yang pakai tempat tidur, yang selangnya banyak. Waktu itu belum kebayang kalau nantinya pun bakalan pakai-pakai selang walaupun 'cuma' 3. Waktu itu berasanya wah, alhamdulillah.. masih mending berarti nih.

Sekitar jam 2 siang akhirnya dipanggil, tapi belum jadi masuk petugasnya minta maaf dan minta ijin untuk mendahulukan satu pasien dari IGD. Oh nggak apa2 pak, silakan, saya juga kok tiba2 deg-degan inih.. kalimat terakhir diucapkan dalam hati doang tentunya.

Akhirnya giliran tiba. Masuk ke ruang radiologi, tadinya sudah disediakan baju ganti tapi susternya melihat kalau pasiennya pakai kaos lengan panjang (nggak ada kancing dan asesoris lainnya), akhirnya cuma disuruh lepas bra saja. *hadeh.. maap.. maap..*
Disamping mempercepat proses antrian, pasiennya juga mestinya lebih nyaman dan nggak terlalu deg2an kalau tetep pakai bajunya sendiri. Hehe.. itusih saya ya
Petugas juga menanyakan apakah memakai perhiasan atau gigi palsu.
Kalau pakai perhiasan pasti disuruh lepas dulu, kalau pakai gigi palsu? Hmm nggak tau deh apakah disuruh lepas juga atau tidak :P


Untuk ct scan thorax dengan kontras, pasien disuruh tidur di atas 'meja', lalu tangan diangkat ke atas kepala. Oh iya, zat yang disebut contrast material itu diberikan melalui infus.
Lalu pasien akan disuruh jangan bergerak-gerak selama proses scanning, dan mendengarkan dengan seksama instruksi dari petugas radiologi.

'Meja' tempat pasien tidur itu akan bergerak maju mundur ke lubang scanner, dan kita akan mendengar aba-aba 'tahan nafas', 'nafas biasa', beberapa kali.

Proses scanning nggak lama, paling sekitar 5-10 menitan kalau nggak salah hitung, hehe. Oh ya, selama diberikan zat kontras itu kita akan merasa sedikit nggak nyaman, agak terasa panas dan berasa seperti aroma logam di tenggorokan sampai ke bagian bawah, tapi nggak lama kok.

Sesudah itu diminta menunggu 1 jam untuk mendapatkan hasilnya. Wah cepat juga ya.

Nah, sampai disini bingung nerusin ceritanya, hehe..  because apparently i misplaced my old files, including that first scan result, and unfortunately i forgot the content.

Pokoknya sih begini, dari hasil ct-scan itu diketahui kalau ada sesuatu yang bercokol di antara paru-paru yang oleh dokter radiologi disebut mediastinal mass. Itu pertama kalinya mendengar istilah mediastinum, yang ternyata adalah sebuah 'ruang' diantara kedua paru-paru kita, yang isinya macem-macem organ, termasuk jantung, trakea, esofagus, dan kelenjar getah bening atawa lymp nodes.
Bagaimana perasaan waktu itu?
Sudah agak lupa, tapi kayaknya agak mati rasa gitu, soalnya pertama baca masih di depan ruang radiologi. Masih belum tau persis apa istilah-istilah yang ada di hasil interpretasi dokter radiologi itu, cuma yang tertangkap pasti waktu itu adalah : ini sepertinya tumor, bukan TB. Itu, dan satu lagi istilah : total collapse of left lung, alias paru kiri kempes total akibat tumor dan cairan pleura.
Takut?
Iya lah..

Hari sabtunya kembali ke dokter Eva di RSUD. Beliau langsung memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana, dan memberikan rujukan ke dokter onkologi paru di RS Persahabatan. Istilah beliau waktu itu : 'kita harus mencari penanganan yang agresif'. Kata-kata perpisahannya waktu itu : 'Yang sabar ya mbak'. Eh tapi sebenernya itu kata-kata perpisahan setiap periksa ke dr Eva, sejak dari pertama periksa dulu, sejak urusannya masih alergi obat TB. Cuma yang terakhir ini rasanya agak lain, soalnya it's a new journey for me, an unknown and scary path that i might need to take.

Pertemuan pertama dengan dokter spesialis paru yang ke 3 ini (ke 4 kalau mbah dokter yang dimintai 2nd opinion juga dihitung), agak ruwet. Ternyata bu dokter ini sibuknya minta maaf, sehingga kalau kita mau kontrol, paginya kita harus konfirm dulu ke bagian pendaftaran di griya puspa untuk mendapat kepastian hari itu bu dokter praktek jam berapa.
Kadang-kadang walaupun di jadwalnya tertulis jam 9 pagi, ternyata dokter praktek sore, atau kadang siang jam 1.
Dan ini kejadian juga pas kita mau konsul untuk yang pertama kali. Waktu itu kita datang jam 9 pagi, akan tetapi... bu dokter hari itu praktek sore mulai jam setengah 5. Hiks. Yasudah, kita daftar dulu, pulang, dan nanti sore datang lagi.

Keruwetan ternyata nggak berhenti di jadwal praktek dokter saja. Nantinya setelah mengalami berbagai macam prosedur dan kejadian yang ruwet binti puyeng di RSPP ini, jadi berasa kalau mendingan memang jangan sakit deh *loh, kesimpulan yang aneh*

Yang pertama kali bu dokter bilang waktu itu adalah : ini penyebabnya bukan karena gaya hidup kok. Wah, berarti nggak perlu didengerin ya nanti kalo ada yang bilang : makanya jangan makan sembarangan, makanya jangan kerja kebanyakan, dst, dst, hehe... kan sebabnya bukan itu :P
Tapi pas mau pulang, dokternya 'menjentul' (apa sih bahasa indonesianya?) kepala pasiennya pelan-pelan sambil  bilang : pasti suka memendam perasaan nih.
Weleh-weleh..

Dari situ dokter memberi beberapa pengantar, yang pertama untuk sedot cairan pleura, karena paru-paru yang kempes itu membuat nggak bisa beraktifitas dan nggak bisa tidur juga lama-lama. Yang kedua pengantar periksa darah untuk tumor marker, dan yang ketiga pengantar TTNA alias Transthoracic Needle Aspiration. Yaitu teknik biopsi dengan jarum untuk mengambil sample dari massa di mediastinum tadi itu.

TTNA dilakukan dengan menggunakan mesin CT-SCAN, jadi kembali lagi ke bagian radiologi kemarin. Caranya, pasien tiduran di 'meja' scanner, lalu di bagian yang kira-kira akan diambil jaringannya diletakkan besi pengukur.

Lalu pasiennya diwanti-wanti supaya 1) jangan bergerak-gerak 2) jangan sampai batuk. Soalnya kalau bergerak sedikit aja nanti ditusuknya harus diulang.
Hadeeh... ngeri banget..
Sesudah ancaman yang menyeramkan itu, tentunya pasien lalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergerak, walaupun sebenernya gemeteran minta ampun.

Setelah dipasang besi penanda itu, dilakukan scanning satu kali untuk menentukan dimana letak puncture atau tusukan jarum harus dilakukan. Sebelum jarum dimasukkan, tentunya dilakukan bius lokal lebih dahulu, supaya nggak sakit, walaupun suntik bius itu juga lumayan lah sakitnya.
Sesudah jarum dimasukkan, dilakukan scanning sekali lagi untuk memastikan bahwa posisi dan kedalaman jarumnya sudah tepat. Sesudah itu baru jaringan disedot seperlunya, jarum ditarik, luka diperban, and you're good to go.

Sebagai catatan, kalau anda harus menjalani prosedur ini dan kebetulan takut sama jarum, sebaiknya selama prosedur merem aja terus. I made a big mistake of opening my eyes after the 2nd scanning, yaitu waktu jarum yang panjang itu masih menancap di dada dengan manisnya. Huaa... ngilu sendiri lihatnya, padahal sih sebetulnya gak terasa apa-apa, kan sudah dibius.

Oh ya, TTNA ini dilakukan hari senin. Kontrol dokter hari jumat sebelumnya. Untuk sedot cairan, dokter memberikan pengantar ke IGD, dengan alasan kalau dilakukan sendiri oleh dokter akan dihitung sebagai swasta, sedangkan kalau di IGD bisa gratis (dengan asumsi menggunakan jamkesmas atau KJS).

Waktu itu belum pernah merasakan dahsyatnya pelayanan IGD sementara rspp, jadi ikut saja saran bu dokter, walaupun kita bukan pemegang kjs.
Dan hasilnya luar biasa.. masuk antrian igd sekitar jam setengah 6 sore, baru bisa ditangani sekitar jam 7 malam, dan baru bisa pulang jam 12 malam. Dan selama waktu tunggu itu jangan harap dapat bed, tempat duduk saja alhamdulillah nggak ada sandarannya. Akhirnya karena pegal dan capek, pasiennya kabur dari IGD dengan masih membawa tiang infus, dan duduk di kursi tunggu di koridor.

Dan satu lagi, karena yang melakukan prosedur thoracenthesis di IGD (tentunya) bukan spesialis paru, maka ada protokol yang harus diikuti, yaitu maksimal cairan yang boleh diambil dalam sekali prosedur adalah 800 ml, akan tetapi prosedur harus dihentikan kalau sebelum 800ml pasien sudah batuk.
Nah, pasien yang ini, yang di penyedotan terakhir saja sudah 'menghasilkan' 1500ml dan dua minggu kemudian sudah penuh lagi, langsung kecewa deh waktu dokternya berhenti di angka 600ml. Hiks, nggak lega deh..

Sesudah thoracenthesis, dilakukan x-ray dan sekalian diambil sample darah untuk lab standard dan uji tumor marker pesanan dokter onkologi.

Disini pentingnya pasien didampingi oleh orang yang masih sehat dan kondisinya prima. Karena untuk mengantar darah dan sample cairan pleura ke lab, serta nantinya mengambil hasil lab beberapa jam kemudian, harus dilakukan sendiri oleh pendamping pasien.
Padahal rspp ini luasnya minta maaf, dan jarak antara IGD sementara yang ada di dekat pintu masuk griya puspa dan lab di gedung seruni yang buka 24 jam itu lumayan untuk membakar kalori. Belum lagi akibat hecticnya suasana IGD, dokternya nggak sekaligus memberikan sample darah dan cairannya. Akibatnya pendamping yang malang itu harus bolak-balik ke lab sampai beberapa kali.

Begitu juga waktu pengambilan hasil. Karena salah satu hasil tes darah dan cairan pleura, yaitu level LDH atau Lactate dehydrogenase terlalu tinggi, petugas lab-nya meragukan sendiri hasil tesnya. Akhirnya tes harus diulang, yang artinya pendamping yang kurang beruntung itu harus kembali sekali lagi untuk mengambil hasil yang baru. Ternyata LDH yang mestinya ratusan itu sampai menembus angka puluhan ribu, pantas saja petugas lab pusing. Tapi setelah diulang, hasilnya memang sebesar itu. Kesimpulannya, yang abnormal bukan tesnya, tapi pasiennya.

Setelah hasil lab dan x-ray direview dokter (yang akhirnya dilakukan setelah dikejar2 oleh pendamping yang sudah mulai kelelahan menunggu), dan karena pasien tidak merencanakan untuk rawat inap, akhirnya jam setengah 12 malam infus dilepas dan pasien bisa pulang.

Hasil lab untuk tumor marker baru bisa diambil hari kamis pagi, hasil lab TTNA senin minggu depannya. Bu dokter bilang, kalau hasil TTNA sudah bisa menunjukkan jenisnya, dan kalau benar thymoma atau tumor lain yang operable (kemungkinan lain adalah lymphoma atau other tumor), langsung check-in saja supaya langsung dijadwalkan operasi, mengingat gumpalannya membesar lumayan cepat dan dokter khawatir kalau nanti gumpalan itu menekan pembuluh darah jantung. Belum lagi mengingat juga kondisi paru-paru yang sudah terlalu cepat kempes total.
Huaa.. takuuut.. tapi bismillah.. yang penting ketemu dulu apa penyakitnya. Tapi mudah-mudahan nggak perlu pakai operasi deh..

Singkat cerita, setelah hasil-hasil lab yang penting keluar, ternyata dokter belum bisa menyimpulkan jenis penyakit apa yang bercokol di badan pasiennya. Hasil tumor marker negatif semua, sedangkan hasil TTNA hanya dapat menemukan abnormalitas tapi tidak bisa spesifik apa jenisnya. Bu dokter waktu itu sempat bilang, mungkin karena waktu pengambilan sample-nya terlalu dalam, padahal biasanya bagian tumor yang masih mengandung banyak informasi hanya sekitar 2 cm dari tepi.

Hee?? Lha kok bisa terlalu dalam? Walah ya sudahlah.. yang penting sekarang langkah selanjutnya apa, soalnya pasiennya sudah mulai sesak napas lagi. Sepertinya sudah perlu sedot cairan lagi, hiks..

Untuk masalah yang satu ini sebenarnya bu dokter dari awal sudah menyarankan untuk pasang selang yang agak 'permanen', cuma kok seram ya.. selama ini lihat orang-orang yang dipasang selang lalu lalang dengan kursi roda. Huaa.. kok selangnya besar bangeet..
Akhirnya menawar-nawar sajalah.. sementara di-punksi aja bilamana perlu. Padahal sakit juga ditusuk2 begitu, hiks..

Langkah selanjutnya adalah biopsi terbuka, alias salah satu benjolan kelenjar di leher akan disayat untuk diambil jaringannya. Untuk ini dokter memberikan pengantar ke bagian bedah thorax.
Di bedah thorax ketemu dengan pak dokter yang pembawaannya 'mriyayi', lemah lembut dan murah senyum. Beliau menjelaskan bahwa prosedur ini sebetulnya bisa dilakukan dengan bius lokal, tapi kalau pasien takut dan memilih bius total juga bisa. Cuma untuk pilihan kedua ini pasien perlu konsul tambahan ke dokter anestesi dan dokter jantung, serta melakukan ekg alias rekam jantung.
Pak dokter juga meng-caution, eh apa ya.. memperingatkan? hmm.. bukan sih.. menginformasikan untuk diwaspadai, bahwa kalau misalnya pembengkakan kelenjar itu dikarenakan infeksi, termasuk diantaranya TBC, maka luka bekas operasi akan lamaa.. sembuhnya. Tapi kalau bukan (yang berarti kemungkinannya adalah tumor) ya sembuhnya biasanya cepat.

Huaa.. pasiennya bingung berdoanya apa.. pokoknya minta yang terbaik, yang cepet sembuh semua penyakitnya, nggak cuma lukanya aja.

Nah, sudah jam setengah 12 malam, besok pagi-pagi harus check-in untuk terapi ke 4 (atau ke 3 dengan full regimen). Jadi sementara dicukupkan sampai disini dulu.
Doakan supaya besok lancar dan efek sampingnya minimal yaa..

Rabu, 05 Juni 2013

Taking it easy

Ternyata kemarin ke-geer-an.
Perasaan udah agak fit dan kembali sedikit invincible seperti dulu. Tapi kelayapan seharian aja efeknya sudah 4 hari nggak kunjung hilang.
Hari jumat alhamdulillah tercapai cita-cita untuk ngantor. Sempat pura-pura ikut miting juga, hehe
Dan sempat mampir toko kacamata untuk beli kacamata baru (iyalah masa beli cabe) yang sudah long overdue.

Sorenya kontrol ke dokter untuk persiapan kemoterapi tanggal 10 nanti.
Dokter Nadia (pak dokter AWS cuti melulu.. hiks) agak prihatin pas periksa nadi dan suhu : 37.7 derajat. Haduh, kok demam?
Langsung dikasih resep suntikan leukosit, antibiotik, dan pengantar periksa darah ke lab. Pesannya, kalau sampai besok pagi belum sembuh, ke lab untuk periksa darah, dan kalau leukosit drop resepnya ditebus. Tapi kalau malam ini demamnya sampai 39,  malam ini juga langsung ke lab dan obatnya ditebus.
Untuk jaga-jaga aja, takut kena infeksi, mengingat hari itu masih hari ke 10 setelah terapi terakhir. Tapi mudah-mudahan bukan, dan demamnya karena dehidrasi aja. Either case, bu dokter minta dikabari.

Alhamdulillah malamnya setelah minum banyak-banyak, temperatur turun. Paginya sms bu dokter, kasih kabar kalau sudah ok. Akan tetapiiii... sejak itu kalau capek dikit kok jadi anget-anget lagi yaa.. hiks. Yasudahlah, ternyata memang harus taking it sooo very slowly.

Oh ya, semenjak istirahat panjang ini di rumah 'terpaksa' jadi pawang remote tipi.
Dan di tengah ramainya berita 40 hari-an uje, kebetulan ada acara di salah satu tipi swasta yang membahas soal TB. Wah pas banget inih.

Ternyata Indonesia adalah negara endemik tb peringkat 4 di dunia, cuma kalah dari china, india, dan nigeria. Iya lah, india dan china kan orangnya milyaran.
Jumlah orang yang meninggal karena tb di indonesia? 300 orang per hari.
Kasus baru tb? 5000 orang per hari.
Banyak yaaa...

Ternyata tbc adalah penyakit mematikan nomer 5 di dunia, setelah jantung, kanker, aids dan hepatitis.

Dan ternyata masih banyak orang yang menganggap kalau tb atau tbc itu penyakit orang dengan tingkat ekonomi rendah. Weh, padahal waktu berobat ke rsud dulu, pasien-pasien tb banyak juga yang keren-keren kok. Mungkin karena yang miskin banyak yang nggak berobat soalnya ya, heheh *miris*

Oh ya, soal pasien yang keren ini, sempet denger ibu-ibu sesama pasien ngobrol. Eh, ndak berniat nguping lhoo.. lhawong ibu2 itu ngobrolnya kenceng2 kok *beladiri*
Penampilannya cukup 'wah' deh, seperti ibu-ibu majelis ta'lim yang tampil di pengajian televisi.

Ternyata mereka juga pasien tb, bahkan salah satu diantaranya sudah sempat berobat sampai 4 bulan, tapi karena waktu itu sibuk mengurus arisan, minum obatnya jadi kelewat, terus berhenti deh karena merasa sudah terlanjur. Akhirnya pas berobat lagi, terpaksa minum obatnya direstart dari awal.
Masih beruntung banget sebetulnya, karena kumannya nggak sampai resistan sama obatnya.
Karena kalau iya, berarti kasusnya masuk ke TB-MDR, dan pengobatannya harus dilakukan di rs karena obat-obatannya akan menyertakan obat lini ke-2 yang harus diawasi efek sampingnya secara seksama.

Makanya buat penderita tb, perlu ada pendamping yang disebut PMO. Bukan project management officer, tapi pengawas minum obat, yaitu orang yang tugasnya ngingetin dan memastikan kalau pasien minum semua obatnya secara teratur.


Eh sebetulnya pengobatan tbc itu bisa murah lho, bahkan bisa gratis. Karena program pemberantasan tbc adalah program yang disubsidi pemerintah. Caranya, untuk yang di dki bisa pake kjs, atau bisa juga berobat ke puskesmas terdekat. Kalau mau tau lebih lanjut, ada nomer telponnya disini. Btw, sekarang puskesmas di jakarta sudah keren-keren ya, penampakannya sudah seperti rumah sakit. Pasiennya  juga banyak kayak di rs, hehe..


Dan sebetulnya, siapa aja mungkin dan bisa tertular tbc, apalagi yang suka kelayapan di pasar, mall atau tempat-tempat yang banyak orang. Atau yang suka naik angkot. Soalnya penularan kuman tb kan gampang, apalagi kebiasaan orang-orang yang batuk suka nggak ditutup, dan meludah sembarangan. Mana tau salah satu diantara orang itu sakit tbc kan.
Bisa jadi sebetulnya tiap hari pun kita terpapar kuman tb, cuma nggak sampai sakit karena daya tahan tubuh masih bagus.
Begitu daya tahan tubuh kita menurun, entah karena kurang fit atau kurang gizi, nah langsung deh tuh, kuman yang tadinya kalah langsung mengalahkan kita.

Eh, jangan salah ya.. kurang gizi itu bukan monopoli orang miskin atau anak kecil aja. Orang dewasa yang makannya nggak diatur juga mungkin jadi kurang gizi lho. 
Dulu waktu didiagnosis tb, bu dokternya tanya 'Profesinya apa dek?' pas dijawab 'Konsultan IT dok', dokternya langsung bilang 'Oh pantes.. ini pasti suka males makan nih'
Lhaa... masak iya sih? Hobi saya sebenernya sih wisata kuliner dok :P

Hmm.. mau lanjut cerbung kok masih males, nanti deh dikebut kalau udah gak males. Sekarang kita off dulu..

Kamis, 30 Mei 2013

TB or not TB, vol 4

Niatnya update blog dari kemarin, apa daya situasi dan kondisi tiada memungkinkan.
Setelah hari Ahad sukses melakukan penampilan perdana di muka khalayak ramai, dua hari berikutnya malah tumbang dengan sukses.
Mungkin karena memang sisa capek hari minggu, dan bertepatan juga dengan tanggal nadir + waktunya steroid withdrawal. Rasanya? Hmm... lezat.. Alhamdulillah..

Terus terang sempet agak kecewa juga sih kemarin, kok cuma segitu doang udah gak kuat. Belum lagi juga sempet khawatir, jangan-jangan karena memaksakan diri jadi kenapa-kenapa.
Tapi dengan dua hari downtime, alhamdulillah level energi pelan-pelan bisa balik lagi. Tapi level konsentrasi enggak, alias mau nulis nggak jadi-jadi. 

Memang kalau lagi sakit yang rada ruwet kayak begini ini, salah satu hal yang agak tricky adalah bagaimana memanage rasa khawatir, dan bagaimana untuk tetep optimis dengan segala perkembangan dan penurunan kondisi. Apalagi memang sudah diperkirakan kalau efek terapi obat itu pasti sedikit banyak akan ada akumulasinya. Tapi tetep aja ya.. namanya manusia, emosinya naik turun, optimismenya juga naik turun.

Oh ya, sebelum dimulai lagi lanjutan ceritanya, dikasih latar belakang dulu (ehehe.. kebiasaan, kapan mulainya kalo flashback dan latar belakang mulu :P)

Jadiii...  cerita ini kejadiannya dimulai sekitar 5 bulan yang lalu, waktu masih proses kejar-kejaran diagnosis. Alhamdulillah sekitar akhir maret yang lalu akhirnya ketemu juga culprit-nya, yaitu si penyakit yang bikin tebak-tebakan ala Hamlet : tb or not tb : that is the question itu. Dan alhamdulillah sejak itu resmi memasuki tahap pengobatan. Doakan ya teman-teman, mudah-mudahan pengobatannya lancar tidak ada kendala yang berarti, dan tentunya semoga terapinya berhasil dan oknum penyakit itu bisa dihilangkan dari muka bumi ini untuk tak kembali lagi.

Okedeh kakak, mari dilanjutkan ya..

Dua hari setelah 2nd opinion itu ternyata kondisi makin memburuk, akhirnya ke dokter lagi. Kali ini dokter yang biasa lagi gak praktek, daftarlah ke dokter sebelahnya (ruangan prakteknya sebelahan maksudnya), namanya dokter Eva Sridiana. Alhamdulillah dokter yang ini lebih komunikatif dan sabar.

Setelah periksa-periksa rutin, tanya jawab seputar kesehatan (ya iyalah, masa seputar resep masakan), disuruh foto lagi, karena dari terakhir sedot cairan memang belum pernah foto. Hasilnya bikin pengen nangis, karena paru-paru kiri gambar kabutnya makin banyak, yang berarti cairannya balik lagi with a vengeance, gak mau kalah sama John McClane.

Oh ya, saat itu kira-kira 4 minggu sesudah thoracentesis pertama.
Mau nggak mau, suka nggak suka, terpaksa harus menjalani lagi.

Pas awal-awal ke dokter ini, sayangnya, fokus utama tetep alergi obat, karena melihat diagnosis dokter sebelumnya sudah positif TBC, tapi obat nggak bisa masuk. Jadi sambil memperbaiki kondisi, obat2an yang bikin alergi ini harus dicari dulu.

Seperti sudah dibahas di volume sebelumnya, obat TB yang diresepkan adalah rimstar, yang isinya 'oplosan' obat TB yang empat jenis itu. Nah, karena kalau minum yang 4 in 1 itu jadi gak tau mana yang bikin alergi, akhirnya dokter membuat 'program test obat'.

Obat yang 4 itu diberikan dalam bentuk terpisah-pisah. Tapi karena efek alerginya masih berat, terutama gatal dan mual, pasiennya minta waktu untuk menghilangkan efek alergi obat yang kemarin. Maksudnya supaya lebih jelas, reaksi alergi yang dirasa itu sisa minum obat yang kemarin atau karena tes obat yang sekarang.

Sebenernya sih alasan utama karena capek banget yaa..
Berhari-hari nyaris nggak tidur sama sekali, nggak makan sama sekali..

Oh ya, program test obat ini dilakukan dengan cara mengkonsumsi satu demi satu obat yang 4 jenis itu. Urutannya sesuai prioritas : batch 1 isoniazid, batch 2 rifampicin, 3 pyrazinamid, terakhir ethambutol.
  • Start batch 1 : kalau hari pertama alergi, hari berikutnya dosis diturunkan sampai reaksi alerginya bisa ditolerir. 
  • Kalau hari berikutnya masih alergi, diturunkan lagi dosisinya. 
    • Kalau sudah turun minimal tapi tetap nggak kuat, stop dan beralih ke batch selanjutnya. Berarti obatnya nggak bisa diminum.
    • Kalau nggak ada reaksi alergi atau setelah diturunkan alerginya hilang, stop juga dan beralih ke batch selanjutnya, berarti obat ini bisa diminum dengan dosis terakhir. 
Begitu terus sampai 4 obat itu dites semua.

Singkat kata singkat cerita, test alergi obat berjalan dengan tidak sukses. Ternyata yang membuat alergi paling berat adalah Isoniazid. Alergi terberat kedua, Rifampicin. Padahal kedua obat itu bisa dibilang obat utamanya. Dokternya pusing, pasiennya apalagi.
Tapi menurut bu dokter, akhir-akhir ini memang entah kenapa (maksudnya belum diketahui sebab persisnya gitu) makin banyak orang yang alergi terhadap obat-obatan TB, adahal dulu tidak terlalu sering ditemui kasus alergi seperti ini.

Karena INH sudah tidak mungkin dikonsumsi, maka dokter meresepkan obat lini kedua sebagai pelengkap, yaitu streptomicyn, yang sialnya harus diberikan dengan cara injeksi di pantat setiap hari sekali. Ouch!
Tapi ya itu tadi, test obat tetap tidak sukses, karena tampaknya pasien yang malang ini alergi juga sama streptomycin. Hiks..
Akhirnya streptomycin distop juga setelah satu minggu.

Waktu dilakukan thoracentesis kedua, bu dokter menemukan ada keanehan. Ketika pasiennya lapor bahwa hasil MCU terakhir masih 'bagus', Bu dokter minta foto hasil mcu dibawa karena beliau curiga sesuatu.

Sementara urusan alergi ini belum tuntas, dokter mereview juga foto ronsen terakhir dibanding foto yang masih 'sehat'. Oh ya, mungkin ini salah satu kesalahan pasiennya juga pas pertama foto di RSUD dulu, yaitu nggak menyertakan foto ronsen terakhir dari manapun itu dapatnya. Sebetulnya foto terakhir itu penting banget untuk dokter radiologi melakukan analisa dan perbandingan dengan foto yang akan dibuat.
So lain kali kalau mau ronsen, jangan lupa bawa hasil foto sebelumnya.


Dari hasil review, dokter bilang begini : 'Maaf ya mbak, tapi sepertinya ini ada sesuatu'
Haduh, mendengar dokter minta maaf begitu langsung hati mencelos.
This can't be good.
Ada dua kemungkinan kata bu dokter, yaitu kelainan jantung atau massa di paru-paru.
Dokter merekomendasikan untuk CT-Scan, dan selanjutnya konsul ke spesialis jantung kalau memang kelainannya di jantung.

Alhamdulillah beliau tidak cuma merekomendasikan untuk ct scan, tapi juga dimana dan siapa dokternya. Walaupun beliau praktk di rsud pasar rebo, beliau justru tidak menyarankan untuk ct scan di sana, mengingat (menurut bu dokter nih ya) analisis radiologinya kurang oke, tapi beliau menyarankan ke RSU Persahabatan, dan memberikan nama dokter radiologi yang menurut beliau bagus.


Bismillah, kali ini kembali ke RSP dengan arahan yang lebih jelas.
Dan mulailah perjalanan panjang tahap kedua dalam rangka si unyil mengejar diagnosis..

Jumat, 24 Mei 2013

Sejenak melihat ke dalam

Sebetulnya selama ini sedang bergelut dengan sebuah pertimbangan. Hayah, kesannya kok serius amat yak..
Tapi serius kok, sambil ngeblog gak jelas kesana kemari kayak gini, ada sebuah keputusan yang sedang dipertimbangkan, yaitu : to disclose or to hide.

Maknyutnyaa ituuu... (bacanya pake intonasi mendiang asmuni) adalah : seberapa banyak dari perjalanan dan perjuangan menuju kesehatan ini yang mau diceritakan?
Seberapa detail?
Am I disclosing so much?
Will I regret it later?

Kok aneh. Telat banget.
Udah ngeblog panjang-panjang kok masih bingung mau cerita apa enggak.

Begitulah.
I'm a weirdo and can't do much about it.
And like I always say to people around me, I'm also a private person. I tend to keep things to myself as long as i can.
(Dan hebatnya, salah satu dokter yang pernah ditemui dulu pun bilang gitu. Tau aja si ibu ih)

Itu satu sisi.

Di sisi lain, being in all of this I really need to vent my feeling. And being too private is getting so lonely lately. Setelah nggak beredar selama 5 bulan, mungkin ada juga perasaan kangen untuk gaul lagi di masyarakat (halah istilahnya).

Di sisi yang lain lagi, trial and error, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan, dan setelah segala jatuh bangun yang dirasakan selama beberapa bulan ini, rasanya kok mubadzir banget kalau nggak di-share. Walaupun ilmu masih cetek, setidaknya dari yang ditulis ini mudah-mudahan orang lain bisa belajar sedikit lah. Supaya kalau misalnya harus menghadapi hal serupa (mudah2an sih jangan sampe lah ya) nggak culun2 amat dan nggak sesat2 amat.

Tapi kembali lagi. Apa iya bakal bermanfaat?
Atau jangan-jangan nanti pada akhirnya cuma akan ngotor-ngotorin cyberspace aja (maap nih lagi suka berlebihan) dan membuat diri sendiri keliatan tambah aneh (as if it's possible).
Tapi itu pun masih mending sebenernya. Lha kalau nggak manfaat tapi malah tambah menyesatkan?

So it's past midnight, suppose to be sleeping but typing nonsense instead.
That's the weirdo acting i guess
And the weirdo saying good night to you all.. hoping that tomorrow she'll be able to decide

Kamis, 23 Mei 2013

Here we go, TB or not TB, vol. 3

Hari kedua setelah terapi ke 3.
Alhamdulillah terapi-nya lancar, efek samping minimal, mudah2an efek positifnya maksimal.

Ada waktu beberapa hari sebelum leukosit terjun bebas lagi akibat efek immunosuppresan si obat-obatan terapi. Sebetulnya prosesnya udah mulai sih sejak obatnya masuk, tapi seperti yang disebut di entry kemarin, titik nadir adanya di 7-10 hari.

Btw, mumpung masih semangat di-boosting sama steroid, lanjutin cerbungnya dulu. Bentar.. sampai mana ya kemarin? Oh ya, sampai mulai berobat deh.

Karena ceritanya puanjang, kita bikin sesingkat mungkin aja, supaya gak sampai bervolume-volume kek kaset si unyil ratapan anak tiri.

Flesbek sedikit ya..

Nah lo, begimana mau singkat inihh, belum apa2 udah ada flashbacknya.. haha.. sorry guys, sepertinya ini akan jadi cerita yang berlarut-larut, so bear with me or you're welcome to click another link when you feel like it :)

Seperti lirik lagu jaman 80-an (lupa sapa yang nyanyi) : Mulanya biasa saja..

Awalnya batuk-batuk berulang sampai 2 bulan lebih. Nggak terus-menerus sih. Sakit, sembuh, ketemu orang sakit, ketularan, sembuh lagi, ketularan lagi.. dst. Cuma lama kelamaan berasa kalau sakit yang ke n terasa lebih berat daripada sakit ke n-1, dan sakit ke n+1 lebih berat daripada sakit ke n. Halah, maksudnya setiap kali kambuh sakitnya terasa lebih berat gitu.

Masuk ke bulan kedua nggak tahan, akhirnya yang selama ini nggak pernah mau kalau disuruh ke dokter, berangkat lah sendiri ke dokter. Kali ini dokter umum dekat rumah aja, wong sakitnya juga 'cuma' batuk pilek. Dokter bilang asma bronkhitis. Setelah satu putaran minum obat, alhamdulillah sembuh.

Tapi nggak bertahan lama, seminggu kemudian setelah ketemu orang yang sakit flu, langsung besoknya demam. Demamnya nggak cuma panas dingin tapi juga tulang ngilu semua dari ujung rambut ke ujung kaki. Bohong ding, mana ada rambut bisa ngerasa. Tapi tau lah apa yang dimaksud..
Oh ya, waktu itu mulai terasa ada benjolan di leher. Tepatnya di atas tulang belikat.

Wah, rada panik juga.

Akhirnya balik ke dokter umum yang kemarin, laporan segala keluhan :
  • sesak napas -> oh, ini karena dahaknya nggak mau keluar nih
  • saya asma dok -> tapi nggak bunyi ini napasnya, berarti ringan ya
  • ini ada benjolan di leher dok -> ah, biasa itu kan karena lagi infeksi
Karena dokternya santey kek di pantey begitu, yaudin dibiarin aja. Dokternya kembali ngasih obat yang sama dengan dua minggu yang lalu.

Masuk bulan ke 3, demam makin sering, dan sesak napas makin menjadi. Biasanya istirahat, minum parasetamol, banyak2 minum dan makan, maksimal 2 hari dah ilang panasnya. Tapi yang ini enggak. Malah ditambah sesak napas yang makin menjadi, sampai-sampai jalan kaki sebentar aja ulu hati sakit kayak kita habis lari keliling lapangan bola. Oh ya, tidur juga udah mulai gak bisa miring, karena dada sebelah kiri sakit kayak keseleo, kadang tangan kiri sampai nggak kuat dipakai kerja keras (halah, kayak yang biasa kerja keras aja, hehe). Tanya sana sini, katanya nyeri dada itu biasa kalo kita sesak napas karena asma, mestinya kalau sesak napasnya ilang, nyerinya ilang juga.

Karena makin lama kok makin berasa kayak nenek-nenek, jalan dikit aja langsung kehabisan napas, akhirnya memutuskan untuk periksa ke spesialis paru di RSUD pasar rebo.

Pertama kali nih, periksa ke RS sendiri seumur-umur, sempet bingung juga. Apalagi kebetulan KJS lagi hot-hotnya, belum lagi perbedaan praktek dokter pagi dan sore yang musti pake ktp dki, pengantar puskesmas, dsb.
Tapi soal ini nanti dibahas di lain entry aja deh.

Intinya, periksa ke dokter paru langsung diomelin:
  • Ini asmanya udah parah nih, kenapa nggak kesini dari dulu? Lha, kirain spesialis paru cuma buat yang udah cengap2 (istilah kak sena nih) atau yang paru2nya kenapa2. 
  • Ini benjolannya udah agak besar nih, kenapa dibiarin aja? Lha, lagi2 karena dokter umum yang didatengin bilang gak pa2, jadi ya santey aja. Eh, dokternya tambah protes : itu dokter apa yang bilang gak pa2 begitu? Hadeeh…
Sesudah itu disuruh tes spirometri. Biasanya setiap tengah tahun MCU rutin dari kantor ada juga tes beginian, dan sukses dengan skor 80%-90%. Kali ini skornya dibawah sekitar 42-43%.
Dokternya kasih wejangan2 lagi.. katanya asma mestinya bisa di-manage, supaya kualitas hidup baik dan nggak sampai ada kerusakan permanen. Weh iya sih, secara teori emang begitu, tapi kirain itu untuk yang udah berat aja. Baiklah, lain kali akan diperhatikan..

Dari hasil periksa yang pertama itu, dikasih obat untuk infeksi dan asma, dan disuruh periksa lab (darah dan sputum, untuk mendeteksi tbc) dan ronsen.

Besoknya ambil hasil ronsen dan menyerahkan sampel ke lab. Pas di jalan iseng-iseng baca, langsung shock berat : pleural effusion di paru kiri. Langsung seharian gak konsen kerja. Sehari sesudahnya ambil hasil lab, ternyata tes darah dan tes sputum negatif TBC.

Oh ya, waktu itu deket-deket ulangtahun kalau gak salah, awal desember gitu. Catet yaaa, siapin kado buat awal desember ntar, hehe..
Eniweiii... Kebayang kan ngenesnya? Orang lain ulang tahun dapet kado bagus-bagus, I got myself a pleural effusion.

Sesudah hasil lab keluar, dilakukan biopsi kelenjar dengan cara FNAB alias fine needle aspiration biopsy, atau biopsi jarum halus (BJH) untuk me-rule out keganasan alias tumor dan cek TB lagi.
Proses biopsi dengan cara FNAB ini biasanya dilakukan untuk benjolan yang dekat dengan permukaan kulit. Sebagaimana tercermin dari namanya, dokter akan menggunakan jarum halus untuk mengambil/menyedot sedikit jaringan yang dicurigai abnormalitasnya, lalu jaringannya dikirim ke lab untuk diperiksa (tentunya). Oh ya, biaya BJH atau biopsi jarum di RSUD pasar rebo waktu itu kalo gak salah sekitar 300 ribu, mungkin karena periksa sore ya.

Sebetulnya efektifitas metode ini untuk deteksi tumor jauh dibawah biopsi dengan bedah terbuka, karena mungkin saja jaringan yang abnormal gak keambil alias kelewat, karena yang diambil memang cuma sedikit. Tapi karena resikonya yang bisa dibilang hampir tidak ada alias aman dan prosedurnya yang praktis, maka metode ini tetap banyak digunakan untuk deteksi awal kanker.

Hasil lab menunjukkan nggak ada keganasan, dan negatif dari sisi kuman TB. Alhamdulillah..
Tapi ini berarti proses mengejar diagnosis masih belum selesai.

Sementara itu untuk mengatasi pleural effusion yang makin berat, dilakukan punksi pleura atau thorachenthesis yaitu menyedot cairan pleura yang berlebih itu. Biayanya di RSUD pasar rebo sekitar 500 ribu untuk umum, nggak pake kjs maksudnya.

image courtesy of www.hopkinsmedicine.org
Caranya? Pasien duduk sambil mengangkat satu tangan di bagian yang akan di-punksi itu ke atas kepala. Jadi kalau yang disedot sebelah kiri, tangan kiri diangkat melingkari kepala memegang telinga kanan. Sedangkan tangan kanan biasanya dikasih pegangan bantal buat dikruwes-kruwes, mana tau nanti berasa nyeri pas ditusuknya. Oh ya, cairannya dikeluarkan dengan membuat 'lubang' di punggung, lalu dipasang selang dan.. voila! cairannya keluar dan ditampung di botol deh tuh..

 
Ngeri gak sih ? Iya dong..
Sakit? Iya lah..
Sesudah mengalami thoracentesis yang pertama itu rencananya nggak akan ngulang lagi. Kapok. Little did I know what was in store for me then. Sesudah yang itu masih harus mengalami setidaknya 6 kali lagi prosedur yang sama, dan diakhiri dengan pasang selang yang nggak dilepas sampai satu setengah bulan. But I digress..

Kembali ke diagnosis, cairan pleura itu sebagian juga dikirim ke lab patologi dan sitologi, untuk (lagi-lagi) mendeteksi tb dan abnormalitas.

Hasil lab (lagi-lagi) negatif, jadi sampai sejauh ini (kurang lebih hampir 4 minggu sejak periksa pertama), masih belum ada kesimpulan pasti. Lega karena sejauh ini nggak ketemu penyakit aneh-aneh, nggak lega karena penyakitnya nggak ketemu-ketemu *nah loh apasih maunya?*

Ketemu dokternya lagi, dokter langsung meresepkan obat TB.
Hah? Kok bisa? Kan hasil lab-nya negatif terus?
Kata dokternya waktu itu, karena walaupun hasil lab negatif tb, tapi dari gejala-gejalanya dokter menyimpulkan bahwa pasiennya positif kena TB. Dan memang banyak kasus yang begitu. Kayak bukan TB tapi iya.
Oh ya?
Haduh, pasiennya sebenernya masih gak rela didiagnosis TB, karena nggak ada bukti hitam di atas putih (padahal kalo di foto ronsen indikasi tb malah putih di atas hitam yak, hehe..)

Tapi karena dokternya bilang begitu, yasudahlah.. kita minum obatnya deh. Oh ya, obatnya waktu itu adalah Rimstar yang ternyata isinya adalah 4 obat lini pertama untuk TBC, yaitu (urutan menunjukkan prioritas) :
Biasanya penderita TB diberikan 4 obat itu selama 2 bulan pertama, lalu dilanjutkan dengan INH + RMP untuk 4 bulan berikutnya, atau sampai 7 bulan untuk TB kelenjar dengan pertimbangan tb kelenjar lebih sulit dites kesembuhannya.

Obat ini diberikan ke penderita sesuai dengan berat badannya. Waktu itu kebagian minum 3 kali sehari 4 kaplet yang gede2 itu. Karena obatnya lumayan gede, jadi minumnya butuh banyak air. Kebayang deh kembungnya.


Oh ya, obat TB dibagi menjadi 2 jenis (atau 3 kalau lini ketiga dimasukkan), yaitu lini pertama dan kedua. Yang pertama untuk kasus biasa, yang kedua untuk kasus TB yang bakterinya resistan. Biasanya akibat pasiennya bandel dan tidak menuntaskan pengobatan ketika pertama kali didiagnosis TB.
Begitu dah ngerasa enak langsung setop minum obat, soalnya obat-obatan TB ini memang efek sampingnya nggak enak sih. Mual, muntah, sering buang air kecil, dsb.
Mana minumnya harus rutin, obatnya banyak, dan jangka panjang lagi. Jadi pantas kalau banyak yang putus di jalan.

Sebetulnya sebuah obat dimasukkan ke lini kedua alasannya ada beberapa, yaitu : karena kurang efektif dibanding obat lini 1, efek sampingnya lebih beracun, atau karena sulit didapat di banyak negara sehingga harganya jadi mahal. Makanya sebisa mungkin obat lini pertama yang digunakan lebih dulu.

Kembali lagi ke pasien yang gak rela tadi, setelah doi minum obatnya selama dua minggu.. eh lha kok ndilalahnya.. muncul reaksi-reaksi yang tidak diharapkan alias alergi. Mulai gatal-gatal hebat, mual muntah nggak berhenti-berhenti, berdebar-debar, dan macam-macam yang nggak jelas.

Langsung balik lagi ke dokter. Kata dokter stop dulu minum obatnya.

Pasien yang gak rela ini berdasarkan saran dari sana sini lalu mencari 2nd opinion ke RS Persahabatan yang notabene rumah sakit pusat respirasi nasional. Betul sih, kalau liat di website-nya aja, dokter spesialis paru di RSP sampai ada 28 orang. Permasalahannya, nggak tau dokter mana yang musti dituju karena nggak punya rekomendasi, jadi cap cip cup aja, alias mana aja yang lagi praktek waktu itu.

Ketemulah dengan seorang dokter senior citizen alias sudah agak lanjut usia. Pak dokter yang profesor ini sebenernya sempat curiga sama bejolan di leher yang nggak mengecil-mengecil walaupun dah dikasih obat, dan kenapa diraba terasa keras.
Tapi setelah melihat hasil lab dari FNAB di RSUD, dokternya cenderung mengikuti hasil diagnosis dokter pertama. Intinya sarannya adalah gimana caranya obat TB itu harus bisa dikonsumsi dengan meminimalisir efek sampingnya. Akhirnya pulanglah pasien yang gak rela ini dengan hati yang tetep nggak rela.

Sudah menjelang maghrib, kita break dulu.. nanti insya Allah dilanjutkan dengan volume ke 4 kisah si unyil mengejar diagnosis..

Jumat, 17 Mei 2013

Kesan pertama begitu menggoda.. selanjutnya..?

Seminggu terakhir ini susah banget menyetel pikiran dan hati buat ngeblog. Padahal sesudah kontrol ke dokter hematologi yang ternyata gak hemat-hemat amat itu rencananya pengen cerita banyak. Apa daya, steroid boost-nya udah mulai habis dan sisanya adalah seonggok orang loyo yang gak boleh kemana-mana sama dokternya.
Sebenernya sih itu alasan aja sih. Intinya orangnya emang lagi gak konsen ngeblog, hiks..

Oh ya, kontrol minggu lalu itu adalah yang pertama sebagai pasien rawat jalan. Sebelumnya ketemu Pak Dokter AWS ini selalu pas rawat inap. Pertemuan pertama dulu itu kesannya udah agak remang-remang, disamping karena waktu itu lampu kamar udah pada dimatiin, juga karena pasien dan yang nunggu udah tidur kecapekan setelah seharian banyak acara. Sebagai inpo, waktu pak dokter beserta dayangnya dateng ke kamar itu jam henpon menunjukkan jam 3 dinihari. Gak inget lagi apa yang waktu itu si bapak bilang, soalnya bener-bener teler abis. Yang jelas penampakannya cukup mengejutkan mengingat postur yang tinggi besar dan kepala botak.

Kontrol kemarin daftar 10 hari sebelumnya, dapat antrian ke 8. Petugas bagian pendaftaran wanti2 supaya hari H-nya nanti konfirm dulu jam berapa kira2 antrian ke 8 itu, mengingat biasanya pasien konsultasinya cukup lama. Makanya selesai praktek bisa sampe pagi kayak pengalaman rawat inap waktu itu. Singkat cerita, pas hari H ada tamu tak diundang tapi diharapkan, yaitu Nyah Juragan Kepiting, yang disertai dengan mobil kantor lengkap dengan Om Reri. Rencananya mau ngedrop rempeyek dan kawan2, lalu sekalian jemput kalau jadwalnya agak sorean.
Everybody, makasih yaaa...

Sorenya abis maghrib tilpun ke RS buat konfirm, kata mbak2nya 'sekitar jam 8'. Wah, langsung cabut aja lah, takut macet, mengingat lalu lintas Jakarta yang nggak bisa diprediksi kapan nggak macetnya. Kalau macetnya sih udah hampir pasti ya.

Sampai di tkp, jam setengah 8 malam, dokternya belum tampak. Yaudin makan dulu di kape depan ruang pak dokter, sambil ngeledekin mas-mas waiternya, karena kita orangnya emang begitu, haha..
Jam 20.30 pak dokter mulai eksyen, hitung2 durasi pasien-pasien yang duluan masuk, wah.. lama juga ya. Masing-masing berkisar 15-40 menit. Ya, secara kasarnya aja, karena kita mahluk kasar dan bukan mahluk halus, per pasien 20 menit lah.
Jadi kurleb kita akan masuk jam 11-an malem. Fiuh.
Tapi nunggu 3.5 jam jadi berasa gak gitu lama setelah ngobrol sama pasien sebelah, karena doi kebagian antrian nomer 20an. Wuidih..

Sesuai perkiraan, jam 23 dapet panggilan. The good news is, setelah tanya jawab dan periksa sana sini, pak dokter bilang kalo doi sebenernya lumayan surprise karena efek terapi yang dirasain gak gitu parah. Awalnya pak dokter sempet ragu2 ngasih obat secara lengkap karena waktu itu kesannya ringkih banget, terutama masalah paru2 yang kolaps total dan jantung yang sempet mau jebol dua kali gara2 aminophillin.
Istilah dokter, ternyata cabe rawit juga, kecil2 kuat.
Nah, beberapa bulan yang lalu, sebelum terjadi defisit 17 kilo ini, kayaknya nggak mungkin deh ada yang bakalan ngasih julukan 'cabe rawit', lebih mungkin sih cabe ijo atau cabe merah besar :P
Dengan melihat dua sesi terapi yang udah dijalani ini, dan efek yang cukup positif, pak dokter optimis kalau ke depannya mudah2an lancar juga.

The not so good news, entah karena pasiennya ngaku mendeteksi abnormalitas di tempat yang dulu gak terdeteksi atau memang dari awalnya udah direncanakan begitu, terapi yang tadinya dijadwalkan sekitar 6-8 putaran, jadinya dijatah 8-9 sesi. Waktu liat pasiennya rada kaget dan agak kecewa denger angkanya, pak dokter langsung tanya 'Masih semangat kan?'
Wah, kalo ditanya masih semangat pengen sembuh, ya masih lah dok. Cemungudh!

The next not so good news adalah, hasil cek darah menunjukkan leukosit ngedrop. Yang mestinya antara 3600 - 11000, cuma dapet 1200. Pak dokter sempet hampir meresepkan obat suntik buat meningkatkan leukosit, tapi sebelumnya pernah browsing2 dan nemu kalo obat ini nyuntiknya dengan cara subcutaneous alias di bawah kulit. Huaa... perih aja ngebayanginnyaaa
Obat ini masuk golongan G-CSF alias granulocyte colony stimulating factor, atawa obat yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah putih.
Sebelumnya udah sempet browsing2 juga dan nemu kalau memang di hari ke 7 sampai 10 sesudah terapi, pasien memang mungkin akan mengalami yang namanya titik nadir. Yaitu titik dimana blood count akan drop di titik terendah. Ada kalanya nanti akan bisa naik sendiri kalau kondisi pasien bagus, gak ada infeksi dan asupan energinya bagus.
Cuma yang dikhawatirkan memang selama drop itu kena infeksi, bakalan gawat karena tubuh gak punya cukup amunisi untuk melawannya.

Berbekal pengetahuan yang alakadarnya, dan rasa takut disuntik yang gak alakadarnya, hehe.. langsung nawar deh : kalau dibiarin aja bisa gak dok nanti naik sendiri gitu?
Alhamdulillah kata pak dokter, dulu sebelum adanya obat gcsf itu, biasanya pasiennya juga disuruh banyak istirahat dan makan yang bergizi aja. Cuma syaratnya harus bisa mengisolasi diri dengan baik. Bukan dengan selotip, lakban dan sebangsanya, tapi dengan cara jangan pergi2 dulu, kalau terima tamu pakailah masker, dan rajinlah menjaga kebersihan, termasuk cuci tangan setiap habis ngapa2in dan sebelum makan.

Keluar dari ruang dokter jam 23.30, berarti konsultasinya 30 menit. Standar lah. Secara keseluruhan pak dokternya cukup hepi melihat progres dua kali terapi ini, dan berharap supaya ke depannya akan lancar dan progresnya tetep baik. Dari situ gak ada jadwal kontrol dan tes lagi, tapi langsung dikasih resep dan pengantar untuk terapi yang ketiga nanti. Yaitu senin tanggal 20 ini, hiks.. cepet aja yaa..
Memang benar kata orang, time flies when we're having fun, heheh.. yeah right..

Intinya, perjalanan masih jauh, masih mungkin ada naik turun.. tapi jangan khawatir, tetep semangat dan berdoa, semoga tetep lancar, gak ada hambatan yang berarti, dan berakhir dengan bahagia yaitu 'sembuh' selamanya. Sementara itu dalam perjalanannya, tetap bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan, semoga makin banyak lagi kemudahan yang kita terima ke depannya.

Loh, tapi kok.. mana part 3 TB or not TB-nya? Ah, itu.. hehe.. nanti2 deh ya.. ini ngeblognya aja udah 3 hari gak selesai-selesai gara-gara ngetik beberapa kalimat terus ketiduran mulu :D

Kamis, 09 Mei 2013

TB or not TB, part deux

Mungkin akibat efek steroid yang masih beredar di metabolisme, jadinya terpaksa kembali ke kodrat semula jadi manusia kalong, alias kalau malam melek dan siangnya ngantuk terus.

Eh iya, steroid disini bukan anabolic steroid yang dipakai buat bikin badan ala ade rai gitu yaa..

Jadi jangan dibayangkan kalao ntar masuk kantor penampilan bakalan kekar membahana dengan sepir yang menonjol kesana kemari, badan bak segitiga kebalik dan perut enam kotak pas.

Yang dipake ini jenis cortico steroid, lebih spesifiknya prednisone, yang salah satu efeknya justru bikin muka bulet, kaki dan tangan geda2 kek ibu hamil, dan muscle tone alias otot ngilang semua, ganti jadi air gak jelas gitu.

Tapi nda apa2, orang bilang, steroid yang cortico ini adalah 'unsung hero' dari rangkaian terapi obat, karena doi tugasnya adalah mendukung obat2an utama yang bertugas membunuh penyakitnya, dan meminimalisir efek samping dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh obat2an utama itu.
Jadi, lepas dari segala efek negatipnya itu, i embrace you gladly.. my beautiful steroid.. *sok dramatis*

Baiklah, kembali ke topik yang ditinggal ngantuk kemarin, yaitu diagnosis TB yang ternyata bukan TB itu, setelah banyak ngobrol sama orang (iyalah masa sama tiang listrik), ternyata kasus 'dikira TB tapi bukan' ini lumayan banyak kejadian. Mungkin tetep nggak sebanyak kasus 'TB tapi dikira bukan'sih *haha.. mulai deh*

Gejala TB, yang diantaranya :
  • Batuk berkepanjangan, seberapa panjang? kalo menurut mayoclinic.com, batuk 3 minggu, apalagi lebih, sudah harus waspada
  • Demam berulang, kadang2 nggak terlalu tinggi, jadi kayak meriang2 gitu deh
  • Kelelahan
  • Penurunan berat badan yang lumayan drastis
  • Keringat malam, bukan cuma gerah2 gitu, tapi biasanya sampai harus ganti baju karena basah kuyup
  • Menggigil atau panas dingin
  • Hilang nafsu makan

ternyata bisa juga jadi gejala penyakit lain.
(Penyakit apa ajakah ituu? Hmm.. kasi tau gak yaaaa... :D )

Cuma, karena memang penyakit yang umum adanya di negara kita tercinta ini adalah TB, maka kebanyakan dokter akan lebih cenderung mendiagnosis sebagai TB. Until proven otherwise.

Sayangnya, until proven otherwise-nya itu kadang2 nggak kejadian, atau kejadian tapi sudah terlambat.

Oh ya, biasanya untuk mendeteksi TB or not TB itu dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

Periksa napas pake stetoskop, raba kelenjar getah bening, terutama yang di sekitar leher, kalau2 ada pembengkakan akibat infeksi

Soal pembengkakan kelenjar ini sebenernya sebabnya juga macem2, tapi yang perlu diinget adalah, pembengkakan kelenjar karena infeksi biasanya ada rasa nyeri kalau ditekan, dan kelenjar yang bengkak itu cenderung lunak. Kalau enggak, maka ada kemungkinan bukan infeksi, dan tentunya perlu diperiksa lebih lanjut. Indikasi lain, biasanya kalau bengkak karena infeksi, setelah diberikan obat (biasanya antibiotik), benjolannya akan mengecil dan bahkan hilang. Kalau enggak, maka ada kemungkinan bukan infeksi, dan tentunya perlu diperiksa lebih lanjut *kopipes yang di atas*

Tes kulit atau biasa disebut tes mantoux
Tes ini menyuntikkan sedikit protein tuberculin ke kulit. Setelah 48-72 jam bekasnya dilihat apakah ada benjolan kecil berwarna merah atau enggak. Sayangnya hasil tes ini nggak selalu bisa mengindikasikan orang kena TB atau bukan. Untuk orang yang udah pernah divaksin BCG, testnya bisa positif, dan untuk orang yang kena infeksi TB tapi antibodinya belum kebentuk, hasilnya malah bisa negatip (pake pe).

X-rays atawa poto rongsen
Biasanya kalau dokter curiga tbc-nya tbc paru (soalnya tbc kan bisa dimana aja yak, ga cuman di paru doangan), maka dokter akan menyuruh kita untuk foto paru2, untuk melihat apakah ada kelainan di paru akibat kuman TB itu. Biasanya ada bercak-bercak atau malah ada kabut putih.

Tes darah dan dahak/sputum
Tes dahak biasanya dilakukan dengan ambil sample 3 kali.
Kalau tes darah hasilnya bisa cepet, tes sputum keluarnya biasanya beberapa hari baru keluar. Untuk hasil tes sputum ini, kalau hasilnya positif biasanya artinya si kuman tbc itu lagi aktif di badan penderita, dan kemungkinan menularnya agak besar. Kalau hasilnya negatif, lagi-lagi, sialnya, belum tentu orangnya gak menderita tbc. Bisa jadi menderita tapi kumannya tidak aktif alias tidak menular. Biasanya kalau positif di hasil lab-nya ada tulisan BTA +. kalo negatif tentunya BTA -.

Pemeriksaan cairan pleura
Ini khusus untuk yang menderita efusi pleura. Apakah itu?
Efusi pleura adalah paru2 kita kerendem air, atau orang biasa sebut paru-paru basah.

Sebetulnya yang namanya pleura itu adalah kantong yang membungkus paru2 kita, dan di dalamnya memang ada sedikit cairan 'pelumas', untuk melindungi paru dari gesekan dan benturan, terutama dengan tulang iga kita.

Kalau kita menderita efusi pleura atawa cara inggrisnya pleural effusion, cairan yang terbentuk di pleura itu berlebihan, jadinya malah menuh2in bungkusnya dan mendesak paru2. Akibatnya paru2 jadi gak bisa mengembang alias kempes.
Akibatnya napas jadi terbatas.
Biasanya gejalanya adalah sesak napas tapi nggak ada suara wheezing atau kalo orang jawa suka bilang 'mengi'. Itu lhoo.. suara kayak siulan yang biasanya kedengeran di napas orang yang kena asma.
Karena pembentukan cairannya di awal2 sakit biasanya rada bertahap, jadi yang dirasakan juga secara bertahap makin lama makin mudah ngos2an kalau jalan. Bahkan kalau sudah berat, jalan biasa aja bisa berasanya kayak habis lari maraton. Ini terjadi karena paru2 makin mengecil akibat cairan yang makin banyak.
Kalau di hasil foto ronsen, penampakan pleural effusion adalah seperti kabut putih di salah satu atau salah dua paru2.



In my case, mungkin karena pas ke dokter paru kondisi sudah lumayan payah, maka nggak semua tes dilakukan. Waktu itu dokter langsung nyuruh foto ronsen, cek darah dan dahak.

Oh ya, disamping batuk kebetulan (gak betul juga sih sebenernya) punya bakat asma. Nah, gak asik kan.. mestinya bakat itu menyanyi, main musik, atau menggambar gitu. Lha ini bakat kok bengek.
Eniwei.. gara2 punya kecenderungan asma, awalnya sesak2 itu jadi dianggap karena batuk dan bengeknya berulah aja.

Waktu itu sempet hampir dua bulan bolak balik kena flu dan batuk2, dan bolak balik juga berobat ke dokter umum deket rumah. Pengobatan pertama sukses, yaitu batuknya sembuh, tapi cuma bertahan seminggu. Seminggu kemudian tewas lagi kena batuk, malah sesak napasnya nambah. Dan mulai teraba ada benjolan di leher, di atas tulang belikat.

Entah kenapa, si dokter umum ini kok ya cuma bolak balik ngeresepin antibiotik sama obat sesak napas aja, padahal tiap kali balik kesana sakitnya nambah payah. Kalau menurut angan-angan orang yang gak pernah ke dokter ini, dan mendambakan dokter yang kayak di film2 gitu, pengennya sang dokter merekomendasikan untuk periksa ke spesialis atau gimana gitu.
Tapi karena angan2 orang ini enggak terwujud, akhirnya sempet ngikutin aja apa kata dokter, sampai akhirnya pada suatu hari yang cerah, didorong oleh kondisi yang ndak juga membaik, memutuskan sendiri untuk periksa ke spesialis paru di RSUD.

Dan dimulailah perjalanan panjang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang mengawali tulisan ini, yaitu : TB or not TB?

Jawabannya?
Nanti deh ya.. sekarang kita ngantuk lagi dulu, ehehe