Minggu, 30 November 2014

Scanxiety, kecemascan?

Alhamdulillah pet-scan sudah terlaksana dengan baik sesuai tanggal yang direncanakan.
Telat banget yak postingnya? Nggak apa lah, kan biasanya juga begitu :D
Tadinya sudah siap mental untuk berangkat sendiri, tapi hari Jumat my lovely sista kasih kabar kalau dia akan cuti satu hari untuk menemani. Huaa.. senangnyaa.. sankyuuu.. :-*

Kirain 'cuma' mau pet scan gitu, perasaan bakalan santai-santai aja. Dan memang waktu itu juga berusaha meyakinkan diri kalau ini 'cuma' prosedur biasa, bagian dari check-up rutin.
Lagian, takut kenapa sih? Paling yang agak menakutkan bagian suntik obatnya lah.  
But hey, you've been on chemo and immunotherapy for 2 years. That's countless blood drawings and infusions. Surely a little needle won't scare you that much?

Tapi ternyata nggak bisa eh.
Hatiku amat kacau, seperti setelah meletusnya balon hijau.

Ini bukan cuma masalah disuntik atau discan saja ternyata, tapi soal banyak hal.
Ini juga soal melihat bagaimana hasil usaha yang dua tahun ini, apakah akhirnya bisa bersih dan bisa mulai disebut remisi? Atau apakah justru bakalan ketemu hal-hal lain yang tadinya nggak keliatan?
Apakah justru ada efek lain dari penyakit dan serangkaian terapi yang dijalani selama ini?

Scan kali ini kalau diibaratkan mungkin seperti 'terima rapor' setelah dua tahun 'belajar' dan 'ujian'. Jadi perasaan pun jadi campur aduk antara berusaha optimis dan khawatir.
Antara berusaha berpikir positif kalau hasilnya akan ok, seperti yang diharapkan, dengan ketakutan kalau harus menjalani lagi yang sudah dilalui tahun kemarin.

Dan satu pikiran yang pasti pernah terlintas di pikiran  orang yang pernah kena kanker adalah 'jangan-jangan kankernya balik lagi'

And the internet freak side of me led me to search the internet for 'scan' and 'anxiety'.
Dan ternyata eh ternyata.. ini bukan perasaan yang berlebihan atau mengada-ada loh, karena perasaan kayak gini ini ternyata sampai ada namanya, yaitu scanxiety, alias scan anxiety, alias kekhawatiran yang dirasakan sebelum menerima hasil scan.

Bukan scan dokumen pake scanner atau mesin potokopi yaa.. tapi scan bodi alias badan. Entah itu ct-scan, pet-scan, mri, atau scan2 yang lain.
It's like suddenly your whole life is on hold, waiting for the result, is it good and finally you can move on and plan ahead, or will you have to start all over again?


Minggu, 09 November 2014

Persiapan sebelum PET-Scan?

Sebetulnya dipesen sibos untuk ngarang artikel, tapi kok ya jam segini baru bisa on.
Jangan-jangan defisit hb belum resolve ya?
Hmm... ngaku deh, harusnya kamis kemarin cek ke lab, tapi males, jadi sampe sekarang belum deh.

Intinya, i'm the queen of procrastination, so instead of doing my homework, mari kita ngeblog barang sehalaman *hihi.. maap bos, yang ini mikirnya nggak susah sih, dan nggak perlu lugas2, santey aja kaga pake ngegas*

Oh ya, padahal selasa ini pas artikelnya deadline, harus bolos ngantor karena pas jadwal pet-scan. Jadi memang harus dibuat sekarang, dan selesai nggak selesai dikumpulkan besok. Nah, ngomong-ngomong, besok itu tinggal 3 menit dari waktu ngetik sekarang. Huehe.. hopeless daah..

Seperti yang udah ditulis sebelumnya, minggu lalu sudah bikin janjian dengan bagian kedokteran nuklir mrccc. Nomer tilpunnya ini : 021-29962765, in case anyone need it.
Pas tanya ke mas2nya apa yang harus dipersiapkan untuk pet-scan besok (selasa maksudnya, karena ini udah senin), si mas bilang, puasa aja 6 jam sebelumnya.

Karena takut ada yang kelewat, secara kemarin cuma nanya lewat telpon dan buru-buru, maka jurus andalan dikerahkan, yaitu bertanya kepada google yang bergoyang.

Pet-scan yang biasa dilakukan untuk mendeteksi keganasan adalah FDG (18-Fluoro-deoxyglucose) pet. FDG pet menggunakan radiolabeled glucose, atau glukosa yang diradiasi.
Si FDG ini akan diserap oleh tubuh, dan metabolisme yang abnormal akan terlihat pada waktu di-scan, dan abnormalitas itu biasanya menunjukkan adanya keganasan atau kanker.
'Biasanya', karena bisa jadi tidak terlihat abnormalitas padahal kankernya ada (false negatif), atau terlihat aktifitas yang lebih dari normal, tetapi bukan kanker (false positive).

Karena hasil scan-nya sangat bergantung dengan bagaimana sel-sel tubuh kita mencerna FDG, dan fdg ini adalah molekul sejenis glukosa, maka tubuh kita perlu dipersiapkan supaya bisa mencerna si fdg ini dengan baik.

Tapi ternyata memang terjadi khilafiyah di kalangan ahli radiologi mengenai persiapan yang perlu dilakukan oleh pasien sebelum pet-scan. Yang umum disarankan ya seperti pesen si mas penerima telpon itu, yaitu puasa 6 jam sebelum dilakukannya prosedur.
Akan tetapi banyak juga yang menyarankan atau malah mensyaratkan beberapa persiapan tambahan, agar hasilnya optimal, yaitu sbb:
  • Hindari aktifitas berat, seperti olah raga dan kerja yang membutuhkan tenaga banyak, dan hindari pijat (deep tissue massage), selama 24 jam sebelumnya (ada yang menyarankan 48 jam)
  • Selama 24 jam sebelumnya, makan makanan yang sangat rendah karbohidrat, dan jangan mengkonsumsi gula. Makanan yang harus dihindari antara lain : karbohidrat (nasi, kentang, jagung, gandum, cereal, dst), sayuran yang mengandung tepung dan/atau gula seperti wortel dan tomat, buah-buahan, dan gula pada umumnya, kafein (kopi, teh), dairy product seperti susu dan yoghurt.
  • Hindari alkohol dan nikotin setidaknya 24 jam sebelumnya. Well, selamanya sih sebenernya
  • Banyak minum air putih, eh air bening ya.. sebelum dan sesudah prosedur. Sebelum, supaya tubuh well-hydrated, sesudah supaya zat radioaktifnya cepat dibuang melalui urine
  • Puasa selama 6 jam sebelum tindakan, boleh minum air bening saja
  • Dress warmly. Kalau yang ini sih di jakarta nggak masalah kayaknya yak
Nah, karena pet scan ini biayanya lumayan, dan efek radiasinya juga lumayan, kayaknya sayang kalau nggak dipersiapkan dengan baik. Setelah browsing2, dan kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hasil yang lebih jelas dengan low carbohydrate diet, maka ndak ada salahnya kalau kita praktekkan juga lah ya.
Namanya juga ikhtiar.
Sekarang tinggal berdoa supaya nanti pas waktunya semua lancar, dan lebih penting lagi, hasilnya bagus, supaya bisa dapat stempel ok dari pak dokter AWS. Doakan aku yaa..

Eh iya, satu lagi, sekarang tinggal (berusaha) ngerjain pe er deh.. doakan aku untuk yang ini juga yaa..

Senin, 03 November 2014

Program ulang tahun : pet-scan

Alhamdulillah dua minggu yang lalu sudah absen rutin ke RS.
Proses kali ini alhamdulillah lancar jaya, kecuali pas cek lab ke RS Haji.
Nggak lancarnya karena jalanan macet bangeeet.. dan sampai di sana ternyata mereka baru bisa kasih hasilnya dalam waktu 4 hari, atau 3 hari kerja karena besoknya hari Ahad. Waduh, padahal biasanya selasa sore udah bisa lho, bahkan kalau dirayu dikit, selasa pagi pun bisa diusahakan.
Tapi  kali ini mas2nya beda, dan nggak bisa ngasih hasilnya sebelum rabu.
Hmm.. what to do? Selasa sore sudah mau kontrol.
Kata mas2nya, ke Pr*d*a aja.
Hmm.. browsing2, yang deket ada di kp melayu. Bisa tuh pas berangkat kerja. Tapi nggak yakin kalau ditunda2, belum lagi takut kenapa2 kalau makin mepet waktu kontrol, jadi mending hari itu diselesaikan aja urusan lab-nya.

Tapi hari itu puanasssnyaa... masyaAllah.. males banget mikirnya, harus nyari2 dulu (rada lupa dimana persisnya), trus daftar2 dulu..
Akhirnya setelah cap cip cup hitung kancing, diputuskan untuk ke Medistra langsung aja. Biar nggak perlu bolak-balik dan ambil hasilnya nanti pas kontrol sekalian.

Padahal cuma buat memutuskan dimana mau nge-lab aja, udah puyeng karena banyak yang dipertimbangkan.
Jadi keinget dulu pas mata kuliah topik khusus AI, bikin pseudocode buat proses planning, pantesan susah yak. Apalagi kalo yang dimodelkan orangnya berpola pikir ruwet kayak gini.

Cek darah di RS swasta ini memang ada lah bedanya dibanding di rs pemerintah, terutama harganya, haha.. periksa darah standard (hb, leuko, trombo, hematokrit, dst) + LED, darah tepi, ureum, kreatinin, dan LDH, di rs Haji sekitar Rp. 450.000, di RS swasta ini lebih mahal sampai 220 ribu. Tapi satu hari selesai. Dan nggak terlalu sakit pas diambil darahnya, karena sakitnya tuh disiniii... *nunjuk dompet*

Singkat cerita ,hari selasa malam tibalah waktu berjumpa dengan pak dokter AWS yang tercinta. Tumben banget pak dokter sudah hadir dari jam 18.30. Kemarin2 jam 19.30 baru dateng, bahkan kadang jam 20.30 atau malah jam 9 malem. Pasiennya sampai telat semua hari itu.

Seperti biasa, kalimat pembukanya adalah : apa kabar?
Dan setelah dijawab dengan : alhamdulillah baik, pak dokter akan mengatakan : itu kan kata kamu, sini sekarang kita lihat secara objektif apakah betul-betul baik. Pertama2 timbang dulu.

Catatan kali ini, dari sisi kankernya alhamdulillah tidak tampak aktifitas (dokter tidak menggunakan kata sembuh atau belum, karena sayangnya memang nggak bisa disimpulkan begitu saja), melihat posisi LDH dan LED kali ini sudah di dalam batas normal. Mudah-mudahan tetep normal ya.

x-ray terakhir baru 4 bulan yang lalu, jadi pak dokter belum akan nyuruh lagi dalam waktu dekat, sayang paparan radioaktifnya. Hasil yang 4 bulan lalu relatif ok, kecuali seperti sudah diketahui sebelumnya, ada left diaphragm paresis alias partial paralysis, alias otot diafragma yang melemah sehingga naik dan mengurangi volume paru-paru.

Kira-kira begitu deh gambarnya.

Efeknya mungkin karena volume paru berkurang, nafasnya berkurang, jadi aktifitas terbatas dibanding sebelumnya.
Pas mengeluhkan keterbatasan aktifitas ke pak dokter, jawaban si bapak cuma begini : ya dibatasi aja kalau begitu.
Oh baiklah... 
Kata pak dokter, ini akibat isi dada yang kacau balau waktu itu, ya kanker nempel ke sana ke mari, ya infeksi. Jadi diterima aja lah ya.. Mudah-mudahan suatu saat nanti bisa pulih sendiri. Atau kalau enggak ya bisa beradaptasi.

Catatan berikutnya adalah hb menurun lagi. Kalau dua bulan yang lalu di angka 9, kali ini turun satu poin, jadi 8. Pak dokter memutuskan untuk memberikan besi, karena suspect sementara penurunan hb adalah karena kekurangan besi. Mungkin pak dokter ingin saya mencontoh mendiang margaret thatcher, jadi wanita besi.
Pak dokter memberi arahan atau caution, bahwasanya pil besi ini paling baik diserap dalam kondisi perut kosong. Akan tetapi karena sifat pil besi ini mengiritasi lambung, maka the second best condition adalah dengan perut bersuasana asam. Jadi makan dulu, sesudah itu makan yang asam2 seperti misalnya jeruk atau vit c.
Si bapak juga membawakan resep cadangan. Kalau-kalau nanti perut nggak kuat pake resep versi 1, ganti ke versi 2 yang besinya dikunyah, bukan diminum. Tapi dicoba dulu yang v.1
Nanti dua minggu berikutnya, ke lab lagi untuk cek darah ulang, dan hasilnya dikabarkan ke pak dokter. Nggak perlu datang, cukup sms atau email aja.
Nah, kalau makan besi nggak mempan, langkah berikutnya mungkin transfusi deh. Begitu 'ancaman' pak dokter. Mudah-mudahan mempan deh yaa..

Oh ya, dalam rangka ulang tahun kemoterapi yang pertama, ada event khusus yang akan diselenggarakan, yaitu check up dengan pilihan : ct-scan atau pet-scan.
Seperti biasa, pak dokter menyerahkan ke pasiennya untuk memutuskan metode testing yang akan digunakan, apakah black box, stress test, user acceptance test, atau integration testing *halah*
Setelah minta pertimbangan pak dokter, beliau lebih cenderung ke pet-scan saja, jadi ya pilih itu deh. Kita mah orangnya nurut aja kok sama pak dokter.

Maka pak dokter membuatkan surat pengantar ke bagian kedokteran nuklir MRCCC, untuk mendaftar pet-scan.
Berbekal surat pengantar, telpon deh ke MRCCC bagian nuklir.
Biaya pet-scan di mrccc menurut mas yang terima telpon tadi adalah 8,7 juta. Prosedurnya daftar lewat telpon paling lambat 2 hari sebelumnya, lalu pada hari H puasa sekitar 6 jam sebelum prosedur.
Dapat jadwal jam 10.00 tanggal 11-11-14, wah angka hampir cantik tuh. Hampir.
Mudah-mudahan nanti hasilnya lebih cantik lagi. Bersih dan sehat.
Doakan aku yaa...

Sabtu, 11 Oktober 2014

Back on my feet again

Tidak terasa,  Pertengahan oktober nanti tepat satu tahun kemoterapi lanjutan atau immunoterapi per dua bulan dilakukan.
Berarti sudah 6 kali dari 12 kali yang direncanakan semula, atau 15 kali terapi dari 21 kali termasuk kemoterapi utama.

Oh ya, terapi dua bulan yang lalu itu agak istimewa buat saya.
Untuk pertama kalinya semuanya dilakukan dan dijalani sendiri, dalam arti yang sebenarnya. Mulai dari appointment dengan dokter, dengan tukang obat, dengan rumah sakit, dengan lab dan apotik, sampai check in dan check out di hari h-nya.

Prosedurnya biasanya begini: dua bulan sebelumnya daftar untuk kontrol ke dokter AWS. Yeps, dua bulan sebelumnya, dan itu pun dapat urutan 2, bukan urutan pertama. Nggak jauh beda dengan pesen tiket kereta.

Karena saat ini sedang dalam program diskon dari Roche, maka sekitar seminggu sebelum kontrol, memastikan ke tukang obat, yaitu roche, kalau Mabthera-nya tersedia dan bisa diambil nanti pas mau terapi.
Kalau pas lagi nggak di program diskon, dan harus beli sendiri dengan harga normal, berarti telpon ke apotik YKI sekitar 2 hari sebelum terapi untuk pesan Mabthera.
Harga obat-obatan kanker di YKI ini lumayan selisihnya dari harga di rumah sakit. Misalnya untuk mabthera, dulu pernah beli di rs karena darurat, harganya sampai hampir 17 juta untuk dosis 500mg, sedangkan di YKI sekitar 15,5 juta. Lumayan kan selisihnya 1 juta-an.

Lalu sekitar 4 hari sebelum tanggal kontrol, ke lab dulu untuk ambil darah. Kebetulan saya biasa ke RS dekat rumah, yang tidak punya sarana untuk cek LDH sendiri, jadi harus tunggu sekitar 2 atau 3 hari untuk ambil hasilnya.

Lalu di hari kontrolnya, ke lab lagi untuk ambil hasil.
Dokter AWS biasa mulai praktek jam setengah 8, jadi habis maghrib berangkat ke RS untuk kontrol. Oh ya, untuk memudahkan pas check-in besoknya, maka paginya telpon dulu ke bagian admission rawat inap RS, untuk daftar dan pilih kamar. Dapat atau enggaknya kamar yang kita pilih itu tetap tergantung ketersediaan kamar pas kita check-in.
Besok paginya ke tukang obat atau ke apotik YKI untuk beli obat, sudah lengkap dengan perlengkapan untuk menginap di RS. Tidak lupa coolbox untuk bawa obat, surat-surat pengantar, resep, dan hasil lab.

Dari tukang obat, langsung ke RS dan mengantar obat ke apotik, dilanjutkan ke pendaftaran rawat inap. Disini biasanya agak lama karena harus antri, lalu isi formulir dan cek ke asuransi.
Dan walaupun sudah telpon sehari sebelumnya, belum tentu kamar yang kita pilih ada yang kosong. Oh ya, karena menyesuaikan dengan asuransi, biasanya pilih kamar kelas 3.
Tapi jangan salah, di RS ini kamar kelas 3 justru paling enak buat kemoterapi. Suster-susternya sudah terbiasa dengan pasien kemo, jadi lebih cekatan dan hapal prosedurnya. Belum lagi dulu pernah jadi penghuni kamar kelas 3 selama sebulan, jadi susternya hampir semuanya kenal.
Pasiennya tinggal merem aja dalam arti sesungguhnya, soalnya sebelum kemo biasanya dikasih obat yang bikin nguantuuk banget.
Dan untuk pasien yang datang tak diantar pulang tak dijemput kayak saya, kelas 3 ini enak karena rame, dan susternya sering lewat2, jadi nggak sepi2 banget, dan kalau perlu apa-apa tinggal teriak aja (atau pencet bel kalau malu teriak2, hehe).

Setelah kemo dan menginap semalam, dan melakukan prosedur tambahan kalau ada (echo jantung, atau ronsen, atau ct-scan kalau pas jadwalnya atau bilamana perlu, sesuai perintah dokternya aja gitu), dan kalau sudah boleh pulang, maka infus boleh dilepas, dan kita eh saya bisa kabur ke bagian billing untuk mengurus check-out-nya.
Ini yang biasanya agak lama, karena harus antri lagi, dan cek asuransi untuk tahu apa saja yang di-cover dan apa yang tidak.
Kemarin disuruh balik ke kamar aja untuk nunggu kabar, karena si mbak2 cs kesian sama pasiennya kalau nunggu lama di billing.
Setelah proses billing selesai, kemarin sekitar 2 jam lah, lalu suster akan memberikan surat discharge yang isinya keterangan tanggal masuk, tanggal keluar, prosedur apa saja yang dilakukan, pesanan dokter untuk pasien setelah pulang nanti, obat-obatan yang harus diminum, dan resep kalau ada.

Selesai deh!
Lalu pasiennya pulang deh.
Lalu dua bulan kemudian, yaitu minggu depan, prosedur yang sama diulang lagi deh.

Alhamdulillah terapi yang dua bulan lalu itu berjalan lancar. And it was a kind of milestone for me. It's like a graduation, my official step into independence.
Mudah-mudahan ke depannya bisa tetep lancar, dan diikuti dengan milestone yang lain, yang  lebih penting, yaitu pernyataan resmi dan positif dari dokter AWS, that i'm finally cured, NED, in remission, forever.

Kamis, 18 September 2014

Of all the things we take for granted..


Bulan september ini sebetulnya bulan kewaspadaan leukimia dan limfoma. Hmm.. kok aneh ya kedengerannya. Sebenernya sih maksudnya ini : leukaemia and lymphoma awareness month.

Dan tanggal 15-nya adalah world lymphoma day.
 
Dan berkaitan dengan itu, sebetulnya ada cita-cita untuk posting sedikit soal limfoma.
Nggak banyak-banyak, sedikit saja.
Cuma sejauh yang sudah pernah dibrowsing di internet, dan pengalaman hidup bersama limfoma selama ini.

Bukan untuk merayakan tentunya, karena it's clearly not something to celebrate, tapi lebih ke ikut menyebarkan awareness.

Akan tetapi.. nah, ini.. pasti sudah ketebak sih ya, kalau dalam satu paragraf ada beberapa kata sebetulnya, sebenarnya, cita-cita, kepengen, dan lain sebagainya.. lalu ada kata2 tapi, biasanya pada akhirnya ya jadi begitu saja. Jadi cita-cita dan sebetulnya saja. Nggak jadi tulisan.

Soalnya (nah, ini pola standarnya : Sebetulnya - Tapi - Soalnya, hehe.. ) seminggu terakhir ini level energi tiba-tiba menurun drastis. Memang semenjak resmi bergabung dalam barisan para pejuang kanker ini (hadeh, kok kesannya heroik amat ya), salah satu permasalahan utama yang hilang timbul tiada sopannya adalah rasa lelah letih lesu alias fatigue.
Hmm.. lain kali pengen nulis soal ini juga deh (eheheh.. ini hobinya kok bikin to do list, tapi pelaksanaannya gak ada).

And on top of that, my body started to do some quirky things..
Selama seminggu yang naudzubillah panasnya ini, my body keeps breaking in cold sweat, except for my forehead.
Jadi mandi keringat, tapi bagian dahi kering kerontang panas membara *halah hiperbolis*

Sepertinya sepele ya..
Keringet aja..
Kalo keringetan tinggal di-elap. kalo nggak keringetan ya kipasan.
Oho.. ternyata nggak se-sepele itu sodara-sodara
Karena kepala nggak bisa keringetan, rasanya lama-lama kayak orang demam, badan dingin kepala panas.
Dan mungkin (mungkin lho yaa...) karena ada bagian yang tetep panas, bagian tubuh yang lain mengkompensasi dengan memproduksi keringat lebih banyak lagi.
Akibatnya, tambah nggak seimbanglah suhu panas-dingin antara hati dan kepala *eh*

Kalau badan sudah aneh-aneh begini, mau nggak mau salah satu kekhawatiran yang muncul adalah : is it the cancer?

Memang bener apa kata orang, bahwa cancer is a gift that keeps on giving.

Meskipun misalnya kita sudah dinyatakan sembuh atau remisi atau NED atau apapun itu, tetap saja jejaknya akan terus terasa sampai lama.
Mulai dari sisa efek kankernya maupun efek pengobatannya, tidak bisa serta merta lenyap dari muka bumi ini.
Belum lagi kemungkinan baliknya kanker itu pun selalu ada, sehingga kita sendiri harus selalu waspada dan teliti dengan setiap ketidaknormalan yang terjadi.
Dan disini ini bagian yang tricky banget. Kalo nggak waspada takut kecolongan, kalo berusaha waspada, takut jadinya paranoid, nanti stress sendiri. Dan orang juga banyak bilang, bahwa stress itu memicu kanker. Nah lo..

Tapi tetep, di setiap peristiwa yang terasa negatif, pasti ada sisi positifnya, yaitu.. hmm.. yaitu.. apa ya..

Hmm... oh iya, ini :
Yaitu mudah-mudahan pengalaman yang aneh-aneh ini bisa membuat lebih bersyukur.
Lebih menghayati bahwa apapun yang kita rasakan di dunia ini, yang selama ini kita anggap sepele, that we take for granted, seperti misalnya bernafas, berkeringat, atau buang angin barangkali, itu sebetulnya adalah nikmat Allah yang tiada tara.

Lagian emang siapa elu, kok berani mengklaim kalo situ punya jatah bernafas, jatah berkeringat?
Itu semua kan hak prerogatif Allah. Kapan Allah kasih, kapan Allah ambil..
Sudah pernah berterima kasih belum, dikasih itu semua?

Gitu barangkali moral of the story-nya...

Terus terang soal sepele itu sempet bikin down juga kemarin. Rasanya belum siap banget kalo harus mengejar-ngejar dokter lagi untuk dapet diagnosis kenapa dan apa yang salah.
Kemarin sih sempat ke dokter kulit (lho, kok dokter kulit? iya, ini dokter yang paling deket dari rumah soalnya.. haha.. alasan yang aneh ya), dan bu dokter bilang ini masalah kelenjar keringat, jadi banyak faktor yang mungkin menyebabkannya. Banyak yang harus diperiksa untuk tahu bener akar permasalahannya.. jadi sementara dikasih lotion aja, nanti lapor aja ke dokter onkologinya ya..
Uhuhu.. baiklah bu..

Tapi Alhamdulillah wa syukurillah.. setelah 4 hari mogok, akhirnya sang jidad yang suka ngeyel ini kembali mendapatkan kemampuannya.
Mudah-mudahan jangan mogok lagi deh.
Nanti pas kontrol aja kita laporin ke pak dokter, dan mudah2an bukan karena apa2 juga.

Jadi, Alhamdulillah.. sekarang kepala udah lebih adem.. ngimbangin ademnya hati ini *tssahhh..*

Ah, Allah memang baik banget yaaa..

Sabtu, 30 Agustus 2014

Volume 7 : DLBCL dan kemoterapi

Dulu waktu masih awal-awal kemo, banyak yang bertanya (atau mempertanyakan?) kenapa memutuskan kemoterapi? Apa nggak kuatir efeknya? Kenapa nggak coba alternatif?

Jawaban sok cerdasnya sih mestinya, ada kanker yang memang harus segera ditangani secara medis, ada yang tidak perlu segera atau malah tidak  perlu sama sekali. Untuk yang perlu segera, menurut pendapat saya yang dhoif ini (atau bahasa jawanya IMHO), ya harus segera, entah itu operasi, kemoterapi, radiasi, atau apalah sesuai arahan dokter.. Su'alnya pengobatan alternatif itu pada umumnya efeknya tidak seketika, jadi menurut saya lebih cocok untuk jangka panjang atau yang nafasnya masih panjang

Untuk kanker yang masih boleh ditunda penanganannya (emang ada?), misalnya yang grade-nya atau keagresifannya nggak tinggi dan stadiumnya masih awal, jika memang dokternya memberi lampu hijau dan pasiennya lebih mantap dengan pengobatan alternatif, ya silakan saja.
Karena pada dasarnya kan yang namanya pengobatan itu hak asasi masing-masing pasien. Lagipula toh kanker ini bukan penyakit menular, jadi ya penundaan pengobatan tidak akan membahayakan orang lain, hanya pasiennya saja.

Cuma menurut saya, walaupun mengambil jalur alternatif (kok kesannya jadi kayak arus mudik ya), tetap harus dievaluasi secara medis. Artinya tetap waspada, kontrol ke dokter, periksa yang bener misalnya ke lab, scan atau mri atau rontgen atau apalah. Karena walaupun pengobatan alternatif itu sudah maju, tapi untuk tahu persis kondisi penyakit, untuk bisa tahu apakah penyakitnya sembuh, berkurang, atau malah bertambah, tetap yang paling bener ya dengan teknologi medis.

Be very-very alert. Periksa secara berkala. Better save than sorry, right?

Dan kebetulan (nggak kebetulan juga sih sebenernya) kanker yang dateng ke saya itu termasuk yang perlu segera dilakukan tindakan  medis.

Itu jawaban rada pintarnya. Kalau jawaban jujurnya sih, terus terang karena memang sudah kepepet. Waktu dokter bilang harus kemo kondisi pasiennya udah payah betul, jadi ketika dokter mengajukan solusi itu, pasiennya nggak cuma setuju tapi bisa dibilang malah 'mengejar2' dokternya. Nggak sempat mempertimbangkan lagi.

Seperti pernah diceritakan di sini, pas awal dulu sempat salah diagnosis, dikira TBC dan sudah sempat minum obat selama hampir sebulan. Sesudah itu malah kena alergi obat dan kondisi yang terus menurun, akhirnya ketika mulai diketahui kalau penyebabnya ternyata bukan bakteri tapi sesuatu yang lain, sudah hampir nggak kuat jalan. Paracenthesis alias sedot cairan di paru-paru sudah harus dilakukan per dua minggu karena sesak napas yang makin lama makin hebat.

Ketika hasil biopsi yang pertama keluar menyatakan kalau oknumnya ternyata kanker kelenjar getah bening alias  LMNH (limphoma maligna non hodgkin) alias BCL yang sayangnya bukan Bunga Citra Lestari, tapi B Cell Lymphoma, sedot cairan sudah tidak dua minggu sekali tapi dua kali seminggu.
Posisi tiduran sudah nggak kuat, sehingga tiap kali berusaha tidur posisinya adalah duduk memeluk kursi. Nah lho, gimana coba itu? Ya pokoknya yang penting posisi kepala lebih tinggi dari dada, posisi kiri lebih rendah dari kanan.
Hehe.. tambah gak jelas ya?
Gini aja deh, kalau ada yang bener-bener pengen tau, boleh deh ketemuan, trus nanti saya demo-kan posisinya aja gimana, hihi *pede banget*
Yang tadinya habis disedot cairan agak terasa lega, kali ini rasanya justru sakit dan seperti orang tercekik. Segala cara mulai dari di-uap pakai nebulizer, pakai air panas campur V*cks, campur minyak kayu putih, hisap inhaler, dan lain-lain dicoba teteep aja rasanya nggak karuan.

Waktu itu rasanya jadi orang yang punya satu keinginan 'sederhana' banget, yaitu : bisa bernafas, bisa tidur, bisa makan.
Oh ya satu lagi, bisa sujud kalo sholat.

Bener deh, buat yang pernah merasakan yang namanya sesak napas, pasti faham deh perasaan kayak gini. Sesuatu yang tadinya kita anggap biasa aja, bahasa jawanya taken for granted gitu, tiba-tiba jadi sesuatu yang paliiing.. berharga.
Hal lain jadi nggak penting.
Kalau pak ustadz suka ngingetin kita untuk bersyukur dengan kalimat : bayangkan seumpamanya Allah tiba-tiba mengharuskan kita bayar untuk setiap tarikan napas kita.
Nah, kali ini beneran kejadian kayak gini nih.
Dan bener banget memang : maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?

Singkat kata (huee.. gak ngerasa ya kalau dari tadi yang diceritakan udah jauh banget dari singkat?), waktu hasil lab memastikan kalau penyakitnya memang kanker alias limfoma, pasiennya udah cengap-cengap kayak ikan keluar kolam. Akhirnya 3 hari setelah dapat hasil lab menyerah juga, check in ke UGD.

Oh ya, acara check in ini lumayan meriah karena ada panitianya, teman-teman yang selalu setia mensupport dengan tak kenal lelah : Ocus, Cahyono, duo Ade dan Adi, adik2, dan teman-teman lain yang mendukung dari balik layar *kayak pentas tujuhbelasan aja*

Sebenernya dari dulu paling takut sama yang namanya rumah sakit, dokter, jarum suntik, apalagi infus. Paling males deh. Mending disuruh lari keliling lapangan sekali aja (jangan banyak2 lah ya, sekali aja).
Tapi kali ini karena sudah nggak karuan lagi, maka pasrah lah mau diapain aja.
Pokoknya gimana caranya supaya bisa bernapas lagi.

Masuk UGD langsung di-nebu, nggak mempan.
Setelah CT-Scan lagi untuk melihat kondisi terakhir, masuklah ke kamar rawat.
Sebelum ketemu dokter onkologi, ternyata ada 'kunjungan' dari dokter spesialis paru. Setelah melihat hasil CT-Scan, dokternya minta USG paru. Waktu itu rekomendasinya cuma satu : pasang selang untuk mengeluarkan cairan paru sewaktu-waktu.
Sebabnya paru-parunya sudah tinggal satu yang berfungsi, itupun nggak penuh. Dan cairannya cepat sekali munculnya, jadi nggak cukup lagi kalo cuma di-punksi atau sedot sekali-sekali.

Uhuhuuu... Nggak mau banget.

Waktu itu mungkin masih belum mau menerima kenyataan kalau sakitnya itu memang beneran parah.
Masih gengsi kalau ketauan sakit beneran.
Menurut saya waktu itu, dipasang benda2 asing secara semi permanen di badan itu tanda kalau sakitnya memang berat dan bakalan lama.
Belum lagi selama ini lihat di RSPP, orang-orang yang dipasang selang pleura itu selangnya gede bangeet.. dan disambung ke benda semacam jerigen gitu. Mereka kalau kemana2 harus pakai kursi roda karena mungkin disamping sudah nggak kuat jalan, juga repot bawa peralatannya.
Nggak mau. Pengen tetep bisa ke kamar mandi sendiri (waktu itu masih gak nyangka kalau bakalan tergantung pipa oksigen 24 jam, jadi ke kamar mandi bakalan mustahil juga).

Lagipula dalam hati masih berharap kalau sehari dua hari, maksimal seminggu ini lah.. bakalan ketemu sakitnya, ketemu obatnya, dan bisa pulang dengan segar bugar lagi.

Denial banget yaa..


Dokternya terus berusaha meyakinkan kalau prosedur pasang pipa itu memang  perlu, dan nggak perlu kuatir bakalan nggak bisa ngapa2in. Soalnya selang alias pipa yang dipasang itu kecil kok. Kalau mau ke kamar mandi bisa dibawa2.
Dan yang paling penting, mau bisa bernapas lagi nggak?

Karena memang sudah nggak bisa melarikan diri dari kenyataan, akhirnya setuju juga. Operasi dijadwalkan besok siangnya jam 10. Nggak perlu bius total, cukup anestesi lokal saja.
Entah kenapa, hal itu nggak bikin tenang malah jadi takut. I will be awake when they put that thing and sew it on my back.
Tapi bagaimana lagi. Di titik itu nggak ada lagi alternatif lain. Nggak mengambil tindakan bukan lagi pilihan, karena semakin lama dibiarkan napas semakin berat. I need my breath. I need my life.

Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar. Eh, lancar nggak ya?
Kayaknya sih lancar, nggak terlalu ingat persisnya soalnya pas operasinya selesai pasiennya malah semaput. Heheh.. rugi banget ya.. telat pingsannya. Sakitnya udah lewat.
Oh ya, operasinya dilakukan dengan posisi seperti punksi atau thoracentesis gitu, yaitu pasien duduk sambil pelukan bantal.
Awalnya sih peluk bantal, akhirnya meluk atau lebih tepatnya dipegangin suster karena udah mulai semaput.

Alatnya namanya pigtail catheter, bentuknya begini ini lho kira-kira :


Nggak persis begitu sih, tapi kurang lebih lah. Selang kecil diameternya nggak sampai setengah cm, ada katupnya. Yang waktu itu dipakai kerannya 2, jadi 3 way gitu. Lebih mirip gambar di sini nih.

Kalau mau mengeluarkan cairan tinggal buka kerannya. Pembuangannya bukan botol atau jerigen, tapi urine bag, yang bisa diganti secara berkala.
Perkakas ini akhirnya terpasang selama hampir 2 bulan. 1 bulan di rumah sakit, sekitar 2 atau 3 minggu di rumah.

Sayangnya selama pakai alat itu nggak sempat fotoin, jadi nggak bisa nunjukin bentuknya kayak apa persisnya. Soalnya waktu itu lagi nggak punya gadget yang memadai, yang dipegang cuma sepotong hp candybar yang bisanya buat telpon dan sms aja.
Nah soal gadget ini cerita lain lagi, kapan-kapan deh diceritain kalau nggak lupa.

Setelah pasang pigtail itu berarti bisa nafas lega dong?

Sayangnya nggak sesederhana itu.
Akibat tumor mediastinum yang sudah kelewat besar, ternyata jalan nafasnya kegencet. Jadi ketika dikeluarkan cairannya, udara tetep nggak bisa masuk ke paru-paru. Ibaratnya seperti balon yang disedot, bukan ditiup. Airnya dikeluarkan malah tambah kempes.
Akibatnya setiap kali cairan dikeluarkan pasiennya malah kesakitan.
Tapi perintah dokter kran harus tetap dibuka dan cairan dikeluarkan sehari dua kali, jumlahnya sekitar satu liter sehari. Sebagai pendukungnya pasien diuap dengan nebulizer sehari 3 kali.
Waktu pasiennya mogok karena nggak tahan sakitnya, dokter mengambil kompromi, keran dibuka sampai pasien nggak kuat aja, nggak harus satu liter sehari. Hiks..

Lalu nafasnya lega nggak?

Sayangnya enggak.
Padahal cairan sudah dikeluarkan. Nebulizer 3 kali sehari. Selang oksigen 24 jam. Awalnya diset di 2 liter cukup, lama-lama naik jadi 3, 4, dan akhirnya 5 bahkan kadang 6. Lubang hidung sampai lecet berdarah2 karena semburan oksigen 5 liter itu cukup kuat juga ternyata.
Dokter paru angkat tangan, katanya jalan keluar satu-satunya ya kemoterapi. Soalnya penyebab munculnya cairan dan penyebab tertutupnya jalan nafas itu memang kankernya.

Lalu kenapa nggak dimulai2 kemo-nya?

Inilah kekurangberuntungan saya waktu itu.
Hasil ihk alias immunohistochemistry dari RSP yang mestinya menentukan dengan detail jenis kanker apa yang harus dibasmi, ternyata nggak lengkap. Akhirnya jaringan hasil biopsi harus dimasukkan ke lab lagi untuk dites ulang sampai diketahui subtype-nya.
Karena tidak semua rumahsakit bisa melakukan ihk, maka jaringan itu dikirim ke RSCM untuk diperiksa disana. Butuh waktu sekitar 2 minggu sampai keluar hasilnya.

Kekurangberuntungan saya yang berikutnya adalah pas waktu 2 minggu habis, pas jatuh di harpitnas. Karena mungkin lab-nya punya pemerintah, maka entah bagaimana mereka buka tapi nggak buka, alias hasilnya nggak keluar-keluar. Sementara itu pasiennya makin payah karena makin susah bernafas, bahkan sudah mulai susah menelan.
That was a scary time for me.
Tidak bisa bernafas, tidak bisa menelan. Menelan ludah sendiri pun sudah tersedak-sedak. Terus terang ada juga kekhawatiran, kalau tiba2 berhenti bernafas sama sekali.

Kalau dipikir-pikir, waktu itu Allah betul-betul melindungi saya, karena dalam kondisi seperti itu pun alhamdulillah saya masih yakin kalau saya akan sembuh. Selama nggak bisa ngapa2in itu kebetulan saya sempat browsing dan secara selektif memilih informasi yang favorable soal penyakit saya, hehe.. Agak nggak objektif mungkin, tapi saya tahu bahwa saya butuh itu. Saya butuh harapan, seberat apapun kondisi waktu itu.
Makanya yang saya baca yang bagus-bagus aja :P

Oh ya, waktu itu sempat tanya ke dokternya, stadium berapa, dan dijawab 3B.
Alasannya? Karena untuk memastikan stadium 4 atau bukan harus dilakukan test sumsum tulang.
Kenapa tidak dilakukan? Hmm.. nggak tau ya, saya juga nggak nanya karena nggak berani.
Mungkin memang tidak perlu? Mudah2an sih.

Tapi stadium 3B itu nggak terlalu menyurutkan semangat. Takut sih, tapi harapan tetap lah.
Karena berbeda dengan kanker yang lain, untuk limfoma, stadium tidak terlalu mempengaruhi tingkat kesembuhan. Setidaknya itu yang saya baca di internet.
Satu kata kunci yang membuat sedikit besar hati : limfoma itu (setidaknya jenis yang ini) mestinya curable, alias bisa disembuhkan.

I know you shouldn't believe internet too much when it comes to medical decision. Lagipula hasil penelitian itu kan dasarnya kebanyakan statistik, dan kita adalah individual yang unik, bukan statistik.
I know. Tapi saya sih percaya aja kalo kabarnya bagus. I need the hope.
Lagipula ketidakpastian itu kan bisa diartikan dua hal : kalau kita pesimis, kita bisa melihatnya sebagai "tidak ada jaminan kalau bisa sembuh", tapi kalau optimis artinya bisa juga "selalu ada kemungkinan untuk sembuh"
Jadi tugas kita ya menjalani pengobatan, berusaha dan berdoa saja. Hasilnya diserahkan sama Sang Pemilik Kesembuhan.

Dan satu hal yang saya pegang kuat-kuat waktu itu adalah keyakinan bahwa apapun yang saya hadapi, InsyaAllah akan ada jalan keluarnya, dengan seizin Allah. Nggak ada yang mustahil deh.

Kayaknya hebat bener ya? Hehe..
Sebenernya sih nggak gitu2 amat juga. Sedih dan nangis mah jangan ditanya lagi, makanan tiap hari itu.
Untungnya (nah lho, masih untung) waktu itu sempat kena flu berat dan gak bisa tidur, jadi kalo mata sembab, hidung meler dan suara bindeng karena kebanyakan nangis, ada alasan untuk ngeles :P.

Setelah hampir 3 minggu menunggu hasil ihk, pak dokter onkologi akhirnya mengambil keputusan darurat untuk melakukan mini-chemo, alias kemoterapi dengan komposisi obat dan dosis yang diturunkan. Keputusan ini diambil setelah pasiennya mengibarkan bendera putih alias menyatakan diri hampir tidak sanggup lagi. Waktu itu untuk pertama kalinya melihat pak dokter gusar berat, yaitu pas beliau mendengar kabar kalau hasil lab ihk belum juga keluar setelah 2 minggu lebih.
Pak dokter langsung memutuskan kalau mini-chemo akan dilakukan keesokan harinya.

Akhirnya pada tanggal 26 april kalo gak salah, dengan mengucap bismillaahirrahmaanirrahiim.. resmilah memasuki status sebagai pasien  kemoterapi.
Waktu itu regimennya belum R-CHOP, tapi hanya Oncovin alias vincristin dan solumedrol. Dosisnya juga setengah dosis yang semestinya.

Wah, sudah panjang juga ya ternyata..
Volume 7 kita tutup dulu, lain kali insyaAllah berjumpa lagi di volume berikutnya yaa..

Rabu, 06 Agustus 2014

Kemoterapi itu apa sih?

Demi mewujudkan niat untuk tetap meneruskan blog yang lama-lama kasian tak terurus ini, mari kita coba mulai bikin entry lagi.

Oh ya, sebelumnya perlu diingat bahwa tulisan ini tidak untuk digunakan sebagai acuan berobat, apalagi menggantikan konsultasi ke dokter yaa. Cuma buat bagi-bagi pengalaman aja. Tetep ya, kalau sakit berobat ke dokter, dan kalau ada yang nggak jelas dalam proses berobatnya, tanya ke dokter deh.

Jadii... Menu hari ini adalah kemoterapi.

Kemoterapi itu sebenernya apa sih?

Kemoterapi atau bahasa bulenya chemotherapy adalah pengobatan dengan menggunakan obat-obatan atau substansi kimia.

Oh, jadi nggak disinar2 gitu ya?

Kalo yang itu namanya radioterapi, pengobatan dengan radiasi atau penyinaran.

Jadi kemoterapi itu kayak apa?

Ya dikasih obat gitu.

Lah iya, obatnya diapain, diminum, disuntik, dioles kek salep?

Bisa.
Tergantung jenis obat yang digunakan, ada yang diminum, seperti misalnya prednison, ada juga yang disuntik atau diberikan lewat infus, seperti misalnya adriamicyn, vincristine, ada juga yang dioleskan, misalnya untuk kanker kulit.Yang paling sering sih kemoterapi diberikannya pakai infus, disebutnya IV (intravenous) chemo.

gambar kemoterapi
Begini ini lho bentuknya iv chemo

Untuk yang diminum, obatnya biasanya bisa dibawa pulang. Nah, untuk yang ini minumnya harus betul-betul sesuai jadwal. Jangan lupa tanya juga ke pak/bu dokter, gimana cara menyimpannya, cara minumnya (sebelum/sesudah makan, boleh pake sirup/susu nggak minumnya, dst)

Kenapa harus kemo?

Karena sedang sakit *dilempar cobek*

Kemoterapi bisa dilakukan sebagai satu-satunya pengobatan, bisa juga digabung dengan terapi lain, misalnya:

  • kemoterapi dilakukan untuk mengecilkan ukuran tumor sebelum dilakukan operasi atau radiasi, disebut juga neoadjuvant chemo 
  • kemoterapi dilakukan sesudah operasi atau radiasi, untukmenghilangkan sisa-sisa sel kanker yang mungkin tertinggal, disebutjuga adjuvant chemo
  • kemoterapi dilakukan bukan untuk mengobati, tapi untuk mengurangi efek kanker atau memperlambat pertumbuhan kanker, disebut palliative chemo 
  • kemoterapi dilakukan sebelum transplantasi sumsum atau stem cell

Jadi kemoterapi itu harus atau enggak untuk mengobati kanker?

Wah, untuk harus apa enggaknya ya tergantung penyakitnya. Kanker itu kan walaupun namanya sama, jenisnya macem-macem. Sifat atau karakteristiknya juga macem-macem, ada yang ganas, ada yang jinak. Ada yang baru di satu tempat, ada yang udah kemana-mana. Ada yang bisa dioperasi, ada yang enggak. Ada yang bisa dikemoterapi, ada yang enggak.
Yang paling pas ya bertanya secara detail ke dokter yang berkompetensi.

Kemoterapi itu bekerjanya gimana sih?

Tubuh manusia terdiri dari berbagai macam sel normal.
Sel bisa rusak karena cedera atau karena 'masa berlakunya' habis. Kalau sel rusak, dia akan mati dengan sendirinya. Untuk mengganti sel yang rusak ini, maka dibentuklah sel-sel baru dengan membelah diri. Kadang-kadang sel ini berperilaku tidak semestinya, dan membentuk sel yang abnormal. Sel yang abnormal ini kadang nggak mau mati dan malah membelah diri dengan lebih cepat daripada sel normal.

Kemoterapi pada umumnnya terdiri dari kombinasi obat-obatan yang merusak sel ketika mereka dalam masa membelah diri, atau dengan mendorong sel-sel tersebut melakukan 'bunuh diri'. Obat-obatan kemoterapi tidak bisa membedakan antara sel yang normal dan yang tidak normal, sehingga dalam prosesnya sel-sel normal juga ikut merasakan akibatnya. Inilah yang biasanya muncul sebagai efek samping.

Now that you mentioned it, apa aja efek samping kemoterapi ?

Tergantung.

HAH??? Jadi kalo kita dikemo, kita jadi tergantung gitu? *dijitak bakiak*

Maksudnya, efek sampingnya tergantung dari banyak hal, di ataranya :
  • jenis obat yang digunakan. soalnya lain kanker biasanya lain obat. ada obat yang bikin mual, ada yang enggak. ada obat yang bikin rambut rontok, ada yang enggak, ada yang bikin lemes, ada yang  enggak, dsb dst dll.
  • kondisi pasien sebelum melakukan kemoterapi. pasien yang sebelum melakukan kemoterapi kondisinya bagus diharapkan bisa seminimal mungkin terkena efek samping
  • respon pasien terhadap obat-obatan kemoterapi. Tidak semua orang memberikan respon yang sama terhadap obat yang sama. Ada yang nengok, ada yang pura-pura nggak denger. Eh, itu respon kalo dipanggil yak :D Seringkali ketika diberikan obat yang sama ada orang yang jadi muntah-muntah dan diare, tapi ada juga yang malah konstipasi. Ada yang hbnya jadi rendah dan harus transfusi, ada yang hbnya tetep ok tapi leukositnya drop jadi perlu suntik filgrastim, ada juga yang drop semua atau justru normal semua. Dan seterusnya.

Jadi tidak bisa dipukul rata antara satu orang dan orang lain. Apalagi yang lebih sering terjadi adalah dipukul benjol, bukan rata.

Tapi pada umumnya efek samping kemoterapi antara lain:
  • - rambut rontok
  • - luka-luka di saluran pencernaan (mulut, gusi, kerongkongan, dst)
  • - mual, muntah
  • - diare atau konstipasi
  • - perubahan di indra pengecap, misalnya ada yang mengeluhkan minum air putih jadi berasa logam, makan yang asin dan gurih jadi mual, dst
  • - perubahan warna kulit (jadi kehitaman) dan kuku (bercak-bercak kuning), kuku jadi bergelombang atau malah mudah lepas
  • - mati rasa, kesemutan atau nyeri yang timbul dari ujung2 jari tangan atau kaki dan menyebar, disebut juga peripheral neuropathy
  • - rentan infeksi, karena penurunan leukosit
  • - mudah lebam atau bleeding karena trombosit menurun
  • - penurunan sel darah merah
  • - lemah letih lesu yang amat sangat
  • - penurunan atau justru kenaikan berat badan
  • - gangguan organ lain seperti jantung, hati, ginjal
  • - depresi
  • - dll
Efek samping ini ada yang jangka pendek saja, hilang dalam hitungan hari atau minggu. Ada juga yang jangka panjang atau bahkan permanen.

Jadi gimana dong?

Ya nggak gimana-gimana.
Dokter yang mengawasi dan mengarahkan kemo biasanya akan menimbang secara seksama antara efek samping dan manfaat kemoterapi itu untuk kita. Dokter akan mengukur secara teliti berat badan kita dan melihat kondisi secara menyeluruh, sebagai dasar menentukan jenis dan dosis obat yang akan diberikan.
Tapi keputusan akhir tetap ada di tangan kita, apakah kita akan melakukan atau tidak.

Oleh karenanya, kalau sebelum kemo ada yang masih terasa nggak sreg, jangan ragu, tanya dan tanya ke bu atau pak dokter yang merawat kita.
Kalau masih ragu juga, cari second atau bahkan third, fourth opinion.
Kalau masih ragu, berdoa banyak-banyak. Sholat istikharah.
Semoga diberikan kemudahan dan kesembuhan sempurna.


further readings :
http://kankerpayudara.wordpress.com/2007/12/30/apa-itu-chemotherapy/
http://www.cancer.org/treatment/treatmentsandsideeffects/treatmenttypes/chemotherapy
http://www.cancer.gov/ncicancerbulletin/010813/page6
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0041062/
http://www.cancer.gov/aboutnci/ncicancerbulletin/archive/2010/022310/page6

Kamis, 26 Juni 2014

Mengejar ketertinggalan.. a.k.a catching up

Hai, apakabar?

Setengah tahun ini baru ada 1 entry ternyata. Lama juga ya.. 
Meskipun awalnya ada niatan untuk terus memelihara kelangsungan hidup blog ini, tapi apa daya.. hingar-bingarnya dunia ini telah melenakanku *halah*

Pertama-tama, update kabar dulu.
Alhamdulillah kemarin baru kemo putaran ke 12 (atau 13 kalau minichemo dihitung).
Rencananya akan ada 20 putaran, yang insyaAllah berakhir di bulan oktober tahun 2015 nanti.

Lho, katanya kemo selesai sampai 8?
Iya, kemoterapi dengan R-CHOP (Mabthera-Endoxan,Doxorubicyn,Vincristine dan Prednisone), setiap 3 minggu sekali, selesai sampai 9 putaran.
Setelah itu dilanjutkan dengan kemoterapi atau imunoterapi dengan mabthera saja, sampai 2 tahun sesudah R-CHOP, dan dilakukan setiap 2 bulan sekali.

Jadi, sudah sembuh belum?
Soal ini, pas kontrol menjelang putaran 10 kebetulan ketemu sama bu dokter yang dulu mewakili om AWS. Budokter gembira betul, karena pasiennya sudah tampak jauh lebih segar. Wah, pasiennya jauh lebih gembira lho bu.
Lalu bu dokter menanyakan sebuah pertanyaan yang tadinya nggak belum terfikirkan : "Jadi sudah CR ya?"
Waduh, apa ya itu?
Oh, ternyata CR itu maksudnya complete remission. Lalu, complete remission itu sendiri maksudnya apa?
Kalau menurut kamus NCI : 
complete remission  listen  (kum-PLEET reh-MIH-shun)


  The disappearance of all signs of cancer in response to treatment. This does not always mean the cancer has been cured. Also called complete response.
Dengan kata lain, CR artinya tidak lagi ditemukan tanda-tanda kanker setelah dilakukan treatment atau terapi. Disebut juga No Evidence of Disease alias NED.

What about me?
Karena terus terang pak dokter AWS selama ini tidak pernah secara langsung menyebutkan soal CR dan sebangsanya, maka terus terang waktu itu nggak ada ide sama sekali.
Bahkan kalau dipikir-pikir, kata-kata sembuh, remisi, dan yang sejenisnya itu selama ini tidak pernah muncul dalam pembicaraan selama konsultasi.
Yang ada paling sebatas 'responnya bagus terhadap pengobatan', 'perkembangannya menggembirakan', atau bahkan 'saya nggak nyangka kamu bisa kuat menjalani kemo, soalnya dulu kelihatan ringkih banget'.
Intinya adalah, I've been doing well so far, so I should be grateful with my condition now considering how I was before.

Mungkin saya juga sebelumnya takut untuk bertanya secara frontal soal sembuh nggak sembuh ini, jadi selama ini dijalani aja.
Lagipula selama ini terlalu banyak hal yang lebih urgent untuk ditanyakan, dan kesembuhan itu toh tujuan akhir yang ingin dicapai pada akhirnya.

Dan lagipula yang namanya kanker itu kan sebetulnya sel tubuh kita sendiri yang mbalelo, melenceng dari kodratnya. Dan sampai sekarang, belum diketahui sebab musababnya kenapa sebuah sel bisa bertingkah laku sesuka hati seperti itu.
Jadi, ya.. bagaimanapun kemungkinan sel berkelakuan tidak baik itu bakalan muncul lagi akan selalu ada.
Kita cuma bisa berusaha mendeteksi tanda-tandanya saja.
Kalau tanda kemunculannya nggak ada, berarti remisi atau no evidence of disease.
Kalau masa remisinya lama, kira-kira lima tahun lebih, maka bisa dibilang kemungkinan besar kankernya sembuh atau hilang.

Waktu akhirnya untuk pertama kali tanya ke pak dokter AWS, apakah sudah boleh dikatakan sembuh atau belum, sayangnya jawabannya adalah.. belum.

Alasannya mungkin yang paling gampang adalah dilihat dari LDH level yang masih terus melewati batas normal. LDH atau Lactate dehydrogenase biasanya digunakan sebagai salah satu indikator keberadaan limfoma dan responnya terhadap kemoterapi. Selama levelnya masih belum normal, berarti mungkin masih ada sisa-sisa antek limfoma yang bercokol dan terus berusaha merongrong kewibawaan bangsa.

Lalu bagaimana?
Ya nggak bagaimana-bagaimana. Dilanjutkan saja berobatnya. Dilanjutkan waspadanya.
Setidaknya setiap dua bulan sekali kontrol dan cek darah, setidaknya untuk melihat LDH dan yang standar2 seperti LED, leukosit, hb, dst.
Secara berkala cek kelenjar2 yang bisa diraba.
Dan nggak kalah pentingnya, waspadai setiap keabnormalan yang dirasakan.
Nah ini yang susah. Normal atau nggak normal itu kan susah mengukurnya.
Nggak boleh terlalu paranoid, karena nanti jadi stress sendiri, dan katanya stress memicu kanker.
Tapi nggak boleh terlalu cuek, karena nanti kecolongan lagi kayak kemarin.

Intinya sih kembali lagi ke rumus standard.
Tetep semangat, tetep optimis, tetep berusaha, tetep berdoa.
Dan insyaAllah, tetep berusaha untuk ikhlas, apapun jalan yang harus ditempuh ke depannya..

Senin, 10 Maret 2014

Hello World! How's Life?

Setelah sekian lama, akhirnya ada keinginan lagi untuk ngeblog.
Well.. sebetulnya sih keinginan selalu ada, cuma mungkin kemampuan yang seringnya nggak ada :D

And truthfully, one of the main reason why i haven't update the blog was because i've been having a rough time.
It's pretty ironic actually, considering the reason this blog even existed in the first place was because i've been having a rough time. So there.

Mungkin para pembaca yang budiman dan budiwati menyangka, setelah posting terakhir yang penuh euforia karena kemoterapi dinyatakan komplit itu, blognya bakalan tutup.
Eit.. jangan senang dulu!
Enggak kok, niatnya nggak begitu, masih banyak banget yang pengen ditumpahin disini (bukan disumpahin lho ya), hasil dari nggak ada kerjaan selama setahun kemarin itu.

Oh ya, dan ternyata kemoterapi-nya nggak jadi komplit juga kok, karena setelah hore-hore yang singkat itu, pas kontrol 2 minggu kemudian dokter minta nambah satu sesi lagi, jadi 8 kali.
Dan setelah 8 kali, hasil lab belum juga memuaskan, dan penampakan manusianya pun belum meyakinkan, si om dokter menawarkan nambah lagi 1 sesi, jadilah total 9 kali.
Yang tadinya melayang penuh kegembiraan (kayak lagunya Vina Panduwinata tuh : hari ini ku gembira.. pak pos m'layang di udara.. haha..*ditimpuk sepeda*), langsung terpuruk seperti balon kehabisan angin.
Tapi bagaimana lagi, perjuangan harus tetap dilanjutkan! *halah, hiperbolik sok heroik*

Lalu, datanglah masa galau, post chemo syndrome.
Heee?? mengada-ada banget ni orang. Selesai kemo kan mestinya seneng, bersyukur karena masa sulit sudah dilewati.

Seneng? Ya pasti lah yaa.. mengingat kemoterapi itu betul-betul pengalaman yang melelahkan secara fisik, emosional, spiritual, maupun finansial. Lahir dan batin.

Bersyukur? Pasti banget. Tentunyah. Of course. Sudah jelas.
Nggak lagi stress karena harus cek darah setiap minggu, stress setiap ngambil hasil lab, stress karena nggak bisa makan enak, nggak bisa tidur nyenyak, stress takut kena infeksi karena leukosit hampir tandas, stress takut suntik filgrastim yang sakitnya naudzubillah, stress setiap pasang infus kemo karena takut nyeri, stress efek samping kemo yang berbagai macam, dan seterusnya dan sebagainya dan selanjutnya.

Mungkin seperti lulus sekolah gitu, lega setelah selesai ujian dan lepas sekolah.
Tapi setelah lega lalu muncul kegalauan, karena lepas dari rutinitas, dari sesuatu yang 'pasti' ke sesuatu yang penuh ketidakjelasan.
Sesudah kemoterapi, lalu apa?

Perlu terapi apa lagi?
Cukupkah?
Efek samping apa yang masih akan muncul nantinya?
Dan yang paling penting.. sembuhkah?

Seperti orang yang selesai ujian, terasa lega tapi lalu timbul keraguan dan (mungkin sedikit) penyesalan.
Did i do my best? Did i do it right?
Sudah cukup disiplinkah? Sudah cukup cerdaskah? Sudah maksimal berusaha belum?

Lalu hal-hal kecil seperti misalnya sesekali terlewat jadwal minum obat, kurang 'memaksa diri' untuk makan, sering nggak cukup tidur malam gara2 steroid, dan lain-lain, mulai menghantui pikiran.
Jangan-jangan karena keteledoran yang sedikit itu jadi mempengaruhi hasil. Jangan-jangan..

Iya sih.. Kalau mau berfikir jernih, mestinya inilah waktunya yang namanya tawakkal mengambil peran penting. Sesudah berusaha semampunya, berdoa sekuatnya, ya memang tinggal menyerahkan pada Yang Maha Kuasa. Mengharap yang terbaik.
And believe me, I tried my best. But I'm only human.
Ada masanya rasa was-was itu yang menang.

Dan kemudian ada efek jangka panjang.
Menjalani kemoterapi itu kalau boleh diibaratkan, seperti orang kena angin puting beliung (mohon maaf kalau perumpamaannya nggak terlalu pas, susah inih ngarangnya.. heheh).
Waktu kejadiannya kita nggak akan sempat banyak berpikir, di tengah kekacauan dan segala benda yang terlempar kesana-kemari, yang ada di pikiran kita adalah survival. Yang penting hidup dulu.
Harta benda, rumah, dan lain-lain kita pikirkan nanti.

Kemoterapi juga begitu.
Ketika kita sudah melangkah masuk, maka seperti angin puting beliung, segala efek samping yang langsung terasa, ancaman infeksi dan ini itu, obat tambahan ini itu, tes sana sini dan lain-lain, juga 'beterbangan kesana-kemari' dan kita nggak bisa stop lama-lama. Ada jadwal yang harus ditepati. Kita dalam survival mode, yang penting hidup dulu.

Begitu kemoterapi selesai, ya seperti selesai angin topan itu.
Waktunya menghadapi kenyataan hidup dan menghitung 'kerusakan'. Pohon tumbang, rumah roboh, luka-luka, dan lain-lain. Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki, dan mengikhlaskan apa yang rusak permanen.

Sesudah kemoterapi, tiba waktunya evaluasi, tidak hanya dari sisi kesembuhan, tapi juga efek samping. Apa efek yang bisa hilang cepat, yang hilangnya lama, dan apa efek yang harus diterima sebagai kenyataan hidup.

Lalu dari situ ada planning terapi lanjutannya.
Sebetulnya untuk primary mediastinal large b-cel non hodgkin lymphoma alias PMBCL (kok singkatannya jadi kayak semacam ujian masuk perguruan tinggi gitu ya.. ) prosedur standar yang masih banyak dianut saat ini adalah kemoterapi RCHOP diikuti dengan radioterapi dan kemoterapi lanjutan dengan rituximab saja.
Radioterapi dilakukan setelah kemoterapi, dengan harapan :
1. Kalau masih ada sisa sel kanker di mediastinum (karena seperti namanya, primary atau induk kankernya di mediastinum), maka bisa dibabat habis dengan radioterapi alias radiasi
2. Dilakukan setelah kemo, dengan tujuan tumor alias bongkahannya sudah mengecil sekecil-kecilnya, sehingga radiasi bisa diberikan dengan dosis seminimal mungkin, dan area sekecil mungkin

Seperti halnya pengobatan apapun, yang namanya radioterapi itu juga bukannya tanpa efek samping, makanya harus diperhitungkan secermat-cermatnya dan sehemat-hematnya.

Itulah makanya, walaupun prosedur bakunya : kemo-radio-kemo lanjutan, dengan berat hati kami (pasien dan om dokter) memutuskan untuk tidak melakukan radioterapi.

It was a mixed feeling.

Terus terang, dari baca sana-sini dan tanya sana-sini, agak takut juga mau menjalani terapi pake radio itu, soalnya .. hari gini masi pake radioo?? mp3 aja kalii.. hehe.. enggak ding. Soalnya efek sampingnya gak asik juga. Low blood count, extreme fatigue, iritasi, dan efek jangka panjang seperti kerusakan jantung dan resiko kanker. Seperti halnya kemo, obat kanker yang beresiko kanker.
Habis kemo kan capek, pengennya hidup normal gitu (whatever normal means). Tapi kalau ditanya mau sembuh apa enggak, ya pasti mau lah..
Makanya waktu dokter menyatakan kalau kondisi jantung nggak mendukung untuk radioterapi, jadi terapinya nggak usah dulu aja, jadi sedih juga.
Itu kan berarti nggak sesuai prosedur.
Pengennya kan semuanya sesuai aturan, biar yakin gitu.

Tapi bagaimana lagi.. akhirnya dengan pertimbangan matang-matang dan untuk kemaslahatan saya sendiri *heheh*, dan dengan mengucap bismillah dalam hati, kita langsung ke kemoterapi lanjutan aja (atau orang sering menyebutnya immunotherapy, karena yang dipakai adalah jenis monoclonal antobody).
Bismillah.. Semoga dimudahkan yaa Allah.. Semoga disembuhkan..


Dan sementara itu.. kehidupan harus terus berjalan.
Haish, sok romantis deh..

Kemarin waktu masih nggak bisa ngapa-ngapain, trus kemo, segala kekhawatiran soal kehidupan dan masa depan itu disisihkan dulu. Kalau mulai risau soal gimana nanti kerjaan, gimana nanti bayar ini-itu-nya, gimana nanti cari jodohnya *haha.. can't help mention that one*, dan gimana-gimana yang lain, langsung cepet ditepis jauh-jauh dengan mantra 'nggak usah mikir macem-macem dulu, yang penting sehat dulu'.
Nah, begitu kemoterapi selesai, maka waktunya untuk kembali ke dunia nyata. Memikirkan konsekuensi, masa depan, dan bagaimana melanjutkan kehidupan yang sempat di-pause selama setahun ini.
Time to hit the play button and continue the song.

Rasanya? Hmm... campur aduk jadi satu.
Excited (ini bahasa indonesianya apa ya?), senang (tentunya), bersyukur (pastinya), takut, bingung, nggak yakin dan nggak ngerti harus mulai dari mana, sedih, ngerasa ketinggalan banyak hal, dan lain-lain. 
Yang kalau dibahas bakalan jadi satu entry blog sendiri.

Jadi kesimpulannya apa?
Ya nggak ada. Gitu aja. Heheh.
Enggak ding, kesimpulannya adalah I've been busy getting my life back, dan kembali menyesuaikan diri dengan dunia fana ini. Sejauh ini belum sukses-sukses amat.
Seperti orang yang lama nggak naik sepeda, nggak bisa langsung ngebut dan manuver macem-macem (apalagi kalo dulunya emang gak jago, haha), tapi pelan-pelan dulu, sebentar-sebentar turun lagi buat istirahat.

Tapi alhamdulillah wa syukurillah, atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini ke mer de ka an nya.. (haha.. maap-maap, keinget jaman SD pas jadi tukang baca pembukaan UUD 45)

But seriously, dengan segala kemudahan dan kasih sayang Allah, dan segala doa, support, bantuan, pemakluman, toleransi, pengorbanan, dan banyak lagi yang lainnya, yang datang dari semua pihak : my lovely beloved sisters, ibu bapak, sahabat-sahabat, teman dan rekan kerja, sodara dan handai taulan, and the whole universe in general, I guess I'm doing fine.

And with all that still surround me, I think I will be fine.